Cerpen Terjemahan Entri 8
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
KucingLayla Ba‘labakki
Musim panas tiba. Pada bulan Februari, seekor
kucing melahirkan di jalan kecil tempat pekerja kota menebar aspal dan membuang
sisa bahan dan sapu tangan kotor mereka. Beberapa hari pertama, sang induk menghabiskan
waktu menjilati darah dari tubuh mungil anak-anaknya. Suatu malam, ketika hujan
ganas menghantam jalanan, dingin mulai merayapi tubuh sang induk dan kaki kecil
anak-anaknya, sementara guntur membenamkan semua suara di bumi dan kilat
membelah wajah langit. Pada malam itulah sang induk mendengar langkah kaki
lembut di batu-batu trotoar, dari tong besi tempat ia berlindung.
Langkah-langkah itu membuatnya terkejut. Ia menarik anak-anaknya lebih dekat,
menggosok tubuh mereka untuk menghangatkan, lalu mengendus mereka perlahan.
Langkah itu terus berputar di sekitar tong, mendekat dan menjauh, seolah
menunggu.
Ia mengenali langkah itu, pernah mendengarnya
di jendela rumah tempat ia dulu tinggal, dan hatinya berdebar-debar. Itu
terjadi beberapa bulan sebelumnya, ketika ia hidup bersama suami-istri tua,
anak lelaki mereka yang belum menikah, dan pembantu rumah tangga. Semua orang
di rumah itu memanjakannya dan berbangga padanya. Ia memiliki sepasang mata
indah, kadang ungu lembut, kadang biru keabu-abuan. Tubuhnya ramping, bulu
putihnya yang dihiasi corak madu berkilau seperti cermin, memantulkan cahaya
fajar. Ia hidup bak seorang putri, menikmati rumah tangga sederhana, tenang,
dan menyenangkan.
“Apa yang akan kita masak hari ini, Jasmine?”
“Si Tuan tua sedang banyak merokok, Jasmine.”
“Anak itu pulang terlambat lagi, Jasmine.”
“Jasmine.”
Nyonya rumah pernah menjelaskan kepadanya bahwa
nama Jasmine berarti bunga putih yang hanya hidup sebentar, lalu layu
menghilang. “Namun, aromanya,” kata sang nyonya, “adalah yang paling kuat,
paling lembut, dan paling harum di antara semua bunga.”
Mengapa sang nyonya tidak memberitahunya bahwa
kesamaannya dengan bunga jasmine cuma terletak pada hidupnya yang singkat,
seperti bintang yang memudar di langit terang? Namun, yang terpenting adalah
saat ia melihat sosok besar dan gagah itu memenuhi bingkai jendela, seekor
kucing jantan dengan tubuh kekar dan tatapan tajam. Ia mencuri pandang, lalu
berbisik pada diri sendiri bahwa kucing itulah kucing tertampan yang pernah ia
lihat. Setiap kali melihatnya, tubuhnya terasa lemah, dan ia tahu, cinta bersamanya
pasti luar biasa. Maka, pada suatu senja, ia meninggalkan rumah, mengikuti
langkah-langkah jantan itu di gang-gang berliku, dan memberinya cinta. Cinta
yang banyak, sangat banyak. Ia dibanjiri cinta, ditenggelamkan dalam cinta,
dilingkupi cinta. Ia merasa menjadi kucing paling beruntung di dunia.
Setidaknya, ia telah merasakan pengalaman itu, merasakan getaran, warna, dan
denyut dari momen-momen ajaib yang dipenuhi kenikmatan, gemetar, dan rasa takut
yang manis.
Dan kucing jantan yang kini berkeliaran di
sekitar tong besi itu,dialah yang telah memberinya lebih dari sekadar cinta. Ia
memberinya anak-anak. Karena anak-anak itulah, sang induk terus merespons
setiap kehadirannya, mengikuti bayangannya, dan memimpikannya.
Langkah lembut sang pejantan perlahan menjauh,
dan badai semakin menderu. Sang induk tetap waspada, mendengarkan. Anak-anaknya
menatap wajah sang ibu, seolah bertanya-tanya, dan ia menenangkan mereka dengan
tatapan hangat bahwa semua sudah aman, bahwa esok mereka akan mencari tempat
persembunyian baru. Ketika badai reda dan fajar menyingsing, sang kucing mulai
memindahkan anak-anaknya. Ia merasa lebih baik jika mereka berpencar di tempat
berbeda. Maka jadilah seekor anak kucing kecil berakhir di jendela dapur yang
menyala terang.
Anak kucing itu tak tahu apa yang terjadi pada
ibu dan saudara-saudaranya. Yang ia tahu hanyalah aroma susu yang keluar dari
jendela terbuka. Ia menjulurkan leher, mencoba mendekat.
Seorang perempuan gemuk melihatnya. Dengan
kasar, ia menyeret anak kucing itu masuk, melemparkannya ke lantai, lalu
berkata dengan suara keras dan serak, “Kucing ini datang di waktu tepat. Dia
akan membersihkan rumah dari tikus, dan tidak akan mendapat makanan apa pun
kecuali dari hasil tangkapannya sendiri!”
Pada awalnya, tikus-tikus di rumah itu tidak
keluar dari sarang. Kalaupun keluar, si kucing tak akan mengenalinya karena ia
belum pernah melihat seekor tikus seumur hidupnya. Akibatnya, ia terpaksa
mencuri susu berkali-kali agar tidak mati kelaparan sebelum bertemu dengan para
tikus itu.
Suatu malam, saat ia mengantuk di kursi pojok
dapur yang gelap, terdengar suara gerakan ringan yang ganjil. Ia membuka
sebelah mata, melihat sekumpulan tikus besar-kecil dan mungkin sekeluarga. Ia
bersiap menyerang mereka, tetapi tiba-tiba ia menutup mata lagi karena merasa
jijik dan takut hanya dengan membayangkan harus memakan makhluk menjijikkan
itu.
Ia bertanya pada diri sendiri, bagaimana
mungkin ia bisa menelan makhluk sebesar itu? Lagi pula, mengapa ia harus
menganggap mereka musuh? Siapa tahu, mungkin mereka jauh lebih baik ketimbang
perempuan gemuk itu.
Ia melompat turun dari kursi ke lantai ubin
untuk menyambut para tamu tikus itu, tetapi mereka tercerai-berai ketakutan. Ia
menatap sekeliling, lalu melihat di salah satu rak sebuah karung tepung yang
melimpah keluar. Saat itu juga ia mengerti. Ia segera menyelinap keluar ke
ruang tamu, membuka jalan bagi para tikus untuk melakukan serangan dengan aman.
Keesokannya, perempuan gemuk itu menemukan jejak persekongkolan itu. Ia
memukuli si kucing dan melemparnya keluar rumah.
Lalu kucing malang itu mengembara keluar masuk
banyak rumah. Di mana pun ia singgah, ia dipukul, dikurung, dan dibiarkan
kelaparan, dan dipaksa membunuh tikus, bahkan cacing dan serangga. Ia akhirnya
menemukan taman terlantar dan memutuskan tinggal di sana. Ia bertahan hidup
dengan sisa makanan yang dibuang orang-orang kaya dari balkon mereka. Ia
berkeliaran di sebidang tanah itu, bernyanyi dan bersuka cita. Kini ia memiliki
wilayah sendiri yang bebas dan tanpa nama.
Sedangkan aku, ketika ibuku mengandungku, ia
jatuh cinta pada pria yang bukan ayahku. Karena ia mencintai pria itu begitu
dalam, aku lahir dengan wajah cantik. Semua orang yang melihatku selalu
berkata, “Dia cantik sekali. Cantik sekali.” Sekarang aku sembilan belas tahun,
dan telah bertekad tak akan mengandung, kecuali jika tenggelam dalam lautan
cinta bergelora. Maka wajah anakku nanti akan menatap dunia seperti bulan.
Bulan? Tidak. Bulan itu dingin, bodoh, dan tak
bermakna. Tidak, wajah anakku akan memancarkan kehangatan seperti matahari.
Seandainya hidup di zaman berhala, aku pasti menjadi budak perempuan sang
matahari, menyembahnya di kuil dan membakar dupa untuknya. Dan bumi—ini pertama
kalinya aku memikirkan bumi. Tanah, pepohonan, bebatuan, mata air—semuanya
tidak menarik bagiku. Yang menarik bagiku hanyalah dicintai di atas bumi ini.
Sekarang aku memiliki pria yang mencintaiku.
Hanya itu yang membuatku merasa cukup. Aku tahu apa yang kuinginkan. Sementara
itu, kakiku menjejak tanah dan wajahku menatap matahari, menunggu seseorang
mencapai bulan untuk memadamkannya dan membebaskanku dari cahaya bodohnya. Aku
tahu aku tak akan berjuang menjadi perempuan bebas, pahlawan, atau abadi. Aku
hanya merasa bahagia karena tahun ini aku akan kuliah, ikut dalam hiruk-pikuk,
kebosanan, kepura-puraan, dan mimpi manis keluargaku, termasuk kebejatan dan
ketakutan sebagian dari mereka. Aku beristirahat di rumah, lalu meleleh di
jalan, dan dengan cara itu aku aman. Aku bermimpi dengan tenang, perlahan, dan
penuh kenikmatan.
Tidak, aku bukan seperti perempuan legendaris
yang bisa hidup sendirian. Kesepian? Itu membunuhku. Tempat sunyi tanpa manusia
menakutkanku. Karena itu, aku berniat menikah dan memiliki banyak anak. Untuk
sementara, aku tidak bisa, tidak bisa bernapas, jika tak ada seorang pria di
sisiku yang mencintaiku.
Tentang diriku sendiri, aku belum pernah
benar-benar jatuh cinta. Pria yang duduk di sebelahku di mobil ini, yang
mendengarkan dengan saksama suara lembut kucing yang mengeong, dialah orang
yang menemaniku berkeliling kota belakangan ini.
Usianya dua kali lipat umurku, tetapi ia tampak
lebih bahagia ketimbang aku. Ia yang mengajariku tertawa, yang menemukan bahwa
tawaku mengandung kerinduan, bahwa senyumku adalah mekar bunga tulip, bahwa
warna kulitku adalah kelopak mawar merah beludru, dan bahwa mataku adalah
pelabuhan yang menuntun para pelaut menuju pantai kenikmatan, menuju permata
kemenangan.
Suatu kali ia bertanya, “Apa yang kauinginkan
dariku sebagai hadiah?”
Aku menjawab, “Rambut abu-abumu, ubanmu.”
Matanya tiba-tiba muram, pipinya memucat. Ia
menarikku mendekat dan membanjiriku dengan ciuman. Tak ada satu bagian pun dari
tubuhku yang luput dari ciumannya. Ketika ia menciumku, aku bagai mandi di
aliran sungai kecil di bawah pohon kenari, sementara jauh di jalan berbatu
seorang petani berjalan membawa gandum menuju penggilingan. Dan penggilingan
itu berada di puncak gunung.
Sejak awal, aku sudah membuatnya mengerti bahwa
aku tahu apa yang kuinginkan, dan aku tidak berniat cinta buta dan meninggalkan
duniaku demi menunggang kuda bersamanya menuju hutan entah di mana. Karena
itulah kami tak pernah bicara tentang istrinya, rumahnya, atau pekerjaannya. Ia
pun tak tahu apa pun tentangku. Kami makan malam bersama, menari, berenang,
mendaki gunung. Aku musim semi baginya, dan ia musim panas bagiku, dan kami
bersenang-senang. Namun kadang ia mengejutkanku. Seperti sekarang, di dalam
mobil.
Alih-alih memeluk bahuku, membiarkan kepalaku
bersandar di lekuk antara dagu dan bahunya, alih-alih membasahi mataku,
bibirku, dan leherku dengan lidahnya, ia duduk kaku dengan mata menelusuri
halaman klub dan taman terbengkalai.
“Apa kau mendengar suara kucing mengeong?”
tanyanya.
“Ya, aku mendengarnya,” jawabku.
Ia melompat keluar dari mobil dan memerintah,
“Jalankan mobilnya perlahan. Aku akan mengambil kucing itu dan membawanya ke
ayahku supaya ia bisa bermain dengannya.”
Ia menghilang di balik semak bunga cerah, lalu
muncul dengan seekor kucing kurus di pelukan, yang mengeong keras menembus
udara malam. Ia melempar kucing itu ke jok belakang, menutup jendela, lalu
melajukan mobil seperti orang gila menembus jalanan kota. Aku memejamkan mata,
takut sewaktu-waktu mobil menabrak dinding atau menumbangkan seseorang. Aku
belum pernah melihatnya seterang dan segembira seperti itu.
Tanpa menoleh padaku, ia mengulang dengan nada
penuh semangat, “Aku akan kembali untuk memberikan kucing ini kepada ayahku,
agar ia bisa bermain dengannya. Setelah itu, kita akan makan malam.”
Saat itulah aku merasa kesepian, begitu sunyi
dan sedih hingga sukar bernapas. Aku ingin menangis, ingin bicara, tetapi tiada
kata keluar dari bibir. Aku menyalurkan perasaanku lewat gerakan kecil yang
tiba-tiba dan ajaib; aku mengulurkan tangan ke arah belakang mobil, menelusuri
tempat kucing itu berada. Kucing itu telah tenang dan berhenti mengeong. Dalam
kegelapan aku tak bisa melihatnya. Aku meraba karpet kasar di jok belakang
sambil melirik wajah lelakiku dari. Ia tampak terpukau, matanya menembus jauh
melewati rumah-rumah, lampu-lampu, dan orang-orang di jalan.
Aku membuka jendela, lalu terus meraba karpet
dengan tangan lain. Seolah mengetahui bahwa keselamatannya mendekat, kucing itu
mendekati jariku. Aku menangkapnya, dan menekan tubuh lunaknya di antara
jemariku. Kucing itu menjerit. Aku menarik tanganku dan mulai gemetar, dan
bernapas lega ketika ia tidak menoleh ke belakang.
“Ayahku pasti senang sekali dengan kucing ini.
Ia akan bersenang-senang dengannya,” katanya lagi.
Aku tersenyum lelah. Aku memejamkan mata,
menaruh tanganku di perut kucing itu, lalu mengangkatnya perlahan dan
melemparkannya keluar jendela ke jalan. Setelah itu aku buru-buru menutup
jendela dan mengusap wajahku yang panas dengan tangan dingin. Aku tak berani
menatap wajahnya lagi. Rambutku jatuh ke depan, menutupi mataku, dan aku
berharap rambut itu sepanjang daun palem agar bisa kusembunyikan di baliknya.
“Turunkan aku di kafe,” kataku.
“Kita akan makan malam di pegunungan, seperti
yang sudah disepakati,” katanya. “Setelah aku mengantarkan kucing ini ke ayahku
supaya ia bisa bermain dengannya.”
“Turunkan aku di kafe!” teriakku. Rasa sakit
menjalar semakin jauh ke tanganku, dadaku terasa sesak, dan kesedihan membuat
kakiku lumpuh.
“Turunkan aku di sini!” seruku lagi. Ia lalu
menepikan mobil di depan sebuah kafe.
“Ada apa denganmu? Tunggu di sini sampai aku
mengantarkan kucing itu.”
Aku keluar dari mobil, lalu berjalan menuju
pintu kafe, tetapi tidak masuk ke sana. Sebaliknya, aku bergegas pergi
menyusuri lorong kosong yang sunyi dan sepi.
.jpg)