Cerpen Terjemahan Entri 36
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
TAMAN PETERSILI
William Saroyan
Suatu hari di bulan
Agustus, Al Condraj berjalan-jalan di toko Woolworth tanpa sepeser pun uang di
sakunya. Di sana, ia melihat sebuah palu kecil dan tiba-tiba ia dikuasai oleh
keinginan besar untuk memilikinya. Ia merasa palu itu adalah benda yang ia
butuhkan untuk memecah kebosanan, untuk membuat sesuatu, apa pun itu.
Sebelumnya ia telah
mengumpulkan banyak paku dari Foley’s Packing House, tempat para pembuat peti
bekerja, dan di mana mereka ceroboh menjatuhkan paku-paku senilai setidaknya
lima belas sen. Ia rela bersusah payah memungutnya satu per satu karena baginya,
paku bukanlah sesuatu yang pantas disia-siakan.
Kini, di rumahnya,
dalam sebuah kotak apel tempat ia menyimpan barang-barang rongsokannya,
tersimpan kantong kertas berisi paku itu, mungkin setengah genggam penuh,
sekitar dua ratus paku. Ia berpikir, dengan palu sepuluh sen itu, ia bisa
membuat sesuatu dari potongan kayu peti dan paku-paku itu, meski ia belum tahu
apa tepatnya, mungkin semacam meja kecil, atau bangku sederhana.
Akhirnya, ia
mengambil palu itu dan menyelipkannya ke dalam saku overall-nya. Namun baru
saja ia melakukannya, seorang pria tiba-tiba menggenggam lengannya dengan kuat
tanpa sepatah kata, lalu mendorongnya ke bagian belakang toko, masuk ke sebuah
kantor kecil.
Di dalam kantor, ada
seorang pria yang lebih tua sedang duduk di balik meja, menekuni tumpukan
kertas. Pria yang lebih muda yang menangkapnya tampak tegang dan keningnya
berkeringat.
“Lihat,” katanya,
“satu lagi dari mereka.”
Pria di belakang meja
berdiri dan menatap Al Condraj dari atas ke bawah.
“Apa yang dia ambil?”
“Palu,” jawab si pria
muda, menatap Al dengan penuh kebencian. “Keluarkan.”
Al mengeluarkan palu
itu dari sakunya dan menyerahkannya.
“Aku seharusnya
memukul kepalamu dengan ini,” kata si pria muda geram.
Ia menoleh kepada
pria yang lebih tua, sang manajer toko. “Apa yang harus kulakukan dengannya?”
“Tinggalkan dia di
sini,” jawab pria tua itu tenang.
Pria muda itu keluar,
dan sang manajer kembali duduk dan melanjutkan pekerjaannya. Al berdiri di
ruangan itu selama lima belas menit sebelum akhirnya pria itu menatapnya lagi.
“Nah,” katanya
akhirnya.
Al tak tahu harus
berkata apa. Pria itu bahkan tidak menatapnya; pandangannya tertuju ke pintu.
Akhirnya Al berkata pelan, “Saya tidak bermaksud mencuri. Saya hanya butuh palu
itu, dan saya tidak punya uang.”
“Tidak punya uang
bukan berarti kau berhak mencuri,” kata pria itu datar. “Benar begitu?”
“Tidak, Pak.”
“Lalu apa yang harus
kulakukan padamu? Serahkan kau ke polisi?”
Al diam saja, tapi
jelas ia tak ingin diserahkan ke polisi. Ia membenci pria itu, tapi ia juga
sadar orang lain bisa saja memperlakukannya jauh lebih kejam.
“Kalau aku biarkan
kau pergi,” lanjut sang manajer, “kau janji tak akan mencuri lagi di toko ini?”
“Ya, Pak.”
“Baiklah,” katanya.
“Keluar lewat sini, dan jangan kembali lagi ke toko ini sampai kau punya uang
untuk dibelanjakan.”
Ia membuka pintu
menuju lorong yang mengarah ke gang belakang. Al Condraj segera berjalan cepat menuruni
lorong itu dan keluar ke gang.
Begitu bebas, hal
pertama yang ia lakukan adalah tertawa, tapi ia tahu dirinya telah
dipermalukan, dan perasaan malu itu menekan dadanya. Ia bukan anak yang suka
mengambil barang milik orang lain. Ia membenci pria muda yang menangkapnya,
juga membenci manajer toko yang membuatnya berdiri lama dalam diam. Ia paling
muak saat mendengar ancaman: “Aku seharusnya memukul kepalamu dengan ini.”
Ia berpikir,
seharusnya tadi ia berani menatap mata pria itu dan berkata: “Kau dan siapa
lagi?”
Tentu, ia memang
mencuri dan tertangkap, tapi baginya, itu tak seharusnya berarti ia harus
dipermalukan.
Setelah berjalan
sejauh tiga blok, Al memutuskan bahwa ia belum ingin pulang. Ia berbalik arah
dan mulai melangkah kembali menuju pusat kota. Ia hampir meyakinkan dirinya
bahwa ia akan kembali ke toko itu untuk mengatakan sesuatu kepada pria muda
yang menangkapnya. Namun kemudian ia juga merasa mungkin ia seharusnya kembali
hanya untuk mencuri palu itu lagi, kali ini tanpa tertangkap.
Ia berpikir, karena
ia sudah dianggap sebagai pencuri, setidaknya ia pantas mendapatkan palu itu.
Namun, ketika ia tiba
di depan toko, keberaniannya hilang. Ia berdiri di trotoar, menatap ke dalam
toko selama setidaknya sepuluh menit.
Lalu, dengan perasaan
hancur, bingung, dan sangat malu—malu karena telah mencuri, karena tertangkap,
karena dipermalukan, dan kini karena tak cukup berani untuk kembali dan
“melakukannya dengan benar”—ia mulai berjalan pulang lagi. Kepalanya penuh
kekalutan, hingga ketika berpapasan dengan temannya, Pete Wawchek, di depan
Graf’s Hardware, ia bahkan tak menyapa.
Ketika ia tiba di
rumah, rasa malunya membuatnya tak sanggup masuk ke dalam dan melihat
barang-barang rongsoknya. Sebagai gantinya, ia berjalan ke belakang rumah dan
minum air lama dari keran di halaman. Keran itu biasa digunakan ibunya untuk
menyiram tanaman yang ditanamnya setiap tahun: okra, paprika, tomat, mentimun,
bawang, bawang putih, daun mint, terong, dan peterseli.
Ibunya menyebut
seluruh kebun itu taman petersili, dan setiap malam di musim panas, ia akan
membawa kursi keluar rumah, menaruhnya di sekitar meja kecil yang pernah ia
pesan kepada Ondro, tukang serabutan di lingkungan mereka, dengan bayaran lima
belas sen.
Di sana, sang ibu
duduk menikmati kesejukan malam dan aroma tanaman-tanaman yang ia rawat dengan
telaten. Kadang-kadang, ia membuat salad sederhana, membasahi roti tua gaya
kampung, memotong keju putih, dan mereka berdua—ia dan Al—makan malam di taman
petersili.
Setelah makan, sang
ibu akan menyambungkan selang air ke keran dan menyiram tanaman-tanamannya.
Tempat itu menjadi lebih sejuk lagi, berbau harum, segar, dan hijau, aroma khas
dari daun yang tumbuh dan tanah yang basah.
Setelah minum air, Al
duduk di antara rumpun peterseli yang tumbuh, lalu mencabut segenggam dan
mengunyahnya perlahan. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan menceritakan
semuanya kepada ibunya–seluruh kejadian di toko, termasuk pikiran yang sempat
terlintas di benaknya setelah dilepaskan: bahwa ia ingin kembali mencuri palu
itu lagi.
“Aku tidak mau kau
mencuri,” kata ibunya dengan bahasa Inggris patah. “Ini sepuluh sen. Kau pergi
kembali ke pria itu, berikan uang ini, dan bawa pulang palu itu.”
“Tidak,” kata Al
Condraj. “Aku tidak mau ambil uangmu untuk sesuatu yang sebenarnya tidak
benar-benar aku butuhkan. Aku hanya merasa aku perlu punya palu, supaya aku
bisa membuat sesuatu kalau aku mau. Aku sudah punya banyak paku dan potongan
kayu peti, tapi aku belum punya palu.”
“Pergi beli palu
itu,” kata ibunya lagi.
“Tidak,” jawab Al.
“Baiklah,” kata
ibunya akhirnya. “Diam.”
Itulah kalimat yang
selalu ia ucapkan bila tak tahu lagi harus bicara apa.
Al keluar dan duduk
di anak tangga depan rumah. Kini rasa malunya mulai benar-benar terasa seperti
luka di dalam dada. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sepanjang rel kereta
menuju Foley’s Packing House karena ia perlu memikirkan semuanya lagi.
Di Foley’s, ia
melihat Johnny Gale sedang memaku peti selama sepuluh menit. Johnny terlalu
sibuk untuk memperhatikannya atau berbicara. Namun Al masih ingat, dua atau
tiga tahun lalu, di sekolah Minggu, Johnny pernah menyapanya, “Apa kabar, nak?”
Johnny bekerja
menggunakan kapak pembuat peti, dan semua orang di Fresno bilang bahwa dia
adalah pembuat peti tercepat di kota. Ia seperti mesin bagi pabrik pengepakan
mana pun. Foley, pemilik pabrik, sangat bangga padanya.
Akhirnya, Al Condraj
memutuskan pulang karena ia tak ingin mengganggu. Ia takut jika seseorang yang
sedang bekerja keras menyadari dirinya sedang diawasi lalu berkata, “Ayo,
enyahlah.” Ia tidak ingin Johnny Gale mengatakan hal seperti itu kepadanya. Ia
tidak ingin mengundang penghinaan baru.
Dalam perjalanan
pulang, ia mencari-cari uang di tanah, tapi yang ia temukan hanyalah pecahan
kaca dan paku berkarat, benda-benda yang setiap musim panas selalu melukai
telapak kakinya yang telanjang.
Ketika ia tiba di
rumah, ibunya sudah menyiapkan salad dan menata meja. Ia duduk untuk makan,
tapi ketika makanan masuk ke mulutnya, ia tak merasakan apa pun. Ia bangkit,
masuk ke rumah kecil mereka yang terdiri dari tiga ruangan, mengambil kotak
apelnya dari sudut kamar, dan memeriksa isi rongsokannya. Semuanya masih sama
seperti kemarin.
Kemudian ia keluar
lagi, berjalan kembali ke kota, berdiri di depan toko yang sudah tutup itu
sambil menatapnya dengan benci—ia sangat membenci pria muda yang telah
menangkapnya. Lalu ia berjalan ke bioskop Hippodrome dan menatap foto-foto
promosi dua film yang sedang tayang hari itu.
Setelah itu ia menuju
perpustakaan umum untuk melihat-lihat buku lagi, tapi tak satu pun menarik
minatnya. Ia berjalan tanpa tujuan di kota sampai kira-kira pukul setengah
sembilan malam, lalu pulang dan langsung berbaring di tempat tidur.
Ibunya sudah lebih
dulu tidur, karena ia harus bangun pukul lima pagi untuk bekerja di
Inderrieden’s, tempat pengemasan buah ara. Kadang pekerjaannya hanya setengah
hari, tapi apa pun yang dihasilkannya di musim panas harus cukup untuk
menghidupi mereka sepanjang tahun.
Malam itu, Al hampir
tak bisa tidur. Ia tak berhenti memikirkan apa yang telah terjadi, memutar
ulang di kepalanya enam atau tujuh kemungkinan cara untuk “memperbaiki masalah”
itu. Ia bahkan sempat berpikir mungkin satu-satunya jalan adalah menjadi
pencuri sungguhan, mencuri dengan terencana dan sukses sepanjang hidupnya.
Malam terasa panas,
dan ia tak bisa terlelap. Akhirnya, ibunya bangun dan berjalan tanpa alas kaki
ke dapur untuk minum air. Dalam perjalanan kembali, ia berkata lembut, “Diam.”
Ketika ibunya bangun
pukul lima pagi, Al sudah tidak ada di rumah, tetapi itu bukan hal aneh. Ia
memang anak yang gelisah dan tak pernah diam setiap musim panas. Ia selalu
ingin bergerak, mencoba hal-hal baru, dan sering melakukan kesalahan, lalu
menanggung akibatnya. Baru kemarin ia mencoba mencuri dan tertangkap, dan kini
pikirannya masih kalut karenanya.
Sang ibu menyiapkan
sarapan untuk dirinya sendiri, mengemas bekal makan siang, dan bergegas
berangkat kerja, berharap hari itu akan menjadi hari kerja penuh, bukan
setengah hari seperti kadang-kadang terjadi.
Hari itu memang hari
penuh, bahkan ada lembur. Walaupun bekalnya sudah habis, ia tetap memutuskan
untuk bekerja lebih lama demi uang tambahan. Hampir semua pekerja perempuan
lain juga memilih tinggal lebih lama, termasuk Leeza Ahboot, tetangga yang
tinggal di seberang gang, yang bekerja di meja sebelahnya.
“Yuk, kita terus
kerja sampai benar-benar selesai,” kata Leeza. “Lalu nanti malam kita pulang,
masak makan malam bareng di taman petersilimu yang sejuk itu. Hari ini panas
sekali, dan sayang kalau kita nggak cari tambahan lima puluh atau enam puluh
sen.”
Ketika dua perempuan
itu akhirnya tiba di rumah, hampir pukul sembilan malam, langit masih terang
sedikit. Dan di sana, di taman petersili, ia melihat anaknya sedang memaku
potongan kayu peti, membuat sesuatu dengan palu di tangannya. Bentuknya seperti
bangku kecil.
Taman sudah ia siram,
halaman tampak rapi, dan seluruh tempat itu terasa nyaman. Anaknya tampak
serius dan sibuk, wajahnya tenang seolah-olah semua kegelisahan kemarin telah
berubah menjadi kerja sungguh-sungguh.
Kedua perempuan itu
langsung bekerja menyiapkan makan malam: memetik paprika, tomat, mentimun, dan
banyak sekali peterseli untuk salad. Leeza lalu pulang sebentar ke rumahnya
untuk mengambil roti yang ia panggang semalam dan keju putih.
Tak lama kemudian,
mereka duduk makan bersama, berbincang santai tentang hari yang panjang namun
sukses itu. Sesudah makan, mereka membuat kopi Turki di atas api kecil di
halaman. Mereka meminum kopi itu, mengisap sebatang rokok masing-masing, dan
saling bercerita tentang masa lalu mereka di negeri asal dan kehidupan mereka
sekarang di Fresno. Lalu, seperti kebiasaan mereka, mereka melihat ampas kopi
di dasar cangkir, mencoba membaca nasib darinya. Dan ternyata tanda-tandanya
baik: kesehatan, pekerjaan, makan malam di luar ruangan sepanjang musim panas,
dan cukup uang untuk hidup setahun ke depan.
Sementara itu, Al
terus bekerja, mendengar sebagian percakapan mereka tanpa banyak bicara. Ketika
malam semakin larut, Leeza pamit pulang untuk tidur.
Leeza pun pulang ke
rumahnya untuk tidur, dan ibunya berkata, “Dari mana kau dapat itu, palu itu,
Al?”
“Aku mendapatkannya
dari toko,” jawab Al.
“Bagaimana kau
mendapatkannya? Kau mencurinya?”
Al Condraj
menyelesaikan bangku yang sedang ia buat dan duduk di atasnya.
“Tidak,” katanya.
“Aku tidak mencurinya.”
“Bagaimana kau
mendapatkannya?”
“Aku bekerja di toko
itu untuk mendapatkannya,” kata Al.
“Toko tempat kau
mencuri kemarin?”
“Ya.”
“Siapa yang memberimu
pekerjaan?”
“Bosnya.”
“Apa yang kau
kerjakan?”
“Aku membawa berbagai
barang ke konter yang berbeda-beda.”
“Itu bagus,” kata
ibunya. “Berapa lama kau bekerja untuk mendapatkan palu kecil itu?”
“Aku bekerja
seharian,” kata Al. “Tuan Clemmer memberiku palu itu setelah aku bekerja satu
jam, tapi aku tetap terus bekerja. Orang yang menangkapku kemarin menunjukkan
apa yang harus kulakukan, dan kami bekerja bersama. Kami tidak bicara, tapi di
akhir hari dia membawaku ke kantor Tuan Clemmer dan berkata kepada Tuan Clemmer
bahwa aku sudah bekerja keras seharian dan seharusnya dibayar setidaknya satu
dolar.”
“Itu bagus,” kata
ibunya.
“Jadi Tuan Clemmer
meletakkan satu dolar perak di mejanya untukku,” kata Al, “dan kemudian orang
yang menangkapku kemarin memberitahunya bahwa toko itu butuh anak laki-laki
seperti aku setiap hari, dengan upah satu dolar sehari, dan Tuan Clemmer bilang
aku bisa mengambil pekerjaan itu.”
“Itu bagus,” kata
ibunya. “Kau bisa mendapatkan sedikit uang untuk dirimu sendiri.”
“Aku meninggalkan
dolar itu di meja Tuan Clemmer,” kata Al Condraj, “dan aku bilang pada mereka
berdua bahwa aku tidak mau pekerjaan itu.”
“Mengapa kau bilang
begitu?” tanya ibunya. “Satu dolar sehari untuk anak umur sebelas tahun uang
yang bagus. Mengapa kau tidak ambil pekerjaan itu?”
“Karena aku benci
keduanya,” kata anak itu. “Aku tidak akan pernah bekerja untuk orang-orang
seperti mereka. Aku hanya menatap mereka, mengambil paluku, dan pergi. Aku
pulang dan membuat bangku ini.”
“Baiklah,” kata
ibunya. “Diam.”
Ibunya masuk ke dalam
rumah dan pergi tidur, tetapi Al Condraj duduk di bangku yang telah ia buat dan
menghirup aroma taman petersili, dan ia tidak merasa terhina lagi. Namun tidak
ada yang bisa menghentikannya untuk membenci kedua pria itu, meskipun ia tahu
mereka sebenarnya tidak melakukan sesuatu yang tidak seharusnya mereka lakukan.
.jpg)