Cerpen Terjemahan Entri 20
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Benang Laba-LabaRyƫnosuke Akutagawa
Suatu hari, Sang
Buddha sedang berjalan di tepi kolam teratai di Surga. Bunga-bunga teratai yang
bermekaran di kolam itu seputih mutiara, dan dari benang sari emasnya menguar
keharuman lembut yang tak terlukiskan, memenuhi udara tanpa henti. Barangkali
waktu di Surga saat itu adalah pagi hari.
Kemudian Sang
Buddha berhenti, dan melalui celah air jernih di antara bunga-bunga teratai
yang menutupi permukaan kolam, Beliau menatap pemandangan di bawah sana. Di
dasar kolam teratai di Surga terdapat Neraka, dan melalui air yang sebening
kristal tampaklah, seolah-olah di dalam kotak tontonan kecil, pemandangan
seperti Sungai Kematian dan Gunung Jarum.
Hampir seketika itu
juga, Sang Buddha melihat seorang laki-laki bernama Kandata, yang sedang
menggeliat di tengah-tengah para pendosa lainnya. Laki-laki ini dulunya seorang
pencuri besar yang telah melakukan banyak kejahatan di dunia: membunuh orang,
membakar rumah. Namun ia pun pernah sekali berbuat baik.
Suatu hari, ketika
sedang berjalan di hutan lebat, ia melihat seekor laba-laba kecil merayap
melintasi jalannya. Ia mengangkat kakinya, hendak menginjak laba-laba itu
sampai mati. Tetapi tiba-tiba ia berubah pikiran.
“Tidak,” katanya
dalam hati, “aku tak boleh melakukannya. Makhluk sekecil ini pun memiliki
kehidupan, dan membunuhnya tanpa alasan adalah perbuatan yang sangat kejam.”
Maka ia pun mengurungkan niatnya dan membiarkan laba-laba itu hidup.
Sang Buddha, saat
memandang pemandangan di Neraka itu, teringat akan kebaikan kecil Kandata
terhadap laba-laba. Beliau berpikir bahwa sudah sepantasnya Kandata
diselamatkan, jika hal itu memungkinkan, sebagai balasan atas satu perbuatan
baiknya itu.
Kebetulan, di
samping Beliau, di atas daun teratai berwarna giok tua, seekor laba-laba surga
sedang menenun jaring peraknya. Sang Buddha dengan lembut mengambil laba-laba
itu, lalu menurunkannya perlahan di antara bunga-bunga putih mutiara, langsung
menuju Neraka yang jauh di bawah sana.
Sementara itu,
Kandata bersama para pendosa lain sedang berusaha tetap mengapung di Danau
Darah, yang terletak di dasar paling bawah Neraka. Segalanya gelap gulita,
kecuali sesekali tampak kilatan samar dari puncak Gunung Jarum yang menakutkan.
Keheningan di sana seperti di pemakaman, dan satu-satunya suara yang terdengar
hanyalah desahan lemah para pendosa. Mungkin mereka yang telah jatuh sedalam
itu di Neraka sudah terlalu sering disiksa hingga tak lagi memiliki tenaga
untuk menjerit keras karena iba pada diri sendiri.
Di Danau Darah itu,
bahkan pencuri besar seperti Kandata hanya bisa menggeliat dan tercekik seperti
seekor katak yang sekarat.
Namun kebetulan, di
tengah penderitaannya, Kandata mengangkat kepala dan memandang ke langit di
atas danau. Ia melihat sesuatu turun perlahan menuju dirinya, seutas benang
perak laba-laba yang berkilau, seolah takut terlihat oleh mata manusia. Benang
itu tampak datang dari jauh, sangat jauh di atas, menembus kegelapan sunyi itu.
Kandata menepuk
tangannya gembira. Ia berpikir, jika saja ia dapat meraih benang itu dan
memanjatnya tinggi-tinggi, ia mungkin bisa keluar dari Neraka. Dengan sedikit
keberuntungan, barangkali ia bahkan dapat mencapai Surga. Jika itu terjadi, ia
tidak akan lagi dikejar-kejar di Gunung Jarum, atau dijebloskan ke Danau Darah.
Dengan harapan itu
di hatinya, ia meraih benang tersebut, menggenggamnya erat dengan kedua
tangannya, lalu mulai memanjat ke atas, setinggi dan sekuat yang ia mampu.
Sebagai mantan pencuri, ia memang pemanjat yang terampil.
Namun perjalanan ke
atas itu tidak mudah, karena ribuan mil memisahkan Surga dari Neraka. Setelah
beberapa waktu, Kandata mulai kelelahan dan tak sanggup lagi memanjat. Dengan
enggan, ia berhenti sejenak untuk beristirahat. Sambil tetap berpegangan pada benang
itu, ia menengok ke bawah.
Ia tampaknya telah
memanjat sangat tinggi, karena Danau Darah sudah tak terlihat lagi, bahkan
puncak Gunung Jarum yang redup berkilau pun kini berada jauh di bawahnya. Ia
berpikir, jika ia bisa sampai sejauh ini, mungkin keluar dari Neraka tidaklah
sesulit yang dibayangkan. Dengan suara yang sudah lama tak ia gunakan, ia
berseru gembira, “Bagus! Bagus!” lalu tertawa keras.
Kandata tiba-tiba
melihat ke bawah. Dari kejauhan, di bawah sana, tampak barisan panjang para
pendosa, sebanyak semut yang berbaris, memanjat naik di benang laba-laba itu,
mengikuti jejaknya.
Untuk beberapa
saat, Kandata tertegun. Ia menatap dengan mulut ternganga, tak mampu berkata
apa-apa karena kaget dan takut. Bagaimana mungkin benang laba-laba yang begitu
tipis, yang bahkan tampak rapuh untuk menahan berat satu orang, bisa menahan
beban begitu banyak manusia?
Ia mulai berpikir
dengan cemas. Jika benang itu putus, ia akan jatuh kembali ke Neraka yang
mengerikan itu. Sementara ia masih dihantui pikiran menakutkan tersebut,
semakin banyak pendosa keluar dari kegelapan Danau Darah. Ratusan, bahkan
ribuan dari mereka terus memanjat ke atas melalui benang itu. Kandata yakin,
jika tidak segera menghentikan mereka, benang itu pasti akan putus di tengah
dan semuanya akan jatuh ke bawah.
Maka dengan suara
keras ia berteriak kepada para pendosa di bawahnya, “Hei, kalian para pendosa!
Benang laba-laba ini milikku! Siapa yang menyuruh kalian ikut naik? Turun!
Turun sekarang juga!”
Namun pada saat
Kandata berteriak demikian, benang laba-laba yang sejak tadi tidak menunjukkan
tanda-tanda akan putus, tiba-tiba patah tepat di atas tempat tangannya
berpegangan. Tubuh Kandata berputar-putar di udara seperti gasing, lalu jatuh
terjun ke dalam kegelapan tanpa dasar.
Kini yang tersisa
di langit tanpa bulan dan tanpa bintang hanyalah seutas benang laba-laba dari
Surga, berkilau lembut di dalam kegelapan.
Sang Buddha yang
berdiri di tepi kolam teratai di Surga menyaksikan semuanya dari awal sampai
akhir. Ketika akhirnya tubuh Kandata tenggelam seperti batu ke dasar Danau
Darah, Sang Buddha melanjutkan perjalanannya dengan langkah sedih.
Mungkin di hati
Beliau terselip rasa iba terhadap Kandata yang dikembalikan ke Neraka karena
ketidakpeduliannya terhadap sesama.
Namun bunga-bunga
teratai putih mutiara di kolam Surga, yang suci dan tak mengenal dosa maupun
duka, bergoyang lembut di sekitar kaki Sang Buddha. Dari benangsari emasnya,
mengalir kembali keharuman lembut yang sama, memenuhi udara seperti sedia kala.
Barangkali waktu di
Surga saat itu telah menjelang siang.
.jpg)