Cerpen Terjemahan Entri 7
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Penjaga SinyalCharles Dickens
“Halo! Di bawah sana!”
Ketika suara itu terdengar
memanggilnya, penjaga sinyal sedang berdiri di pintu gubuknya dengan sebuah
bendera di tangan, digulung pada tiang pendek. Seharusnya, mengingat kondisi
tanah, ia tahu dari mana arah suara datang. Tetapi, alih-alih menoleh ke atas,
ke arahku yang berdiri di puncak tebing curam tepat di atas kepalanya, ia
justru berbalik dan melihat ke arah rel. Ada sesuatu yang aneh pada caranya
itu, meskipun aku tak bisa menjelaskan apa. Yang jelas, tingkahnya cukup ganjil
untuk menarik perhatianku. Dari atas, tubuhnya tampak kecil dan berada dalam
bayangan parit dalam, sementara aku berdiri di atas sana, tersapu cahaya
matahari terbenam yang kemerahan sampai-sampai aku harus menutupi mata dengan
tangan sebelum bisa melihatnya.
“Halo! Di bawah sana!”
Kali ini ia menoleh ke
arahku. Ia mendongak dan akhirnya melihat sosokku di atas.
“Apakah ada jalan yang bisa
kutempuh untuk turun dan berbicara denganmu?” tanyaku.
Ia menatapku tanpa menjawab.
Aku pun menunggu, tak ingin mengulang pertanyaan terlalu cepat. Saat itu, tanah
dan udara di sekitarku bergetar samar, berubah cepat menjadi guncangan keras,
lalu deru kereta yang melintas membuatku mundur selangkah, seolah-olah ada
kekuatan yang menarikku jatuh. Ketika uap kereta naik hingga sejajar posisiku
dan menyebar ke lanskap, aku kembali menoleh ke bawah. Ia sudah menggulung
kembali bendera yang tadi ia kibaskan.
Aku mengulangi pertanyaanku.
Setelah jeda, ketika ia seakan menatapku dengan penuh perhatian, ia memberi
isyarat dengan bendera gulungannya, menunjuk ke sebuah titik di jalur setara
dengan tempatku berdiri, sekitar dua atau tiga ratus meter jauhnya. Aku berseru,
“Baiklah!” lalu berjalan menuju titik itu. Di sana, setelah memperhatikan
dengan saksama, aku menemukan sebuah jalan setapak curam berkelok-kelok,
dipahat kasar di tebing, dan aku menuruni jalan itu.
Tebing itu sangat dalam dan
curam, dipotong menembus batu lembap yang makin licin dan basah semakin ke
bawah. Perjalanan itu cukup lama, memberiku waktu untuk merenungkan sikap
enggan yang ditunjukkannya saat tadi mengisyaratkan jalan padaku.
Ketika aku sudah cukup dekat
dan bisa melihatnya lagi, ia berdiri di rel yang baru saja dilalui kereta.
Tubuhnya tampak seperti sedang menunggu kemunculanku. Tangan kirinya menempel
di dagu, sementara sikunya bertumpu pada tangan kanan yang menyilang di dada.
Posisi itu begitu penuh harap dan waspada hingga aku berhenti sejenak, heran
melihatnya.
Aku melanjutkan langkah, dan
ketika sampai di jalur kereta serta semakin mendekat, aku melihat ia seorang
pria berkulit gelap, berwajah pucat kekuningan, berjenggot hitam, dan berhias
alis tebal. Tempat kerjanya benar-benar sepi dan suram. Di kedua sisi, dinding
batu kasar yang basah menutup pandangan, menyisakan sedikit celah langit di
atas. Ke satu arah, pemandangan hanya lorong panjang berliku seperti penjara
batu besar; ke arah lain, lorong pendek berakhir pada cahaya merah suram dan
pintu masuk terowongan hitam yang megah tapi menekan dan menakutkan. Sinar
matahari jarang sekali sampai ke tempat itu, udara berbau tanah dan kematian,
angin dingin berhembus deras, membuatku merasa seakan-akan telah meninggalkan
dunia yang wajar.
Aku sudah cukup dekat untuk
menyentuhnya, tetapi ia tetap menatapku tanpa berkedip. Ia hanya melangkah
mundur selangkah dan mengangkat tangan.
Aku berkata padanya bahwa
posisinya sangat sepi, itulah yang membuatku tertarik ketika melihatnya dari
atas tadi. Pasti jarang ada pengunjung, dan aku berharap kedatanganku tidak
membuatnya terganggu. Aku hanyalah seorang pria yang seumur hidup terkungkung
dalam batas sempit, dan kini, setelah bebas, timbul rasa ingin tahu pada
pekerjaan besar seperti ini. Begitulah aku mencoba membuka percakapan. Namun
aku sendiri tidak yakin apakah kata-kataku tepat, sebab selain aku memang tak
pandai memulai obrolan, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku merasa gentar.
Ia menoleh ke arah cahaya
merah di mulut terowongan, menatapnya seakan mencari sesuatu yang hilang, lalu
kembali menatapku.
“Itu lampu bagian dari
tugasmu, bukan?” tanyaku.
Dengan suara pelan ia
menjawab, “Bukankah kau tahu itu memang tugasku?”
Seketika pikiran aneh muncul
di benakku, bahwa ia bukan manusia, melainkan roh. Sejak itu aku
bertanya-tanya, mungkin pikirannya terinfeksi oleh sesuatu.
Aku ikut melangkah mundur,
tetapi dalam gerakan itu aku melihat ada ketakutan tersembunyi di matanya
terhadapku. Pikiran aneh tentang dirinya sebagai roh pun sirna.
“Kau menatapku,” kataku
sambil memaksakan senyum, “seakan-akan takut padaku.”
“Aku ragu,” jawabnya pelan,
“apakah aku pernah melihatmu sebelumnya.”
“Di mana?” tanyaku.
Ia menunjuk ke arah lampu
merah itu.
“Di sana?” kataku.
Ia menatapku lekat-lekat,
lalu menjawab tanpa suara, “Ya.”
“Kawan baikku, untuk apa aku
berada di sana? Bagaimanapun juga, aku tak pernah ada di sana, aku bersumpah.”
“Ya, aku rasa memang begitu.
Aku yakin begitu,” katanya akhirnya.
Sikapnya lalu menjadi lebih
tenang, sama sepertiku. Ia mulai menanggapi ucapanku dengan lancar dan
kata-kata terpilih. Apakah ia punya banyak pekerjaan? Ya, ia cukup memikul
tanggung jawab, meskipun sebenarnya tak banyak pekerjaan fisik. Tugasnya hanya
mengganti sinyal, merapikan lampu, dan sesekali memutar tuas besi. Soal waktu
yang panjang dan sepi, ia berkata bahwa ia sudah terbiasa. Hidupnya sudah
terbentuk dalam pola itu.
Ia mengajar dirinya sendiri
bahasa asing—meski hanya mengenali huruf dan punya gambaran kasar tentang cara
membacanya. Ia juga belajar pecahan, desimal, dan sedikit aljabar, meskipun
sejak kecil ia memang lemah dalam berhitung. Apakah ia harus selalu berada di
udara lembap itu saat bertugas, tak pernah naik ke tempat terbuka dan berjemur
matahari? Itu tergantung keadaan. Pada jam-jam tertentu lalu lintas kereta
lebih sepi, jadi ia bisa naik sebentar. Namun karena harus selalu siap
mendengar bel listrik, waktu bebasnya sangat terbatas.
Ia lalu mengajakku masuk ke
gubuknya. Di dalam ada api, meja dengan buku catatan resmi, alat telegraf
dengan jarum dan pelat muka, serta bel kecil. Aku berkomentar bahwa ia tampak
terdidik baik, bahkan mungkin lebih tinggi dari posisinya sekarang. Ia menjawab,
memang sering ada orang yang tidak cocok dengan pekerjaannya—bahkan di rumah
miskin, kepolisian, atau tentara. Ia sendiri dulu pernah belajar filsafat alam,
menghadiri kuliah, tapi menyia-nyiakan kesempatan, jatuh, dan tak pernah
bangkit lagi. Ia tidak mengeluh. Katanya, ia sudah memilih jalannya, dan sudah
terlambat mengubah.
Ia menceritakan semua itu
dengan tenang, menatapku atau menatap api. Sesekali ia menyelipkan kata “Tuan”,
seakan ingin menegaskan bahwa ia tidak mengaku sebagai siapa pun selain dirinya
sekarang. Beberapa kali bel berbunyi, membuatnya berhenti bicara, membaca
pesan, lalu membalasnya. Sekali, ia keluar, mengibaskan bendera saat kereta
lewat, dan menyampaikan pesan pada masinis. Dalam menjalankan tugasnya, aku
melihat ia sangat teliti dan waspada. Ia bisa memutus pembicaraan di tengah
kata, lalu fokus bekerja, dan baru bicara lagi setelah selesai.
Kalau bukan karena satu hal,
aku pasti menilainya sebagai pekerja yang paling dapat dipercaya. Tetapi dua
kali, saat ia sedang berbicara, wajahnya berubah pucat, matanya menoleh ke bel
meski bel tidak berbunyi, lalu ia membuka pintu gubuk (yang biasanya ditutup
rapat agar lembap tak masuk), dan melihat ke arah lampu merah di mulut
terowongan. Dua kali itu pula ia kembali dengan ekspresi aneh yang sama seperti
pertama kali kulihat.
Ketika aku hendak pamit, aku
berkata, “Kau hampir membuatku percaya bahwa aku bertemu dengan orang yang puas
dengan hidupnya.” (Sebenarnya aku berkata begitu hanya untuk memancingnya.)
“Aku memang pernah begitu,”
jawabnya pelan, “tapi sekarang aku gelisah, Tuan. Aku gelisah.”
Ia tampak ingin menarik
kembali ucapannya, tetapi kata-kata itu sudah terucap. Aku langsung
menyambutnya.
“Dengan apa? Apa yang
mengganggumu?”
“Sangat sulit menjelaskan,
Tuan. Sangat sulit diucapkan. Jika kau datang lagi, aku akan mencoba
menceritakan.”
“Aku memang berniat datang
lagi. Bilang saja kapan.”
“Aku selesai pagi-pagi
sekali, lalu kembali bertugas jam sepuluh malam, Tuan.”
“Kalau begitu, aku akan
datang jam sebelas.”
Ia mengucapkan terima kasih,
lalu menemaniku keluar.
“Aku akan menyalakan lampu
putih, Tuan,” katanya dengan suara rendah yang khas, “sampai kau menemukan
jalan naik. Tapi jangan berseru saat kau sudah di atas! Jangan berseru.”
Sikapnya membuat tempat itu
terasa makin dingin, tapi aku hanya menjawab, “Baiklah.”
“Dan besok malam, ketika kau
turun, jangan berseru juga! Biarkan aku bertanya terakhir. Mengapa tadi malam
kau berteriak ‘Halo! Di bawah sana!’?”
“Entahlah,” jawabku. “Aku
memang berteriak sesuatu seperti itu—”
“Bukan mirip, Tuan. Itu
kata-kata yang persis. Aku tahu betul.”
“Baiklah, aku mengaku.
Mungkin aku berkata begitu karena melihatmu di bawah.”
“Tidak ada alasan lain?”
“Alasan apalagi yang
mungkin?”
“Kau tidak merasa kata-kata
itu datang padamu dengan cara gaib?”
“Tidak.”
Ia mengucapkan selamat malam
dan mengangkat lampunya. Aku berjalan di sisi rel sambil merasa tak nyaman,
seolah-olah kereta akan menabrakku dari belakang, hingga akhirnya menemukan
jalan setapak. Jalan naik terasa lebih mudah, dan aku kembali ke penginapan
tanpa halangan.
Tepat waktu sesuai janji,
malam berikutnya aku menuruni jalan berundak menuju pos penjaga sinyal. Ia
sudah menunggu dengan lampu putihnya.
“Aku tidak berseru,” kataku
ketika mendekat.
“Silakan bicara sekarang,”
jawabnya.
“Kuharap malammu baik. Ini
tanganku.”
“Selamat malam, Tuan. Ini
tanganku.”
Kami berjalan berdampingan
menuju gubuknya, masuk, menutup pintu, lalu duduk di dekat api.
“Aku sudah memutuskan, Tuan,”
katanya pelan, “aku tidak akan membuatmu bertanya dua kali. Kemarin sore aku
mengira kau orang lain. Itulah yang membuatku gelisah.”
“Kekeliruan itu?” tanyaku.
“Bukan. Tapi orang itu.”
“Siapa dia?”
“Aku tidak tahu. Wajahnya
tidak pernah terlihat. Lengan kirinya menutupi wajah, sementara tangan kanannya
melambai—keras sekali, begini.”
Ia memperagakan gerakan itu,
melambaikan tangan seakan berteriak putus asa, “Demi Tuhan, singkirkan
jalannya!”
Suatu malam bercahaya bulan,
katanya, ia mendengar suara, “Halo! Di bawah sana!” Ia berlari keluar, melihat
sosok itu berdiri di dekat lampu merah, melambaikan tangan sambil berteriak:
“Awas! Hati-hati! Halo! Di bawah sana!” Ia mengambil lampu, menyalakannya
merah, lalu berlari ke arah sosok itu, berteriak, “Ada apa? Apa yang terjadi?
Di mana?” Tetapi ketika ia hampir menyentuhnya, sosok itu lenyap.
“Masuk ke terowongan?”
tanyaku.
“Tidak. Aku bahkan berlari
lima ratus meter ke dalam terowongan, mengangkat lampu tinggi-tinggi, melihat
dinding basah yang meneteskan air. Lalu aku keluar lagi, memeriksa sekitar
lampu merah, naik ke galeri, turun lagi, kembali ke sini, dan mengirim pesan
telegraf ke dua arah, ‘Ada bahaya. Ada yang salah?’ Jawabannya datang ‘Semua
baik.’”
Ia melanjutkan. Enam jam
setelah kemunculan itu, kecelakaan besar benar-benar terjadi di jalur itu, dan
sepuluh jam kemudian korban luka dan tewas dibawa melewati tempat yang sama.
Aku berusaha menenangkannya,
mengatakan bahwa mungkin itu hanya tipuan mata atau imajinasi. Namun ia
menatapku penuh keyakinan dan berkata: “Itu terjadi setahun lalu. Enam bulan
kemudian, aku melihatnya lagi. Kali ini sosok itu hanya bersandar di tiang lampu,
wajahnya tertutup kedua tangan, seolah meratap. Hari itu, seorang wanita muda
tewas seketika di dalam kereta yang baru keluar dari terowongan. Mayatnya
dibawa ke sini, diletakkan di lantai antara kita sekarang.”
Aku bergidik mendengar itu.
Ia menambahkan: “Dan seminggu
lalu, sosok itu kembali. Sejak itu, ia muncul berulang kali. Ia melambaikan
tangan, berteriak, ‘Di bawah sana! Awas! Awas!’ Bahkan membunyikan belku.”
Aku mencoba membantah, karena
aku tahu bel itu tidak berbunyi ketika aku di sana. Tetapi ia bersikeras bahwa
ia bisa membedakan bunyi bel biasa dengan getaran aneh bel hantu itu.
Akhirnya ia berkata dengan
putus asa: “Pertanyaannya, Tuan, apa arti semua ini? Bahaya apa yang akan
datang? Kecelakaan besar pasti terjadi lagi. Tapi bagaimana aku bisa
memperingatkan orang lain tanpa alasan jelas? Jika aku mengirim pesan ‘Bahaya!
Hati-hati!’ lalu ditanya ‘Bahaya apa? Di mana?’ aku tak bisa menjawab. Mereka
akan menganggapku gila.”
Aku berusaha menenangkannya,
mengatakan bahwa yang penting ia terus menjalankan tugasnya dengan baik. Ia pun
agak tenang. Aku meninggalkannya pukul dua dini hari, berjanji kembali malam
berikutnya.
Keesokan harinya sore, aku
berjalan lebih awal. Ketika aku melihat ke arah mulut terowongan dari atas
tebing, tubuhku menggigil. Ada sosok pria dengan lengan menutup wajah, tangan
lain melambai-lambai. Dalam sekejap, aku sadar bahwa itu benar-benar seorang
manusia. Beberapa pria lain berdiri di dekatnya. Aku segera menuruni jalan
setapak secepat mungkin.
“Ada apa?” tanyaku pada
mereka.
“Penjaga sinyal tewas pagi
ini, Tuan,” jawab salah seorang.
Ia tertabrak lokomotif saat
berdiri di dekat rel, memegang lampu. Masinis berkata bahwa ia sudah berteriak
sekuat tenaga, “Di bawah sana! Awas! Awas! Demi Tuhan, singkirkan jalannya!”
sambil menutup mata dengan satu tangan dan melambai dengan tangan yang lain.
Namun terlambat.
Seketika aku
sadar, itulah kata-kata yang menghantuinya selama ini, dan yang pernah kudengar
darinya sendiri.
