Cerpen Terjemahan Entri 35
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Mata Anjing Biru
Gabriel Garcia Marquez
Lalu ia memandangku. Kukira saat itu ia sedang
menatapku untuk pertama kalinya. Namun kemudian, ketika ia berputar ke belakang
lampu dan aku terus merasakan tatapannya yang licin dan berminyak di
belakangku, di atas bahuku, aku mengerti bahwa akulah yang sedang melihatnya
untuk pertama kalinya.
Aku menyalakan sebatang rokok. Aku mengisap
asapnya yang keras dan kuat sebelum memutar kursi, bertumpu pada salah satu
kaki belakangnya. Setelah itu aku melihatnya di sana, seolah ia telah berdiri
di samping lampu dan memandangku setiap malam. Selama beberapa menit singkat
itulah yang kami lakukan: saling menatap. Aku menatap dari kursi, seimbang pada
salah satu kaki belakang. Ia berdiri, dengan tangan panjang dan sunyi
diletakkan pada lampu, memandangku. Aku melihat kelopak matanya diterangi
cahaya seperti setiap malam. Saat itulah aku teringat hal yang biasa, ketika
aku berkata padanya, “Mata anjing biru.”
Tanpa melepaskan tangannya dari lampu ia
berkata kepadaku, “Itu. Kita takkan pernah melupakannya.”
Ia menjauh dari orbitnya, menghela napas, “Mata
anjing biru. Aku sudah menuliskannya di mana-mana.”
Kulihat ia berjalan menuju meja rias, aku
menyaksikannya muncul dalam kaca bundar cermin itu, menatapku kini di ujung
pantulan bolak-balik cahaya matematis. Aku melihatnya terus memandangku dengan
mata besarnya yang seperti bara panas: menatapku ketika ia membuka kotak kecil
berlapis mutiara merah muda. Kulihat ia memoleskan bedak ke hidungnya. Setelah
selesai, ia menutup kotak itu, berdiri lagi, dan berjalan kembali ke lampu,
sambil berkata, “Aku takut seseorang sedang memimpikan kamar ini dan membongkar
rahasia-rahasiaku.”
Dan di atas nyala lampu ia mengulurkan kembali
tangan panjang yang bergetar halus itu, yang tadi ia hangatkan sebelum duduk di
depan cermin. Dan ia berkata, “Kau tidak merasa dingin.”
Dan aku berkata padanya, “Terkadang.”
Dan ia berkata kepadaku, “Kau pasti
merasakannya sekarang.”
Dan saat itu aku mengerti mengapa aku tak
mungkin sendirian di kursi itu. Dinginnya telah memberiku kepastian tentang
kesendirianku.
“Sekarang aku merasakannya,” kataku. “Dan aneh
rasanya karena malam begitu tenang. Mungkin selimutnya terjatuh.”
Ia tidak menjawab. Ia kembali bergerak menuju
cermin dan aku memutar kursi lagi, membelakangi dirinya. Tanpa melihatnya, aku
tahu apa yang sedang ia lakukan. Aku tahu ia kembali duduk di depan cermin,
melihat punggungku yang telah sempat mencapai kedalaman cermin dan tertangkap
oleh tatapannya yang juga telah cukup waktu untuk mencapai kedalaman itu dan
kembali, sebelum tangannya sempat memulai putaran kedua, hingga kini bibirnya
telah berlumur merah dari putaran pertama tangannya di depan cermin.
Aku melihat, di hadapanku, dinding yang mulus
yang bagai cermin buta lain tempat aku tak dapat melihatnya duduk di
belakangku, tetapi dapat membayangkan ia berada di tempat yang barangkali
memang di situ, seolah sebuah cermin telah digantungkan menggantikan dinding
itu.
“Aku melihatmu,” kataku padanya.
Dan pada dinding itu kulihat seakan ia
mengangkat matanya dan melihatku dengan punggung menghadap ke arahnya dari
kursi, di kedalaman cermin, wajahku menghadap ke dinding. Lalu kulihat ia
menurunkan matanya lagi dan tetap memandang ke arah kutangnya, tanpa berkata
apa-apa.
Dan aku berkata lagi padanya, “Aku melihatmu.”
Dan ia mengangkat matanya dari kutangnya sekali
lagi. “Itu mustahil,” katanya.
Aku bertanya mengapa. Dan ia, dengan mata
tenang dan kembali tertuju pada kutangnya, “Sebab wajahmu menghadap dinding.”
Lalu aku memutar kursi. Rokok masih terjepit di
mulutku. Ketika aku kembali menghadap cermin, ia sudah berada di dekat lampu.
Kini kedua tangannya terbuka di atas nyala api, bagaikan sepasang sayap ayam,
menghangatkan dirinya, sementara wajahnya terlindung bayangan jemarinya
sendiri.
“Aku rasa aku akan masuk angin,” katanya. “Ini
pasti kota yang terbuat dari es.”
Ia memalingkan wajahnya ke samping, dan
kulitnya yang dari tembaga menjadi merah tiba-tiba tampak sedih. “Lakukan
sesuatu tentang itu,” katanya. Dan ia mulai menanggalkan pakaiannya, satu per
satu, dimulai dari atas dengan kutangnya.
Aku berkata kepadanya, “Aku akan kembali
menghadap dinding.”
Ia berkata, “Tidak. Bagaimanapun juga, kau akan
melihatku seperti ketika punggungmu menghadapku.”
Dan belum selesai ia mengatakannya, ia sudah
hampir sepenuhnya telanjang, dengan nyala api menjilat kulit tembaganya yang
panjang.
“Aku selalu ingin melihatmu seperti itu, dengan
kulit perutmu penuh lekuk-lekuk dalam, seolah kau pernah dipukul.”
Dan sebelum kusadari bahwa kata-kataku menjadi
kikuk oleh pemandangan ketelanjangannya, ia mendadak diam, menghangatkan diri
pada bola lampu, dan ia berkata, “Ada kalanya aku merasa diriku terbuat dari
logam.”
Ia terdiam sesaat. Posisi kedua tangannya di
atas nyala api bergeser sedikit. Aku berkata, “Terkadang, dalam mimpi-mimpi
lain, aku mengira kau hanyalah sebuah patung perunggu kecil di sudut suatu
museum. Mungkin itu sebabnya kau selalu kedinginan.”
Dan ia berkata, “Terkadang, ketika aku tidur
miring di atas jantungku, aku bisa merasakan tubuhku menjadi berongga dan
kulitku seperti pelat. Lalu, ketika darah berdebar di dalamku, rasanya seperti
seseorang mengetuk perutku untuk memanggilku dan aku bisa merasakan bunyi
tembagaku sendiri di ranjang. Rasanya seperti, apa kau menyebutnya, logam
berlapis?” Ia mendekat ke lampu.
“Aku ingin bisa mendengarnya,” kataku.
Dan ia berkata, “Jika suatu saat kita saling
bertemu, tempelkan telingamu pada tulang rusukku ketika aku tidur di sisi kiri
dan kau akan mendengarku bergema. Aku selalu ingin kau melakukannya suatu hari
nanti.”
Aku mendengar ia bernapas berat ketika bicara.
Dan ia berkata bahwa selama bertahun-tahun ia tak melakukan apa pun selain itu.
Hidupnya diabdikan untuk menemukan diriku dalam kenyataan, melalui frasa
pengenal itu, “Mata anjing biru.” Dan ia berjalan di jalan sambil
mengucapkannya lantang, sebagai cara memberi tahu satu-satunya orang yang bisa
memahaminya, “Akulah perempuan yang masuk ke dalam mimpimu setiap malam dan
berkata kepadamu, ‘Mata anjing biru.’”
Dan ia berkata bahwa ia memasuki
restoran-restoran dan sebelum memesan apa pun ia berkata kepada para pelayan,
“Mata anjing biru.” Tetapi para pelayan menunduk dengan hormat, tanpa pernah
mengenali bahwa mereka pernah mengucapkannya dalam mimpi. Lalu ia akan
menuliskannya pada serbet, dan menggoreskannya di atas pernis meja dengan
pisau, “Mata anjing biru.” Dan pada jendela berembun hotel-hotel, stasiun,
semua gedung umum, ia menuliskannya dengan ujung jarinya, “Mata anjing biru.”
Ia berkata bahwa suatu ketika ia memasuki
sebuah apotek dan mencium aroma yang sama dengan yang pernah ia hirup di
kamarnya pada suatu malam setelah memimpikanku. “Dia pasti dekat,” pikirnya,
ketika melihat ubin bersih dan baru di apotek itu. Lalu ia mendekati penjaga
toko dan berkata kepadanya, “Aku selalu memimpikan seorang lelaki yang
berkata kepadaku: ‘Mata anjing biru.’”
Dan ia berkata bahwa penjaga toko itu memandang
matanya dan berkata, “Memang betul, Nyonaya, mata Anda memang seperti itu.”
Dan ia berkata kepadanya, “Aku harus menemukan
lelaki yang mengatakan kata-kata itu kepadaku dalam mimpiku.” Dan penjaga toko
itu mulai tertawa dan bergeser ke ujung lain dari meja.
Ia terus melihat ubin yang bersih itu dan
mencium aroma itu. Kemudian ia membuka tasnya, dan pada ubin itu, dengan
lipstik merah darahnya, ia menuliskan huruf-huruf merah, “Mata anjing biru.”
Penjaga toko itu kembali dari tempat ia
berdiri. Penjaga toko itu berkata kepadanya, “Nyonya, Anda telah mengotori ubin
itu.” Penjaga toko itu memberinya kain basah sambil berkata, “Bersihkan.”
Dan ia berkata, masih di dekat lampu, bahwa ia
telah menghabiskan seluruh sore dengan merangkak, mengusap ubin-ubin itu sambil
berkata, “Mata anjing biru,” sampai orang-orang berkumpul di pintu dan
mengatakan bahwa ia gila. Kini, ketika ia selesai bicara, aku tetap berada di
sudut, duduk, bergoyang dalam kursi.
“Setiap hari aku mencoba mengingat frasa yang
akan kupakai untuk menemukanmu,” kataku. “Sekarang aku rasa besok aku tak akan
lupa. Namun tetap saja, aku selalu mengatakan hal yang sama, dan ketika aku
terbangun aku selalu lupa kata-kata yang dapat kupakai untuk menemukanmu.”
Dan ia berkata, “Kau sendiri yang menciptakannya pada hari pertama.”
Dan aku berkata kepadanya, “Aku menciptakannya
karena aku melihat matamu yang seperti abu. Tetapi setiap pagi aku tak pernah
mengingatnya.”
Dan ia, dengan kepalan tangan, di samping
lampu, bernapas dalam-dalam, “Andai saja kau setidaknya bisa mengingat sekarang
di kota mana aku telah menuliskannya.” Giginya yang terkatup berkilat di atas
nyala lampu.
“Aku ingin menyentuhmu sekarang,” kataku.
Ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi menatap
cahaya; ia mengangkat tatapannya, menyala, memanggang, seperti dirinya, seperti
kedua tangannya, dan aku merasakan bahwa ia melihatku, di sudut tempat aku
duduk, bergoyang dalam kursi.
“Kau tak pernah mengatakan itu padaku,”
katanya.
“Kukatakan sekarang, dan itu benar,” jawabku.
Dari seberang lampu ia meminta sebatang rokok.
Puntungnya telah lenyap di antara jariku. Aku lupa bahwa aku sedang merokok.
Ia berkata, “Aku tak tahu mengapa aku tak dapat
mengingat di mana aku menuliskannya.”
Dan aku berkata kepadanya, “Alasan yang sama
mengapa besok aku tak akan dapat mengingat kata-katanya.”
Dan ia berkata dengan sedih, “Bukan.
Kadang-kadang aku merasa aku pun memimpikannya.”
Aku bangkit dan berjalan menuju lampu. Ia
berada sedikit di baliknya, dan aku terus berjalan dengan rokok dan korek di
tanganku, yang tak dapat melewati batas lampu itu. Aku ulurkan rokok itu
kepadanya. Ia menjepitnya di antara bibir dan mencondongkan tubuhnya untuk
mencapai nyala api sebelum aku sempat menyalakan korek.
“Di suatu kota di dunia, di semua dinding,
kata-kata itu pasti muncul tertulis: ‘Mata anjing biru,’” kataku. “Jika aku
bisa mengingatnya besok, aku bisa menemukanmu.”
Ia mengangkat wajahnya lagi dan kini bara rokok
menyala di antara bibirnya.
“Mata anjing biru,” desahnya, teringat, dengan
rokok menggantung di bawah dagunya dan satu matanya setengah terpejam.
Kemudian ia mengisap asapnya dengan rokok di
antara jemarinya dan berseru, “Ini beda sekarang. Aku mulai hangat.”
Dan ia mengatakannya dengan suara yang agak
suam-suam dan cepat lenyap, seolah ia sebenarnya tak mengucapkannya, melainkan
menuliskannya pada selembar kertas dan mendekatkan kertas itu pada nyala api
sementara aku membaca, “Aku mulai hang—” dan ia melanjutkannya dengan kertas
itu di antara ibu jari dan telunjuknya, memutarnya perlahan ketika sedang
terbakar, dan aku baru sempat membaca “…at,” sebelum kertas itu habis
sepenuhnya dan jatuh ke lantai dalam keadaan kusut, mengecil, berubah menjadi
debu abu yang ringan.
“Itu lebih baik,” kataku. “Kadang-kadang aku
takut melihatmu seperti itu. Gemetar di samping lampu.”
Kami telah saling melihat selama beberapa
tahun. Terkadang, ketika kami sudah bersama, seseorang menjatuhkan sendok di
luar dan kami pun terbangun. Perlahan-lahan kami mulai mengerti bahwa
persahabatan kami tunduk pada hal-hal kecil, pada kejadian paling sederhana.
Pertemuan kami selalu berakhir seperti itu, dengan jatuhnya sendok pada dini
hari.
Kini di dekat lampu ia memandangku. Aku
teringat bahwa dulu pun ia pernah memandangku seperti itu, dari mimpi yang jauh
di mana aku memutar kursi pada kaki belakangnya dan tetap menghadap seorang
perempuan asing dengan mata seperti abu. Dalam mimpi itulah untuk pertama
kalinya aku bertanya kepadanya, “Siapa kau?”
Dan ia menjawab, “Aku tidak ingat.”
Aku berkata kepadanya, “Tapi aku rasa kita
sudah pernah bertemu sebelumnya.”
Dan ia berkata, acuh, “Aku rasa aku pernah
memimpikanmu sekali, tentang kamar yang sama ini.”
Dan aku berkata kepadanya, “Itulah dia. Aku
mulai mengingat sekarang.”
Dan ia berkata, “Aneh sekali. Sudah pasti kita
pernah bertemu dalam mimpi-mimpi lain.”
Ia mengisap rokok itu dua kali. Aku masih
berdiri menghadap lampu, ketika tiba-tiba aku terus menatapnya. Aku
memandangnya dari atas ke bawah dan ia tetap tembaga; bukan lagi logam keras
dan dingin, melainkan tembaga kuning, lembut, mudah dibentuk.
“Aku ingin menyentuhmu,” kataku lagi.
Dan ia berkata, “Kau akan merusak segalanya.”
Aku berkata, “Itu tak penting sekarang. Yang
perlu kita lakukan hanyalah membalik bantal untuk dapat bertemu lagi.”
Dan aku mengulurkan tanganku di atas lampu. Ia
tidak bergerak.
“Kau akan merusak segalanya,” katanya lagi
sebelum aku sempat menyentuhnya. “Mungkin, jika kau datang dari belakang lampu,
kita akan terbangun ketakutan entah di bagian dunia yang mana.”
Tetapi aku bersikeras, “Itu tak penting.”
Dan ia berkata, “Jika kita membalik bantal,
kita akan bertemu lagi. Tetapi ketika kau bangun, kau akan lupa.”
Aku mulai bergerak menuju sudut ruangan. Ia
tetap di belakang, menghangatkan tangannya di atas nyala api. Dan aku bahkan
belum sampai di dekat kursi ketika aku mendengar ia berkata dari belakangku,
“Ketika aku terbangun tengah malam, aku terus berguling di tempat tidur, dengan
rumbai bantal membakar lututku, dan mengulanginya sampai fajar, ‘Mata anjing
biru.’”
Lalu aku tetap dengan wajah menghadap dinding.
“Fajar sudah menyingsing,” kataku tanpa
melihatnya. “Ketika jam menunjukkan pukul dua aku sudah terjaga, dan itu sudah
lama sekali.”
Aku berjalan menuju pintu. Ketika gagangnya
sudah dalam genggamanku, aku mendengar suaranya lagi, sama, tak berubah.
“Jangan buka pintu itu,” katanya. “Lorong itu
penuh mimpi-mimpi yang sulit.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Sebab beberapa saat lalu aku berada di sana,
dan aku harus kembali ketika kusadari bahwa aku sedang tidur menindih
jantungku.”
Pintunya telah setengah terbuka. Aku
menggerakkannya sedikit dan angin tipis yang dingin membawa aroma segar tanah
tanaman, ladang yang lembap.
Aku berbalik, masih memegangi pintu yang
bergerak di atas engsel-engsel sunyi, dan aku berkata kepadanya, “Aku rasa tak
ada lorong di luar sini. Aku mencium bau pedesaan.”
Dan ia, agak jauh, berkata kepadaku, “Aku tahu
itu lebih baik darimu. Yang terjadi adalah ada seorang perempuan di luar sana
sedang bermimpi tentang pedesaan.”
Ia menyilangkan kedua lengannya di atas nyala
lampu. Ia melanjutkan, “Itu perempuan yang selalu ingin memiliki rumah di
pedesaan dan tak pernah bisa meninggalkan kota.”
Aku teringat pernah melihat perempuan itu dalam
mimpi sebelumnya, tetapi aku tahu, dengan pintu yang kini setengah terbuka,
bahwa dalam setengah jam aku harus turun untuk sarapan.
Lalu aku berkata, “Bagaimanapun, aku harus
pergi dari sini agar bisa terbangun.”
Di luar, angin berkibar sejenak, lalu kembali
tenang, dan terdengar napas seseorang yang sedang tidur, seseorang yang baru
saja membalikkan tubuh di ranjang. Angin dari ladang telah berhenti. Tak ada
lagi aroma.
“Besok aku akan mengenalimu dari situ,” kataku.
“Aku akan mengenalimu ketika di jalan aku melihat seorang perempuan menuliskan
‘Mata anjing biru’ di dinding-dinding.”
Dan ia, dengan senyum sedih, senyum penyerahan
diri pada hal yang mustahil dan tak terjangkau, berkata, “Namun kau tak akan
mengingat apa pun sepanjang hari.” Dan ia kembali meletakkan tangannya di atas
lampu, wajahnya menggelap oleh segumpal awan getir.
“Kau satu-satunya lelaki yang tak mengingat apa
pun dari mimpinya setelah ia terbangun.”
Judul Halaman 3 (Kesimpulan)
Ini adalah konten untuk halaman KETIGA atau terakhir.
Tulis kesimpulan Anda di sini...
.jpg)