Cerpen Terjemahan Entri 5
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Bagaimana Itu TerjadiArthur
Conan Doyle
Aku bisa mengingat beberapa
hal dari malam itu dengan jelas, sementara yang lain samar-samar, seperti
potongan mimpi yang pecah. Itu membuat sulit bagiku menyusun cerita yang
runtut. Aku bahkan tak tahu pasti apa yang membuatku pergi ke London dan kembali
begitu larut. Semua kunjunganku ke London bercampur menjadi satu. Tetapi sejak
aku turun di stasiun kecil di pedesaan itu, segalanya sangat jelas. Aku bisa
menghidupkan kembali setiap detiknya.
Aku masih ingat berjalan di
peron, melihat jam besar yang bercahaya di ujung sana menunjukkan pukul
setengah dua belas. Aku ingat berpikir apakah aku bisa sampai rumah sebelum
tengah malam. Aku juga ingat mobil besar dengan lampu depan menyilaukan dan kuningan
mengilap menungguku di luar. Itu mobil baruku, Robur tiga puluh tenaga kuda,
yang baru dikirim hari itu. Aku bertanya pada Perkins, sopirku, bagaimana mobil
itu berjalan. Ia menjawab, menurutnya mobil itu luar biasa.
“Aku ingin coba sendiri,”
kataku, lalu aku naik ke kursi pengemudi.
“Giginya tidak sama seperti
mobil lama, Tuan. Lebih baik saya saja yang mengemudi,” katanya.
“Tidak. Aku ingin
mencobanya,” jawabku.
Maka kami pun mulai menempuh
perjalanan lima mil menuju rumah.
Mobil lamaku memiliki tuas
persneling model lama, dengan takikan pada batang besi. Mobil baru ini berbeda,
tuas harus digeser melewati celah untuk mencapai gigi tinggi. Sebenarnya tidak
sulit dipelajari, dan aku cepat merasa sudah paham. Memang bodoh mempelajari
sistem baru dalam gelap, tetapi kadang orang memang melakukan hal bodoh, dan
tidak selalu harus menanggung akibat penuh. Semuanya berjalan baik sampai kami
tiba di Bukit Claystall. Itu salah satu tanjakan terburuk di Inggris, panjang
satu setengah mil dengan kemiringan curam dan tiga tikungan tajam. Gerbang
taman rumahku tepat di kaki bukit itu, di jalan utama menuju London.
Kami baru saja melewati
puncak bukit, bagian paling curam, ketika masalah mulai. Aku ingin memindahkan
gigi, tapi tuas macet di antara dua gigi. Aku terpaksa kembali ke gigi atas.
Saat itu mobil sudah melaju kencang. Aku injak kedua rem, tapi satu per satu
gagal. Aku tidak terlalu kaget ketika rem kaki patah, tapi ketika aku menekan
rem tangan sekuat tenaga dan tuasnya sampai batas akhir tanpa hasil, keringat
dingin mulai mengalir. Mobil meluncur deras menuruni bukit. Lampu depan menyala
terang, aku berhasil mengendalikan mobil di tikungan pertama. Tikungan kedua
berhasil juga, meski hampir masuk parit. Di depanku jalan lurus sepanjang satu
mil, lalu tikungan ketiga, dan setelah itu gerbang taman. Kalau aku bisa masuk
ke sana, tanjakan menuju rumah akan menghentikan mobil.
Perkins bersikap sangat
tenang. Aku ingin orang tahu itu. Ia tetap sigap dan tidak panik. Dari awal aku
sempat berpikir untuk menabrakkan mobil ke tebing, dan ia langsung membaca
pikiranku.
“Sebaiknya jangan, Tuan,”
katanya. “Dengan kecepatan ini, mobil akan terguling menimpa kita.”
Ia benar. Ia mematikan
listrik mesin agar mobil bebas, tapi laju tetap gila. Ia memegang roda kemudi.
“Aku akan jaga agar tetap
lurus, Tuan. Kalau Tuan mau, lompatlah. Kita takkan bisa melewati tikungan
berikut. Lebih baik lompat.”
“Tidak,” jawabku. “Aku akan
bertahan. Kau boleh lompat kalau mau.”
“Aku akan bertahan bersama
Tuan,” katanya.
Kalau mobil lama, aku mungkin
akan memaksa tuas ke gigi mundur, biar apa yang terjadi. Mungkin gigi akan
rusak atau mesin hancur, tapi setidaknya ada peluang. Kini aku tak bisa berbuat
apa-apa. Perkins mencoba berpindah kursi, tapi tak mungkin dengan kecepatan
itu. Roda berputar kencang seperti angin ribut, badan mobil berderit menahan
beban. Tapi lampu depan begitu terang, aku bisa mengarahkan mobil dengan tepat.
Aku sempat berpikir betapa mengerikan sekaligus megahnya pemandangan kami bagi
siapa pun yang berpapasan. Jalan itu sempit, dan kami hanyalah maut berkilau
keemasan yang mengamuk.
Kami melewati tikungan dengan
satu roda naik setinggi hampir satu meter ke tebing. Kupikir kami pasti
terguling, tapi mobil kembali tegak dan meluncur. Itu tikungan ketiga, yang
terakhir. Tinggal gerbang taman. Gerbang itu ada di depan, sekitar dua puluh
meter ke kiri dari jalan utama yang kami lewati. Mungkin aku bisa masuk, tapi
tampaknya roda kemudi sudah terguncang saat menabrak tebing. Roda tak lagi
mudah diputar. Mobil melesat keluar jalur. Aku melihat gerbang terbuka di kiri.
Aku putar roda sekuat pergelangan. Perkins dan aku membanting tubuh kami ke
kiri. Lalu dalam sekejap, dengan kecepatan hampir delapan puluh kilometer per
jam, roda kanan menabrak tiang kanan gerbang rumahku. Kudengar dentuman keras.
Aku merasa terlempar ke udara, lalu—lalu—!
Saat sadar kembali, aku
berada di semak-semak, di bawah bayangan pohon ek di dekat rumah penjaga
gerbang. Seorang pria berdiri di sampingku. Kukira itu Perkins, tapi ternyata
Stanley, teman kuliahku bertahun-tahun lalu. Aku sangat menyayanginya, dan merasa
dia pun punya rasa simpati yang sama padaku. Aku kaget melihatnya, tapi aku
seperti sedang bermimpi—pusing, goyah, dan siap menerima apa pun tanpa banyak
tanya.
“Betapa hebat tabrakannya!”
kataku. “Astaga, hancur benar!”
Ia mengangguk, dan bahkan
dalam gelap aku melihat senyum lembutnya yang khas.
Aku tidak bisa bergerak, dan
tidak ingin bergerak. Tapi indraku sangat peka. Aku melihat bangkai mobil
diterangi lentera yang bergerak. Aku melihat beberapa orang, mendengar
suara-suara pelan. Ada penjaga gerbang, istrinya, dan dua orang lagi. Mereka
tidak memperhatikanku, sibuk di sekitar mobil. Tiba-tiba terdengar teriakan
kesakitan.
“Beratnya menimpa dia. Angkat
pelan-pelan!” teriak seseorang.
“Itu cuma kakiku!” jawab
suara lain yang kukenal sebagai suara Perkins. “Di mana Tuan?” teriaknya.
“Di sini!” jawabku, tapi
mereka tidak mendengarku. Mereka semua membungkuk di depan mobil.
Stanley meletakkan tangannya
di bahuku. Sentuhannya begitu menenangkan. Aku merasa ringan dan bahagia meski
baru saja kecelakaan.
“Tidak sakit, kan?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
“Memang tidak pernah,”
katanya.
Lalu tiba-tiba aku tersentak.
Stanley! Stanley! Dia kan sudah meninggal karena sakit di Bloemfontein saat
Perang Boer!
“Stanley!” teriakku,
tenggorokanku tercekat. “Stanley, kau sudah mati.”
Ia menatapku dengan senyum
lembutnya.
“Begitu juga
kau,” jawabnya.
