Cerpen Terjemahan Entri 37
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Antrean (bagian 1)karya Amor Towles
1.
Pada hari-hari terakhir dari Tsar terakhir,
hiduplah seorang petani bernama Pushkin di sebuah desa kecil seratus mil dari
Moskow. Meskipun Pushkin dan istrinya, Irina, tidak dikaruniai anak, mereka telah
diberkahi dengan sebuah pondok kecil dua kamar yang nyaman dan beberapa hektar
tanah yang mereka garap dengan kesabaran dan ketekunan yang sesuai dengan nasib
mereka. Baris demi baris mereka membajak tanahnya, menanam benih, dan memanen
hasilnya, bergerak maju mundur di atas tanah seperti jarum pada alat tenun. Dan
ketika hari kerja mereka usai, mereka pulang untuk makan malam dengan sup kubis
di meja kayu kecil mereka, lalu menyerah pada tidur suci pedesaan.
Meskipun petani Pushkin tidak mewarisi
kemampuan berbahasa dari tokoh besar yang namanya sama dengannya, ia memiliki
jiwa seorang penyair. Dan ketika ia menyaksikan daun-daun birch tumbuh, atau
badai musim panas, atau warna keemasan musim gugur, ia merasa di dalam hatinya
bahwa hidup mereka sudah memuaskan. Sebenarnya, hidup mereka begitu memuaskan,
sehingga andai saja Pushkin menemukan lentera perunggu tua saat membajak tanah,
dan dari lentera itu keluar jin kuno yang siap mengabulkan tiga permintaan, Pushkin
takkan tahu apa yang harus ia minta.
Dan kita semua tahu persis ke mana kebahagiaan
semacam itu akan mengarah.
2.
Seperti banyak petani Rusia lainnya, Pushkin
dan istrinya termasuk dalam sebuah mir, sebuah koperasi yang menyewa
tanah, membagi lahan, dan menanggung bersama biaya penggilingan. Kadang-kadang,
para anggota mir berkumpul untuk membahas urusan yang menjadi
kepentingan bersama. Pada salah satu pertemuan di musim semi tahun 1916,
seorang pemuda yang telah melakukan perjalanan jauh dari Moskow naik ke mimbar
untuk menjelaskan ketidakadilan di sebuah negeri di mana sepuluh persen
penduduk memiliki sembilan puluh persen tanah. Dengan cukup rinci, ia
menggambarkan cara Kapitalisme memaniskan tehnya sendiri dan melapisi sarangnya
sendiri dengan bulu-bulu halus. Sebagai penutup, ia mendorong semua yang hadir
untuk bangkit dari tidur mereka dan bergabung dengannya dalam barisan menuju
kemenangan yang tak terelakkan dari proletariat internasional atas kekuatan
penindasan.
Pushkin bukanlah orang yang politis, bahkan
bukan orang yang terpelajar. Jadi, ia tidak benar-benar memahami makna dari
semua yang dikatakan orang Moskow itu. Namun sang tamu berbicara dengan
semangat yang begitu besar dan menggunakan begitu banyak ungkapan yang
berwarna-warni hingga Pushkin merasa senang menyaksikan kata-kata pemuda itu
melintas di hadapannya seperti menyaksikan panji-panji arak-arakan Hari Paskah.
Malam itu, ketika Pushkin dan istrinya berjalan
pulang, keduanya diam. Hal ini bagi Pushkin terasa sepenuhnya wajar mengingat
waktu yang larut, hembusan angin lembut, dan paduan suara jangkrik yang
bernyanyi di rerumputan. Namun bila Irina diam, ia diam seperti wajan panas
yang diam sesaat sebelum lemak dijatuhkan ke dalamnya. Sebab sementara Pushkin
menikmati melihat kata-kata pemuda itu melintas, kesadaran Irina justru menutup
rapat pada kata-kata itu seperti rahang perangkap. Dengan bunyi snap
yang terdengar jelas, ia telah menggigitnya dan tidak berniat melepaskannya.
Bahkan, genggamannya atas argumen pemuda itu begitu erat sehingga jika si
pemuda suatu hari ingin mengambilnya kembali, ia harus menggigit lewat
kata-katanya sendiri seperti seekor serigala yang terperangkap menggigit
pergelangan kakinya sendiri.
3.
Kebijaksanaan seorang petani berdasar pada satu
aksioma penting: bahwa perang boleh datang dan pergi, negarawan boleh bangkit
dan jatuh, dan pandangan masyarakat boleh naik turun, tetapi pada akhirnya,
sebuah alur bajak akan tetaplah sebuah alur bajak. Maka dari itu, Pushkin
menyaksikan tahun-tahun perang, runtuhnya monarki, dan bangkitnya Bolshevisme
dengan kebijaksanaan yang layak dimiliki oleh Methuselah. Dan begitu palu dan
sabit berkibar di atas Ibu Rusia, ia siap mengambil bajaknya kembali dan melanjutkan
pekerjaan hidupnya. Karena itu, ia sama sekali tidak siap menerima kabar yang
disampaikan istrinya pada Mei 1918, bahwa mereka akan pindah ke Moskow.
“Kita pindah ke Moskow,” kata Pushkin. “Tapi
kenapa, demi Tuhan, kita harus pindah ke Moskow?”
“Kenapa?” tuntut Irina sambil menghentakkan
kakinya. “Kenapa? Karena waktunya telah tiba!”
Dalam halaman-halaman novel abad kesembilan
belas, bukan hal yang aneh bila para gadis muda nan elok yang dibesarkan di
pedesaan merindukan kehidupan di ibu kota. Bagaimanapun juga, di sanalah mode
terbaru bisa disaksikan, langkah-langkah dansa terbaru bisa dipelajari, dan
intrik-intrik cinta terbaru dibicarakan dengan suara berbisik. Dengan cara yang
mirip, Irina merindukan untuk tinggal di Moskow karena di sanalah para buruh
pabrik mengayunkan palu mereka bersama-sama dan lagu-lagu proletariat terdengar
dari setiap pintu dapur.
“Tidak ada orang yang mendorong seorang raja
dari tebing hanya untuk merayakan masa lalu,” seru Irina. “Sekali untuk
selamanya, waktunya telah tiba bagi rakyat Rusia untuk membangun fondasi masa
depan, berdampingan bahu membahu dan batu demi batu!”
Ketika Irina mengutarakan pendapatnya kepada
suaminya, dengan semua kata itu dan banyak lagi, apakah Pushkin membantah?
Apakah ia mengutarakan pikiran ragu pertama yang melompat di kepalanya? Tidak.
Sebaliknya, ia mulai dengan hati-hati dan penuh pertimbangan menyusun sebuah
sanggahan.
Menariknya, ketika argumen Pushkin mulai
terbentuk, argumen itu justru bersandar pada kata-kata yang sama yang digunakan
Irina: Waktunya telah tiba. Sebab ia tidak asing dengan ungkapan itu.
Bahkan, ia bisa dibilang kerabat terdekatnya. Sejak Pushkin masih bocah,
ungkapan itu telah membangunkannya di pagi hari dan menidurkannya di malam
hari. “Waktunya telah tiba untuk menanam,” katanya di musim semi, sambil
menaikkan tirai agar cahaya masuk. “Waktunya telah tiba untuk menuai,” katanya
di musim gugur, sambil menyalakan api di tungku. Waktunya telah tiba untuk
memerah susu sapi, atau mengikat jerami, atau memadamkan lilin. Maksudnya,
waktunya telah tiba—bukan sekali untuk selamanya, melainkan sekali lagi—untuk
melakukan hal yang selalu dilakukan, sebagaimana matahari, bulan, dan
bintang-bintang menjalani peredarannya.
Inilah sanggahan yang mulai disusun Pushkin
pada malam pertama ketika ia naik ke ranjang. Ia melanjutkan menyusunnya
keesokan paginya saat berjalan bersama istrinya menapaki rumput berembun menuju
ladang. Dan ia masih menyusunnya di musim gugur tahun itu ketika mereka memuat
semua barang milik mereka ke atas gerobak dan berangkat menuju Moskow.
4.
Pada tanggal delapan Oktober, pasangan itu tiba
di ibu kota setelah lima hari di perjalanan. Ketika mereka berderak-derak
melewati jalan-jalan besar, kita tidak perlu mengurai panjang lebar semua kesan
mereka: pandangan pertama mereka terhadap trem, terhadap lampu jalan, terhadap
gedung setinggi enam lantai; terhadap keramaian orang-orang dan toko-toko luas;
terhadap tempat-tempat ternama seperti Teater Bolshoi dan Kremlin. Kita tak
perlu memperpanjang semua itu. Cukuplah dikatakan bahwa kesan mereka terhadap
semua pemandangan itu bertolak belakang secara mutlak. Sebab sementara di dalam
diri Irina pemandangan-pemandangan itu membangkitkan rasa tujuan, urgensi, dan
kegembiraan, di dalam diri Pushkin yang muncul hanyalah rasa cemas dan kecewa.
Setelah mencapai pusat kota, Irina tidak
menyia-nyiakan sedetik pun untuk beristirahat dari perjalanan mereka. Menyuruh
Pushkin untuk tetap di tempat, ia segera menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan menghilang ke dalam kerumunan. Pada akhir hari pertama, ia sudah
mendapatkan sebuah apartemen satu kamar di daerah Arbat, di mana, menggantikan
potret Tsar, ia menggantung foto Vladimir Ilyich Lenin dalam bingkai baru yang
mengilap. Pada akhir hari kedua, ia telah menata barang-barang mereka dan
menjual kuda serta gerobak mereka. Dan pada akhir hari ketiga, ia telah
mengamankan pekerjaan bagi mereka berdua di Pabrik Biskuit Kolektif Red Star.
Dahulu dimiliki oleh Crawford’s & Co. dari
Edinburgh (pembuat roti bagi Ratu sejak 1813), Pabrik Biskuit Kolektif Red Star
menempati fasilitas seluas lima puluh ribu kaki persegi dengan lima ratus
pekerja. Di balik gerbangnya terdapat dua silo gandum dan pabrik penggilingan
tepung sendiri. Ia memiliki ruang pencampuran dengan pengaduk raksasa, ruang
pemanggangan dengan oven raksasa, dan ruang pengepakan dengan ban berjalan yang
membawa kotak-kotak biskuit langsung ke belakang truk-truk yang menunggu.
Awalnya, Irina ditugaskan sebagai asisten salah
satu pembuat roti. Namun ketika sebuah pintu oven terlepas, Irina membuktikan
dirinya begitu terampil menggunakan kunci inggris hingga ia segera dipindahkan
ke bagian teknisi pabrik. Dalam hitungan hari, orang-orang sudah biasa berkata
bahwa Irina bisa mengencangkan baut-baut ban berjalan sementara mesin itu tetap
berputar tanpa henti.
Sementara itu, Pushkin ditugaskan ke ruang
pencampuran, tempat adonan biskuit diaduk oleh dayung-dayung logam yang
berdentang melawan sisi mangkuk besar dari baja. Tugas Pushkin adalah
menambahkan vanila ke setiap adonan biskuit setiap kali lampu hijau menyala.
Tetapi setelah menuangkan vanila dengan hati-hati ke dalam cangkir takar yang
sesuai, kebisingan mesin yang memekakkan telinga dan gerakan dayung yang begitu
memukau membuat Pushkin begitu terhipnotis hingga ia lupa menuangkan perisa itu
ke dalam adonan.
Pukul empat sore, ketika pencicip resmi datang
untuk mencicipi, ia bahkan tidak perlu menggigit sedikit pun untuk tahu bahwa
ada yang salah. Ia bisa mengetahuinya dari aromanya.
“Untuk apa gunanya biskuit vanila yang tidak
berasa vanila?” tanyanya secara retoris kepada Pushkin, sebelum mengirim
seluruh hasil produksi hari itu ke tempat anjing. Dan untuk Pushkin sendiri, ia
dipindahkan ke regu penyapu.
Pada hari pertamanya bersama para penyapu,
Pushkin dikirim dengan sapunya ke gudang besar tempat karung-karung tepung
ditumpuk dalam barisan tinggi menjulang. Sepanjang hidupnya, Pushkin belum
pernah melihat tepung sebanyak itu. Tentu saja, seorang petani berdoa agar
panennya berlimpah, dengan cukup gandum untuk bertahan sepanjang musim dingin,
dan mungkin sedikit lebih untuk berjaga dari kekeringan. Tapi karung-karung tepung
di gudang itu begitu besar dan menumpuk begitu tinggi, hingga Pushkin merasa
seperti tokoh dalam dongeng rakyat yang tiba-tiba menemukan dirinya di dapur
milik raksasa, tempat manusia biasa dijatuhkan ke dalam pai.
Betapapun menakutkan lingkungannya, pekerjaan
Pushkin sebenarnya cukup sederhana. Ia hanya perlu menyapu tepung yang tumpah
ke lantai ketika gerobak diangkut ke ruang pencampuran. Mungkin itu karena rasa
gelisah umum yang telah dirasakannya sejak tiba di kota; mungkin karena ingatan
akan gerakan mengayun sabit, gerakan yang telah ia lakukan dengan senang hati
sejak muda; atau mungkin karena ada kelainan otot bawaan yang belum
terdiagnosis. Siapa yang tahu? Tetapi setiap kali Pushkin mencoba menyapu
tepung yang jatuh ke lantai, alih-alih mendorongnya ke dalam pengki, gerakannya
justru menendang tepung itu hingga beterbangan di udara seperti salju, menutupi
sepatu, jubah, dan rambutnya sendiri.
“Tidak, tidak!” sang mandor bersikeras sambil
merebut sapu dari tangan Pushkin. “Begini caranya!”
Dan dengan beberapa sapuan cepat, mandor
itu membersihkan lantai seluas empat kaki persegi tanpa membuat sebutir pun
tepung beterbangan.
Sebagai pria yang ingin menyenangkan hati orang
lain, Pushkin memperhatikan teknik mandornya dengan kesungguhan seorang murid
bedah. Namun begitu sang mandor memalingkan muka dan Pushkin mulai menggerakkan
sapunya, tepung pun langsung berterbangan ke udara. Hingga setelah tiga hari
bertugas menyapu, Pushkin dipecat sama sekali dari Kolektif Biskuit Bintang
Merah.
“Dipecat!” teriak Irina malam itu di apartemen
kecil mereka. “Bagaimana mungkin seseorang bisa dipecat dari Komunisme!”
Dalam hari-hari berikutnya, Irina mungkin saja
sempat mencoba menjawab pertanyaan itu, tetapi ada roda gigi yang harus disetel
dan sekrup yang harus dikencangkan. Selain itu, ia sudah terpilih menjadi
anggota komite pekerja di pabrik—di mana ia dikenal suka menyemangati
rekan-rekannya dengan mengutip Manifesto Komunis kapan pun ada
kesempatan. Dengan kata lain, ia adalah seorang Bolshevik sejati.
Lalu Pushkin? Ia berkeliaran di kota seperti
kelereng di atas papan catur.
5.
Dengan disahkannya Konstitusi baru pada tahun
1918, tibalah fajar Zaman Proletar. Itu juga merupakan masa penangkapan para
musuh, pengambilan paksa hasil pertanian, pelarangan perdagangan pribadi, dan
penjatahan barang-barang kebutuhan pokok. Nah, apa yang kau harapkan? Kue tart
bertabur gula dan bantalmu dirapikan oleh pelayan rumah tangga?
Di antara giliran kerjanya selama dua belas jam
di pabrik dan tugas-tugasnya di komite pekerja, Irina tak punya sedetik pun
waktu luang. Maka, ketika ia berangkat suatu pagi, ia menyodorkan kartu jatah
untuk roti, susu, dan gula ke tangan suaminya yang menganggur, dan berkata
dengan nada yang sama sekali tidak memberi ruang untuk salah paham, agar ia
mengisi kembali persediaan dapur sebelum ia pulang pukul sepuluh malam nanti.
Lalu ia membanting pintu dengan begitu keras hingga Vladimir Ilyich (gambar Lenin)
bergoyang di pengaitnya di dinding.
Ketika langkah sepatu Irina terdengar menuruni
tangga, sang tokoh kita berdiri di tempat ia ditinggalkan, menatap pintu dengan
mata terbelalak. Tanpa bergerak, ia mendengarkan suara istrinya keluar dari
gedung dan berjalan menuju trem. Ia mendengarkan trem berderak melintasi kota
dan bunyi peluit ketika Irina melewati gerbang kolektif. Baru ketika ia
mendengar ban berjalan mulai berputar, barulah terpikir oleh Pushkin untuk
mengucapkan kalimat, “Baik, Sayang.” Lalu, dengan kartu jatah di genggamannya,
ia mengenakan topi dan berani keluar ke jalan.
Sambil berjalan, Pushkin membayangkan tugasnya
dengan rasa ngeri tertentu. Dalam bayangannya, ia melihat toko yang penuh sesak
di mana orang-orang Moskow menunjuk, berteriak, dan saling dorong. Ia melihat
deretan rak dengan kotak-kotak berwarna cerah dan seorang pelayan toko yang
menanyakan apa yang kau mau, menyuruhmu cepat-cepat, lalu menaruh barang yang
salah di meja dengan hentakan pasti sambil berteriak: “Berikutnya!”
Bayangkan betapa terkejutnya Pushkin ketika ia
tiba di toko roti di Jalan Battleship Potemkin, tujuan pertamanya, dan
mendapati suasananya tenang seperti taman kanak-kanak. Alih-alih pemandangan
menunjuk, berteriak, dan saling dorong, di sana ada antrean, antrean yang
tertib. Sebagian besar terdiri dari perempuan berusia antara tiga puluh hingga
delapan puluh tahun, barisan itu melengkung anggun dari ambang pintu dan
berbelok dengan sopan di tikungan.
“Apakah ini antrean untuk toko roti?” ia
bertanya pada seorang perempuan tua.
Sebelum perempuan itu sempat menjawab, yang
lain di dekatnya memberi isyarat kuat dengan ibu jarinya. “Akhir antrean ada di
akhir antrean, kamerad. Di belakang paling belakang.”
Sambil mengucapkan terima kasih, Pushkin
membelok di tikungan dan mengikuti antrean sepanjang tiga blok penuh hingga
sampai ke belakang paling belakang. Setelah dengan patuh mengambil tempatnya,
Pushkin mendengar dari dua perempuan di depannya bahwa toko roti itu hanya
menawarkan satu produk kepada setiap pelanggan: sepotong roti hitam. Meskipun
kedua perempuan itu menyampaikan kabar tersebut dengan nada jengkel, Pushkin
justru merasa terhibur karenanya. Jika setiap pelanggan hanya mendapat sepotong
roti hitam, berarti tak perlu ada acara menatap, memilih, atau menghentakkan
barang di meja. Pushkin hanya perlu menunggu di antrean, menerima rotinya, dan
membawanya pulang, persis seperti yang diperintahkan kepadanya.
Ketika Pushkin tengah memikirkan hal itu,
seorang perempuan muda muncul di sisinya.
“Apakah ini akhir antreannya?” tanya perempuan
itu.
“Betul sekali!” seru Pushkin dengan
senyum lebar, senang mendapat kesempatan untuk berguna.
Dalam dua jam berikutnya, Pushkin maju sejauh
dua blok.
Bagi sebagian dari kita—mungkin bagi
kebanyakan—detik-detik yang berdetak itu akan terdengar seperti tetesan air
dari keran di tengah malam. Tapi tidak bagi Pushkin. Waktunya di antrean tak
membuatnya lebih gelisah daripada menunggu benih tumbuh atau jerami berubah
warna. Selain itu, sambil menunggu, ia bisa mengajak para perempuan di
sekitarnya berbincang tentang salah satu topik favoritnya.
“Bukankah hari ini indah sekali?” katanya pada
keempat perempuan itu. “Matahari bersinar secerah-cerahnya, dan langit berwarna
biru yang tak mungkin lebih biru lagi. Meskipun, menurutku nanti sore mungkin
akan turun sedikit hujan...”
Cuaca! Kudengar kau mengeluh sambil memutar
mata. Itu salah satu topik favoritnya!?
Ya, ya, aku tahu. Ketika Tuhan sedang tersenyum
pada suatu bangsa, ketika pendapatan rata-rata meningkat, makanan melimpah, dan
para prajurit menghabiskan waktu bermain kartu di barak mereka, tak ada yang
tampak lebih sepele daripada obrolan soal cuaca. Dalam pesta makan malam dan
acara minum teh sore, mereka yang rutin mengangkat topik itu dianggap
membosankan, bahkan menyebalkan. Kemungkinan turunnya hujan tampak seperti
topik yang hanya layak bagi mereka yang kekurangan imajinasi atau kecerdasan
untuk berbicara tentang sastra terbaru, film, dan situasi internasional, atau
singkatnya, tentang zaman. Namun, ketika masyarakat sedang dalam
kekacauan, pembicaraan tentang cuaca tidak lagi terasa begitu tak diinginkan...
“Ah, ya,” kata salah satu perempuan dengan
senyum. “Hari ini memang indah.”
“Namun,” sambung yang lain, “dari awan di
belakang katedral itu, sepertinya kau benar soal hujan.”
Dan begitu saja, waktu terasa berlalu sedikit
lebih cepat.
Pukul satu siang itu, dengan roti hitam
terselip di balik mantelnya, Pushkin menuju ke Jalan Maksim Gorky, tempat ia
harus mendapatkan gula. Sekali lagi, ia merasakan sekelumit kecemasan ketika
mendekati toko itu, meskipun kali ini kecemasan itu disertai sedikit harapan.
Dan apa yang ia temukan ketika sampai di tujuannya? Atas kemurahan Tuhan,
sebuah antrean lagi!
Tentu saja, karena sudah lebih siang, antrean
di toko bahan makanan itu lebih panjang daripada di toko roti sebelumnya. Tapi
hujan singkat yang benar-benar turun di Moskow dari pukul 12.15 hingga 12.45
telah menyejukkan jalanan dan menyegarkan udara. Dan ketika Pushkin mendekat,
dua perempuan yang tadi ditemuinya di antrean roti melambai ramah kepadanya.
Maka, ia pun mengambil tempatnya dengan perasaan tenang dan nyaman.
Tepat di seberang jalan tempat Pushkin berdiri
kebetulan ada Konservatorium Tchaikovsky, salah satu contoh arsitektur
neoklasik terbaik di seluruh Rusia.
“Bukankah bangunan itu memesona,” kata Pushkin
kepada seorang perempuan tua yang baru bergabung di ujung antrean. “Lihat saja
ukiran-ukiran di puncak tiangnya, dan patung-patung kecil di bawah atapnya.”
Dan perempuan itu, yang telah tinggal di
lingkungan itu lebih dari empat puluh tahun dan telah melewati bangunan itu
ribuan kali tanpa pernah memperhatikannya, harus mengakui setelah menatap lebih
saksama, bahwa bangunan itu memang sungguh memesona.
Dengan demikian, waktu di antrean toko bahan
makanan pun mulai berlalu sedikit lebih cepat. Bahkan, waktu berlalu begitu
cepat hingga Pushkin hampir tak menyadari sore telah berganti senja...
Malam itu, ketika Irina pulang, Pushkin berdiri
di dekat pintu dalam keadaan cemas sedemikian rupa hingga begitu melihatnya,
Irina langsung menghela napas pasrah.
“Apa lagi sekarang?” tuntutnya.
Dengan kebijaksanaan untuk tidak menyebutkan
cuaca yang indah, arsitektur konservatorium, atau perempuan-perempuan ramah
yang ditemuinya, Pushkin menjelaskan kepada istrinya bahwa antrean untuk roti
dan gula begitu panjang sehingga ia tak sempat menunggu di antrean untuk susu.
Ketika Pushkin mengulurkan roti dan gula
sebagai bukti dari niat baiknya, ia dapat melihat istrinya mengatupkan rahang,
menurunkan alis, dan mengepalkan tangan. Namun bahkan ketika Pushkin bersiap
menghadapi kemungkinan terburuk, ia melihat bola mata istrinya mulai bergerak.
Tiba-tiba, sang istri mendapati dirinya bergulat antara dua hal: kegagalan
suaminya menyelesaikan tiga tugas sederhana di satu sisi, dan kekurangan
tersirat dari Komunisme di sisi lain. Jika ia meluapkan amarahnya kepada
Pushkin, bukankah itu secara tidak langsung mengakui bahwa tidak dapat
diterimanya kenyataan harus mengantre untuk mendapatkan roti, gula, dan susu?
Jika ia menepuk kepala suaminya dengan keras, bukankah itu berarti, dalam kadar
tertentu, ia menampar Revolusi? Kadang-kadang, satu tambah satu tidak begitu
mudah menghasilkan dua.
“Baik sekali, suamiku,” katanya akhirnya. “Kau
bisa mengambil susu besok.”
Dan pada saat itu, Pushkin merasakan
kebahagiaan besar. Sebab untuk melayani orang yang kita cintai dan menerima
persetujuan mereka sebagai balasan. Perlukah hidup menjadi lebih rumit dari
itu?
