Cerpen Terjemahan Entri 4
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Kebencian
Parvin Faiz
Zadah Malal
“Itu pas empat kilo.”
Saat mendengar
kata-kata itu, senyum perlahan merekah di bibirnya. Ia menatap anak lelakinya
yang masih kecil…
Si penjaga toko terus
berbicara, “Kakak, ini uangnya… delapan rupee.”
Sekali lagi ia
mengulurkan tangan dari balik chador-nya dan menerima uang yang
diberikan penjaga toko. Di bawah terik matahari sore, ia segera bergegas
pulang. Ia melangkah cepat sambil menggenggam erat tangan anaknya. Pegangannya
begitu kuat hingga si anak tiba-tiba berkata, “Ibu, tanganku sakit.”
“Ibumu melakukan
semua ini demi kebaikanmu. Ibu akan longgarkan pegangannya, sekarang pasti
lebih baik,” ujarnya lembut, penuh kasih.
Sudah genap setahun
ia meninggalkan tanah air tercinta. Kini, di negeri asing, ia hanya bisa
menelan kesedihan siang dan malam. Setiap pagi, ia dan anaknya keluar dari
tenda mereka untuk mengumpulkan kertas bekas di pasar dan gang-gang kota hingga
sore hari. Menjelang petang, mereka berhenti di sebuah toko untuk menjual
kertas yang dikumpulkan sepanjang hari. Biasanya, mereka hanya dibayar empat
atau lima rupee, tetapi hari ini suasana hatinya cerah karena mereka menerima
delapan rupee.
Kadang-kadang, pada
sore tertentu, ia hanya berdiri dengan tangan kosong karena semua kertasnya
beterbangan terbawa angin, dan seperti kertas-kertas itu yang melayang jauh ke
negeri lain, kebahagiaannya pun ikut terbang. Namun hari ini, ia melangkah menuju
tendanya dengan hati ringan. Dalam perjalanan pulang, ia membeli roti, teh, dan
sedikit gula. Saat memeriksa uang di tangannya, masih tersisa dua rupee. Ia
berjalan melewati deretan tenda berwarna tanah dan hitam menuju tendanya
sendiri. Ketika ia mengangkat karpet tua yang tergantung di depan pintu tenda
dan melangkah masuk, panggilan azan Magrib berkumandang.
Ia berwudu dan
menunaikan salat, lalu mengambil lampu minyak. Ketika sadar bahwa minyaknya
sudah habis, ia berkata kepada anaknya, “Minyaknya sudah habis. Ambil uang ini
dan botol ini, pergilah ke toko dan beli minyak.”
Anaknya berdiri,
menerima uang dan botol itu, lalu berkata, “Ibu, sebaiknya…”
“…kau jangan berhenti
di jalan untuk bermain dengan anak-anak lain. Cepatlah, sebentar lagi gelap,”
potong ibunya.
Usai bicara, ia duduk
di dekat perapian dan menyalakan api. Saat nyala api mulai membesar, pikirannya
melayang; kenangan masa lalu menghantui seperti mimpi buruk. Air mata menetes
dari matanya sementara lidah api menjilat udara, seperti api kerinduan dan luka
pengasingan yang terus menyala di hatinya, menyalakan keinginan untuk kembali
ke tanah air…
Siang dan malam, di
dalam tenda gelap itu, ia terus dihantui kecemasan akan masa depan yang tak
pasti. Ingatannya sering melayang ke masa lalu, tak terlalu jauh, hanya setahun
sebelumnya, masa ketika ia masih memiliki segalanya: suami yang penyayang, rumah
yang hangat, pekerjaan terhormat, dan yang terpenting, tanah air sendiri. Kini,
ia tak memiliki apa-apa. Selain anak lelakinya, ia tidak tahu nasib keluarganya
yang lain, apakah mereka masih hidup, atau sudah tiada, atau di mana mereka
berada.
Hal yang paling
membuatnya sedih adalah anaknya tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana
mestinya. Ia teringat masa ketika ia menjadi guru sekolah dasar di kampung
halamannya. Ia biasa mengajar sepuluh murid di satu kelas, tetapi kini anaknya
buta huruf. Kadang ia mencoba mengajarinya sedikit-sedikit, dan keinginan
terbesarnya adalah agar anaknya bisa kembali bersekolah dengan layak, meski ia
tahu itu hal yang jauh dari jangkauan.
Di tenda itu, ketika
ia teringat anak-anak muridnya di sekolah dulu, beban kesedihannya sedikit
terangkat. Kenangan itu membuat kesedihan lain terasa lebih ringan, dan ia pun
larut dalam lamunan.
Pagi tadi, seperti
pagi-pagi sebelumnya, ia keluar dari tenda bersama anaknya. Angin dingin
langsung menyambut. Awan berarak di langit dan beberapa tetes hujan mulai jatuh
ke tanah. Semakin lama awan menumpuk, perasaan cemasnya semakin besar. Hari
hujan membuat mereka tak bisa berjalan jauh, dan jika hujan deras, semua kertas
bisa basah. Dengan tergesa-gesa, mereka berjalan menuju pasar utama.
Ketika hampir sampai,
hujan turun semakin deras. Mereka berhenti di depan sebuah toko yang tutup;
anaknya merapatkan tubuh ke ibunya, dan mereka menunggu hujan reda. Setelah
satu jam, hujan berhenti, dan mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalan dan
gang kota, berharap menemukan kertas kering di suatu tempat. Namun hingga sore,
mereka tidak menemukan apa pun, dan mereka belum makan sejak kemarin karena
uangnya sudah habis.
Menjelang sore,
anaknya mulai lapar. Betapa aneh rasanya. Tahun ini, ia dan anaknya sudah
sering melewati hari-hari dengan perut kosong. Sebagian besar hari, mereka
tidak punya sisa uang dari hari sebelumnya, dan anaknya hanya bisa bertahan
dengan secangkir teh pagi hingga sore atau malam, ketika mereka menjual kertas
dan pulang untuk makan sedikit. Ia sudah membiasakan anaknya hidup seperti itu,
tetapi belakangan anaknya mulai gelisah, menolak keadaan, dan terus mengeluh
lapar. Ia berusaha menenangkan dan menjelaskan, tetapi tak berhasil. Ia tidak
tahu harus berbuat apa.
Kepada siapa ia bisa
meminta tolong? Di toko mana ia harus berhenti? Kepada pejalan mana ia harus
berbicara? Tindakan seperti itu memerlukan keberanian besar, bahkan orang
paling berani pun mungkin enggan melakukannya. Ia sendiri bahkan tak sanggup
membayangkannya, bagaimana mungkin ia benar-benar melakukannya?
Namun kini anaknya
semakin keras kepala. Beberapa kali ia mendekati toko dan menatap para pejalan
kaki, tetapi ia tak kuasa membuka mulut. Saat itu juga, muncul pikiran lain di
benaknya, “Seandainya aku berani mengetuk pintu rumah seseorang.”
Pikiran itu tampak
lebih mungkin, karena besar kemungkinan seorang wanita yang akan membuka pintu.
Dengan tekad itu, ia mendekati sebuah rumah. Tangannya gemetar, tubuhnya basah
oleh keringat. Ia ragu, antara mengetuk atau tidak. Hatinya terbelah dua, di
satu sisi ada kasih sayang seorang ibu, di sisi lain ada rasa malu dan takut.
Ia kebingungan, jantungnya berdegup kencang, dan mulutnya kering. Akhirnya, ia
mengangkat tangannya dan mengetuk pintu.
Tak lama kemudian,
pintu terbuka, dan seorang wanita tua muncul. Dengan suara bergetar, ia
berkata, “Anakku… anakku sangat lapar dan aku tidak punya uang. Jika saja aku
bisa…”
Belum sempat ia
menyelesaikan kalimatnya, wanita tua itu berbalik dan berkata sambil berjalan
ke dalam rumah, “Masuklah. Anggap rumah sendiri.”
Dari celah pintu yang
setengah terbuka, ia melihat wanita itu kembali, memegang semangkuk makanan di
satu tangan dan sepotong roti di tangan lainnya. Namun pada saat bersamaan,
terdengar suara seorang gadis muda dari dalam rumah.
“Ibu, sudah berapa
kali aku bilang, buang saja makanan itu untuk anjing, jangan berikan pada
orang-orang Kabul itu!”
Ketika wanita tua itu
sampai di pintu dengan mangkuk di tangannya, wanita dan anak kecil itu sudah
tidak ada. Ia melangkah keluar, melihat ke kanan dan ke kiri. Di kejauhan,
tampak ibu dan anak itu sudah hampir mencapai ujung gang.
