Cerpen Terjemahan Entri 6
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Mencari KepastianRadwa Ashour
Pintu itu terbuka perlahan,
dan tampaklah Amm Abd al-Qadir meminta izin untuk masuk. Ketika Dr. Qasim
mengangguk, ia melangkah masuk diikuti pria yang tak kukenal.
Amm Abd al-Qadir petugas
polisi, penjaga pintu gerbang masuk fakultas. Ia bisa terlihat sepanjang hari,
duduk di kursi anyaman rotan dengan jaket yang diikat sabuk kulit yang
melintang dari bahu kanan ke dada, dan terhubung ke ikat pinggang lebar
bergesper logam. Jubahnya, putih dari katun pada musim panas dan hitam dari wol
pada musim dingin, tampak tua dan lusuh. Penampilannya tidak memancarkan
wibawa, kekuasaan, atau rasa takut yang biasanya melekat pada seorang polisi.
Sebaliknya, mata kecilnya ramah, wajahnya bersahabat, dan kumis putih tebalnya
memberi kesan lembut penuh kebaikan.
“Pria ini adalah kakek dari
mahasiswi di jurusan Anda. Ia memintaku mempertemukannya dengan dosen,” jelas
Amm Abd al-Qadir. Saat berbalik hendak pergi, ia menepuk bahu pria itu dan
berkata, “Tenang saja, mereka akan membantumu.” Setelah itu, ia pamit keluar
dari ruangan.
Tamu itu mengulurkan tangan
besar kepada Dr. Qasim yang duduk di balik meja kerjanya dan berkata, “Nama
saya Fahmi Abd al-Sattar, ayah dari seorang syahid. Cucu saya, Nadya Ahmad
Fahmi Abd al-Sattar, adalah mahasiswi di sini. Apakah Anda mengenalnya?”
Dr. Qasim memintanya duduk
dan menunggu sebentar sampai ia selesai mengurus beberapa berkas sebelum
mendengarkannya. Pria itu pun duduk di sebelahku. Aku sendiri menunggu Dr.
Qasim menyelesaikan pekerjaannya agar ia bisa memberikan komentar tentang sebagian
tesis magisterku yang telah ia baca. Pria itu tampak tua meski tubuhnya masih
tegap. Wajahnya bulat dan kulitnya berwarna gelap, cokelat kopi khas penduduk
Hulu Mesir. Ia mengenakan setelan lama dan menggenggam tongkat di tangannya.
Dr. Qasim mengangkat
kepalanya. “Ya, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya Fahmi Abd al-Sattar,
ayah dari seorang syahid, dan cucu saya, Nadya Ahmad Fahmi Abd al-Sattar,
adalah mahasiswi di sini,” ulangnya dengan nada hormat.
“Tahun berapa dia sekarang?”
“Tahun pertama.”
“Saya tidak mengajar
mahasiswa tahun pertama, tetapi saya kepala jurusan. Ada masalah apa?”
Pria itu tersenyum kikuk.
“Tidak, puji syukur kepada Tuhan, tidak ada masalah. Saya hanya ingin mendapat
kepastian. Apakah anak itu rajin kuliah? Apakah dia tekun belajar? Apakah
perilakunya baik? Saya perlu tahu, Tuan.”
Dr. Qasim tersenyum tipis
dan menjawab dengan nada yang hanya terdengar sinis bagi mereka yang
mengenalnya baik, “Anda akan tahu di akhir tahun, saat hasil ujian diumumkan.”
Namun pria itu
mengulanginya, kali ini tanpa senyum, “Saya butuh kepastian sekarang. Benar,
saya sudah membesarkannya dengan baik dan tidak menahan tenaga sedikitpun.
Tapi... apakah saya sudah bilang bahwa dia anak dari seorang syahid? Saat
ayahnya gugur di medan perang, ibunya mengandungnya. Cucu saya, Nadya Ahmad
Fahmi Abd al-Sattar, mahasiswi di jurusan Anda, lahir pada November 1967.
Ibunya—semoga Tuhan memuliakannya—tidak pernah menikah lagi, padahal saat itu
dia baru berusia tujuh belas tahun. Sudah saya katakan juga bahwa sekarang dia
bekerja di Uni Emirat Arab?”
Dr. Qasim mulai
membolak-balik tumpukan kertas di mejanya. Ia tampak mulai kehilangan minat
pada pembicaraan itu dan berhenti mendengarkan.
“Aku ini orang Hulu Mesir,”
lanjut pria itu. “Aku berkata kepada Nadya, ‘Ilmu itu cahaya, tapi akhlak lebih
utama dari ilmu, dan rasa malu adalah perhiasan. Bicaralah dengan teman-teman
lelakimu, tak apa, tetapi hormatilah batas kesopanan. Jangan menatap mata
laki-laki mana pun. Tundukkan pandanganmu, karena melihat itu godaan, Nak, dan
jadilah—’”
“Apa sebenarnya yang Anda
inginkan dari saya?” potong Dr. Qasim dengan nada tegas.
“Saya sudah bilang, Tuan.
Saya hanya ingin satu hal. Saya ingin tenang, ingin tahu keadaan cucu saya.”
“Bagaimana caranya?” suara
Dr. Qasim meninggi, nada tidak sabar terdengar jelas.
Aku takut, jika pertemuan
itu terus berlanjut, pria tua itu akan diusir dari ruangan. Aku membayangkan
pemandangan menyedihkan itu ketika tiba-tiba tiga mahasiswa mengetuk pintu dan
masuk, membawa poster yang ingin mereka tunjukkan kepada Dr. Qasim. Ia membaca
poster itu, lalu tertawa kecil.
Kemudian ia menoleh
kepadaku. “Camellia, dengarkan iklan menarik untuk perjalanan ke Port Said ini.
‘Kota bebas membuka pelukannya untukmu. Port Said adalah lautan barang-barang
dagangan. Ayo ikut bersama kami untuk berenang dan belanja!’”
Dr. Qasim terus tertawa
sambil menandatangani poster iklan itu, lalu mengembalikannya kepada tiga
mahasiswa yang datang. Salah satu dari mereka menoleh kepadaku dan bertanya
apakah aku akan ikut dalam perjalanan itu. Aku menjawab bahwa aku belum
memutuskan. Begitu para mahasiswa itu keluar, pria tua itu kembali bicara.
Untuk sesaat, tampak seolah-olah Dr. Qasim lupa akan kehadirannya di ruangan
itu dan sedikit terkejut menyadari ia masih duduk di sana.
“Maksud saya begini, Tuan,”
kata pria tua itu dengan hati-hati, “kalau Anda bisa memberikan jadwal kuliah
dan nama-nama dosen, saya akan bisa—”
“Jadwalnya sudah dipasang di
lorong. Di sana tercantum waktu kuliah dan nama para dosen,” potong Dr. Qasim
singkat.
Aku pun menawarkan diri
untuk menunjukkan kepadanya tempat jadwal itu ditempel. Ia mengikutiku, dan aku
membawanya ke papan pengumuman. Aku membiarkannya menyalin daftar jadwal
cucunya, sementara aku berbincang dengan beberapa mahasiswa tingkat empat yang
kebetulan lewat. Ketika selesai, ia mendekat kepadaku dan berhenti beberapa
langkah jauhnya, menungguku menyelesaikan percakapan. Melihat itu, aku bertanya
apakah ia masih memerlukan bantuan.
“Di jadwal itu, mahasiswa
tahun pertama tidak ada kuliah pada hari Rabu,” katanya pelan, “tetapi Nadya
selalu pergi ke kampus setiap hari Rabu.”
“Kelompok berapa Nadya?”
tanyaku.
“Di jurusan Anda.”
“Aku tahu dia di jurusan
kami, tapi maksudku, dia di kelompok mana? 1-A, 1-B, 1-C, atau D, E, F?
Mahasiswa tahun pertama dibagi menjadi enam kelompok. Nadya di kelompok mana?”
“Saya tidak tahu,” jawabnya
ragu.
“Bagaimana Anda bisa
menyalin jadwalnya kalau ada enam jadwal berbeda untuk mahasiswa tahun
pertama?”
Pria itu terdiam sesaat
sebelum menjawab sambil mencondongkan tubuh ke arahku, ia berkata lirih,
“Maafkan saya, usia saya tujuh puluh tahun lebih, dan saya tidak menyadari hal
itu. Tidak apa-apa, saya akan salin semua enam jadwal itu, nanti saya tanya di
kelompok mana dia sebenarnya.”
Ia berhenti sejenak, lalu
melanjutkan dengan suara bergetar, “Saya tujuh puluh tujuh tahun, dan istri
saya tujuh puluh. Ayah Nadya gugur di medan perang sebelum dia lahir. Ibunya
bekerja di luar negeri supaya bisa memberikan kehidupan terhormat bagi anaknya.
Ini tanggung jawab besar, dan saya tidak ingin mengabaikannya sedikit pun.”
Aku hampir mengucapkan
beberapa kata ringan untuk menenangkannya sebelum pergi, ketika aku melihat
seorang gadis tinggi berkulit gelap berjalan mendekat dengan senyum cerah dan
sedikit terkejut.
“Halo, Kakek. Ada apa datang
ke sini?”
Nadya memiliki wajah ramah
dan sedikit kekanak-kanakan, terlihat dari pakaian sederhananya dan rambut
hitam panjangnya yang diikat ekor kuda dengan pita biru tipis.
“Nadya, kamu di kelompok
mana?” tanya sang kakek.
“1-C, Kek. Memangnya
kenapa?”
“Aku datang untuk menyalin
jadwal kuliahmu supaya aku tenang mengetahui kapan kamu ada kelas. Tapi
ternyata mahasiswa tahun pertama dibagi dalam banyak kelompok.”
Wajah gadis itu mendadak
berubah serius, lalu perlahan berkerut. Aku melihat air mata di matanya ketika
ia berkata dengan suara tertahan, “Tapi, Kakek—”
“Tapi apa?” potongnya cepat.
“Aku ingin tahu semuanya agar bisa menjagamu dan merawatmu dengan baik.”
Gadis itu menggigit bibir
bawahnya dan diam sesaat. “Permisi, Kakek. Aku ada kuliah,” ujarnya singkat. Ia
melangkah menjauh beberapa langkah, lalu menoleh lagi, menambahkan, “Oh iya,
Kek, akan ada perjalanan ke Port Said, dan aku ingin ikut.”
“Ke Port Said?”
“Iya.”
“Tidak, Nadya. Tidak perlu
ikut perjalanan seperti itu. Tidak usah.”
“Tapi, Kakek, aku ingin
pergi! Aku akan pergi!” seru Nadya, lalu ia pun meninggalkan mereka.
Sang kakek mencondongkan
tubuh ke arahku dan bertanya dengan suara rendah, “Apakah Anda akan ikut
perjalanan itu?”
“Saya belum tahu,” jawabku,
“tapi tenang saja, bahkan kalau saya tidak ikut, beberapa asisten dosen
perempuan, rekan-rekan saya, dan beberapa profesor akan ikut.”
“Selama dia tidak berada di
bawah pengawasan saya, saya perlu merasa tenang,” katanya pelan. Lalu, dengan
suara hampir seperti berbisik kepada dirinya sendiri, ia menambahkan, “Namun,
perjalanan ke Port Said akan memberinya kesempatan untuk mengenal negerinya,
dan juga…”
Ia terdiam sejenak sebelum
berbisik, “Ya, dia akan mengenal negerinya, dan melihat sebagian tanah tempat
ayahnya bertempur, tanah yang telah dibela sampai mati.”
Aku meninggalkannya dan
kembali ke ruang Dr. Qasim untuk mendengarkan komentar beliau tentang tesis-ku.
Dua jam kemudian, ketika aku keluar dari fakultas, kulihat pria tua itu masih
duduk di kursi rotan di samping Amm Abd al-Qadir. Keduanya tampak berbincang
santai.
“Saya pikir, sebaiknya saya
menunggu Nadya sampai kuliahnya selesai supaya kami bisa pulang bersama. Rumah
kami jauh dari sini, dan perjalanan pulang panjang,” jelasnya kepadaku.
Aku meninggalkan kampus
sambil memikirkan perjalanan ke Port Said itu. Akhirnya aku memutuskan untuk
ikut. Dalam hati aku berkata, “Ini kesempatan untuk beristirahat, sekaligus
membeli sampo dan stoking nilon.”
.jpg)