Cerpen Terjemahan Entri 34
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Kematian yang Abadi Melampaui CintaGabriel Garcia Marquez
Senator Onesimo Sanchez masih memiliki enam
bulan sebelas hari sebelum kematiannya ketika ia menemukan perempuan dalam
hidupnya. Ia bertemu dengannya di Rosal del Virrey, sebuah desa ilusi yang pada
malam hari menjadi dermaga tersembunyi bagi kapal-kapal penyelundup, sementara
pada siang hari tampak seperti teluk paling tak berguna di padang pasir,
menghadap laut yang kering, tanpa arah, dan begitu jauh dari mana pun sehingga
tak seorang pun akan menyangka bahwa seseorang yang mampu mengubah nasib siapa
pun tinggal di sana. Bahkan namanya saja terasa seperti lelucon, karena
satu-satunya mawar di desa itu sedang dikenakan oleh Senator Onesimo Sanchez
sendiri pada sore ketika ia bertemu Laura Farina.
Itu adalah persinggahan wajib dalam kampanye
pemilihan umum yang ia lakukan setiap empat tahun. Gerobak karnaval datang pada
pagi hari. Lalu menyusul truk-truk yang membawa orang-orang Indian sewaan untuk
memperbesar kerumunan dalam acara-acara publik. Tak lama sebelum pukul sebelas,
bersama musik, petasan, dan jip-jip rombongan, tibalah mobil menteri berwarna
limun stroberi. Senator Onesimo Sanchez duduk tenang dan tak tersentuh cuaca di
dalam mobil berpenyejuk udara, tetapi begitu membuka pintu ia terguncang oleh
embusan udara panas menyala, dan kemeja sutra murninya langsung basah menjadi
semacam sup berwarna pucat. Ia merasa bertahun-tahun lebih tua dan lebih
sendirian daripada sebelumnya. Dalam kehidupan nyata ia baru berusia empat
puluh dua, lulus dari Göttingen dengan penghargaan sebagai insinyur metalurgi,
dan seorang pembaca rakus—meskipun tak terlalu beruntung—atas karya klasik
Latin yang diterjemahkan secara buruk. Ia menikahi seorang wanita Jerman yang
bercahaya dan telah memberinya lima anak, dan mereka hidup bahagia, ia yang
paling bahagia di antara semuanya, sampai tiga bulan lalu seseorang mengatakan
kepadanya bahwa ia akan meninggal selamanya sebelum Natal berikutnya.
Sementara persiapan untuk rapat umum sedang
diselesaikan, sang senator berhasil mendapatkan satu jam sendirian di rumah
yang disediakan untuknya beristirahat. Sebelum berbaring ia menaruh mawar yang
ia bawa hidup-hidup melintasi padang pasir itu ke dalam segelas air minum,
makan siang dengan sereal diet yang selalu ia bawa agar terhindar dari hidangan
kambing goreng berulang-ulang yang menunggunya sepanjang hari, dan menelan
beberapa pil pereda nyeri sebelum waktunya agar obat itu bekerja lebih awal dari
rasa sakit. Lalu ia meletakkan kipas angin listrik dekat tempat tidurnya dan
berbaring telanjang selama lima belas menit di bawah bayangan mawar itu,
berusaha keras mengalihkan pikiran agar tidak memikirkan kematian saat ia
tertidur sebentar. Kecuali para dokter, tak ada yang tahu bahwa ia sudah
dijatuhi hukuman waktu tertentu, karena ia memutuskan memikul rahasia itu
sendirian, tanpa mengubah apa pun dalam hidupnya, bukan karena sombong,
melainkan karena malu.
Ia merasa sepenuhnya menguasai dirinya ketika
kembali muncul di hadapan publik pada pukul tiga sore, dalam keadaan segar dan
bersih, mengenakan celana linen kasar dan kemeja bercorak bunga, jiwanya
ditopang oleh pil pereda nyeri. Namun demikian, pengeroposan kematian jauh
lebih licik daripada yang ia duga, sebab ketika naik ke panggung ia merasakan
semacam rasa jijik aneh terhadap mereka yang berjuang demi keberuntungan untuk
menyalaminya, dan ia tidak merasa iba seperti sebelumnya kepada para Indian bertelanjang
kaki yang nyaris tak tahan berdiri di atas bara nitrat panas di alun-alun kecil
yang tandus itu. Ia membungkam tepuk tangan dengan kibasan tangan, hampir
dengan kemarahan, dan mulai bicara tanpa gestur, matanya tertuju pada laut yang
mendesah oleh panas. Suaranya yang terukur dan dalam memiliki ketenangan air
yang hening, tetapi pidato yang telah ia hafalkan dan ulang begitu banyak kali
itu tidak lagi muncul dalam dirinya sebagai kebenaran yang harus disampaikan,
melainkan sebagai kebalikan dari pernyataan pasrah Marcus Aurelius dalam buku
keempat Meditations-nya.
“Kita berada di sini untuk tujuan menaklukkan
alam,” ia memulai, bertentangan dengan semua keyakinannya. “Kita tidak akan
lagi menjadi anak-anak terlantar di negeri kita sendiri, yatim piatu Tuhan di
tanah yang haus dan beriklim buruk, pengasing di negeri sendiri. Kita akan
menjadi manusia yang berbeda, hadirin sekalian, kita akan menjadi manusia besar
dan bahagia.”
Pertunjukannya memiliki pola. Saat ia bicara,
para asistennya melemparkan gerombolan burung kertas ke udara, dan
makhluk-makhluk buatan itu seolah hidup terbang mengitari panggung kayu, lalu
meluncur ke arah laut. Pada saat yang sama, para lelaki lain mengeluarkan
pohon-pohon properti berdaun kain dari gerobak dan menanamnya di tanah garam di
belakang kerumunan. Mereka mengakhiri dengan mendirikan sebuah fasad karton
bergambar rumah-rumah bata merah lengkap dengan jendela kaca, dan dengan itu
mereka menutupi gubuk-gubuk menyedihkan di dunia nyata.
Sang senator memperpanjang pidatonya dengan dua
kutipan Latin demi memberi waktu lebih lama bagi sandiwara itu. Ia menjanjikan
mesin pembuat hujan, pembiak hewan meja yang bisa dibawa-bawa, minyak
kebahagiaan yang akan membuat sayur-mayur tumbuh di tanah garam, dan rumpun
bunga pansy di kotak-kotak jendela. Ketika ia melihat dunia fiksionalnya telah
siap sepenuhnya, ia menunjuk ke arah itu. “Begitulah nanti untuk kita, hadirin
sekalian,” ia berteriak. “Lihatlah! Begitulah nanti untuk kita.”
Para pendengar menoleh. Sebuah kapal laut besar
dari kertas bergambar sedang melintas di belakang rumah-rumah itu dan lebih
tinggi daripada bangunan tertinggi di kota buatan tersebut. Hanya sang senator
yang melihat bahwa sejak kota karton bertumpuk itu didirikan, dibongkar, dan
dipindah dari satu tempat ke tempat lain, ia telah digerogoti iklim yang kejam
dan kini hampir sama miskin dan berdebu seperti Rosal del Virrey.
Untuk pertama kalinya dalam dua belas tahun,
Nelson Farina tidak pergi menyambut sang senator. Ia mendengarkan pidato itu
dari dalam hammok di tengah sisa-sisa tidur siangnya, di bawah naungan sejuk
sebuah rumah papan kasar yang ia bangun dengan tangan seorang apoteker, tangan
yang dulu juga mencincang istri pertamanya. Ia melarikan diri dari Pulau Iblis
dan muncul di Rosal del Virrey dengan sebuah kapal bermuatan burung makau tak
berdosa, bersama seorang perempuan kulit hitam yang cantik sekaligus menghujat
yang ia temukan di Paramaribo, dan darinya lahirlah seorang putri. Perempuan
itu meninggal beberapa waktu kemudian karena sebab alamiah dan tidak mengalami
nasib seperti istri pertama, yang potongannya menyuburkan kebun kembang kolnya
sendiri; ia dimakamkan secara utuh dengan memakai nama Belandanya di pemakaman
setempat. Putrinya mewarisi warna kulit dan bentuk tubuh sang ibu, juga mata
ayahnya yang kuning dan selalu tampak terkejut; dan ia punya alasan kuat untuk
membayangkan bahwa ia sedang membesarkan perempuan tercantik di dunia.
Sejak pertama kali bertemu Senator Onesimo
Sanchez pada kampanye pemilu pertamanya, Nelson Farina telah memohon bantuannya
untuk mendapatkan kartu identitas palsu yang akan menempatkannya di luar
jangkauan hukum. Sang senator, dengan ramah namun tegas, selalu menolak. Nelson
Farina tak pernah menyerah, dan selama bertahun-tahun, setiap ada kesempatan ia
mengulangi permohonannya dengan cara berbeda. Namun kali ini ia tetap berbaring
di hammok, terkutuk membusuk hidup-hidup di sarang bajak laut yang membara itu.
Saat ia mendengar tepuk tangan terakhir, ia mengangkat kepala dan, dengan
mengintip di balik papan pagar, ia melihat sisi belakang sandiwara: properti
bangunan, kerangka pohon-pohon, para pesulap tersembunyi yang mendorong kapal
besar itu. Ia meludah tanpa amarah.
“Tai,” ujarnya. “Tipu-Tipu politikus.”
Setelah pidato, seperti biasanya, sang senator
berjalan melintasi jalan-jalan desa di tengah musik dan kembang api dan
dikerubungi penduduk yang menyampaikan keluh kesah mereka. Sang senator
mendengarkan dengan ramah dan selalu menemukan cara menghibur semua orang tanpa
harus melakukan bantuan sulit bagi mereka. Seorang perempuan di atap rumah
bersama enam anak bungsunya berhasil membuat suaranya terdengar di tengah
hiruk-pikuk dan tembakan kembang api.
“Aku tidak meminta banyak, Senator,” katanya.
“Hanya seekor keledai untuk mengangkut air dari Sumur Si Lelaki Tergantung.”
Sang senator memperhatikan keenam anak yang
kurus itu. “Ke mana suamimu?” ia bertanya.
“Ia pergi mencari peruntungan di Pulau Aruba,”
jawab perempuan itu dengan nada ceria, “dan yang ia temukan adalah perempuan
asing, tipe yang menempelkan berlian di gigi mereka.”
Jawaban itu disambut ledakan tawa.
“Baiklah,” putus sang senator, “kau akan dapat
keledaimu.”
Tak lama kemudian, seorang asistennya membawa
seekor keledai pengangkut yang baik ke rumah perempuan itu, dan di pantat hewan
itu tertulis sebuah slogan kampanye dengan cat yang tak bisa dihapus agar tak
seorang pun melupakan bahwa itu adalah hadiah dari sang senator.
Sepanjang jalan pendek itu ia membuat beberapa
gestur kecil lain, bahkan ia memberikan sesendok obat kepada seorang pria sakit
yang tempat tidurnya dipindahkan ke dekat pintu agar ia bisa melihat sang
senator lewat. Di tikungan terakhir, melalui celah papan pagar, ia melihat
Nelson Farina di dalam hammok, tampak pucat dan murung, namun sang senator
tetap menyapanya tanpa sedikit pun menunjukkan keakraban.
“Halo, apa kabar?”
Nelson Farina berbalik dalam hammok-nya dan
menatapnya dengan warna amber kesedihan.
“Saya? Yah, Anda tahu sendirilah,” katanya.
Putrinya keluar ke halaman ketika mendengar
sapaan itu. Ia mengenakan jubah Indian Guajiro yang murah dan pudar, kepalanya
dihiasi pita-pita berwarna, dan wajahnya dipoles untuk melindungi diri dari
matahari, namun bahkan dalam keadaan lusuh itu tetap tampak jelas bahwa mungkin
memang tak pernah ada perempuan lain yang secantik dirinya di seluruh dunia.
Sang senator tertegun. “Astaga!” desisnya terkejut. “Tuhan memang melakukan
hal-hal paling gila!”
Malam itu Nelson Farina mendandani putrinya
dengan pakaian terbaik dan mengirimkannya kepada sang senator. Dua penjaga
bersenjata senapan, yang mengantuk karena panas di rumah pinjaman itu,
memerintahkan gadis itu menunggu di satu-satunya kursi di ruang depan.
Sang senator berada di ruangan sebelah, bertemu
dengan orang-orang penting Rosal del Virrey, yang ia kumpulkan untuk
menyampaikan kepada mereka kebenaran-kebenaran yang tidak ia katakan dalam
pidatonya. Mereka begitu mirip dengan orang-orang yang selalu ia temui di
setiap kota gurun, bahkan sang senator sendiri sudah muak dengan sesi malam
yang berlangsung terus-menerus itu. Kemejanya basah kuyup oleh keringat dan ia
berusaha mengeringkannya langsung di tubuhnya dengan embusan angin panas dari
kipas angin listrik yang berdengung seperti lalat kuda dalam panas pekat
ruangan.
“Kita, tentu saja, tidak bisa makan burung
kertas,” katanya. “Kalian dan aku tahu bahwa pada hari ketika ada pohon dan
bunga di tumpukan kotoran kambing ini, hari ketika ada ikan shad dan bukan
cacing di lubang-lubang air, hari itu kalian maupun aku tak akan punya urusan
lagi di sini, jelas?”
Tak ada yang menjawab. Ketika ia bicara, sang
senator merobek selembar kalender dan membentuknya menjadi seekor kupu-kupu
kertas dengan tangannya. Ia melemparkannya tanpa tujuan tertentu ke arah angin
dari kipas, dan kupu-kupu itu terbang mengitari ruangan lalu keluar melalui
pintu yang setengah terbuka. Sang senator terus bicara dengan ketenangan yang
dibantu oleh keberpihakan kematian.
“Karena itu,” katanya, “aku tak perlu mengulang
kepada kalian apa yang sudah kalian ketahui terlalu baik: bahwa terpilihnya aku
kembali adalah urusan yang lebih menguntungkan bagi kalian daripada bagi
diriku, karena aku sudah muak dengan air genangan dan keringat orang Indian,
sementara kalian, sebaliknya, justru hidup dari semua itu.”
Laura Farina melihat kupu-kupu kertas itu
keluar. Hanya ia yang melihat karena para penjaga di ruang depan telah tertidur
di anak tangga, memeluk senapan mereka. Setelah beberapa putaran, kupu-kupu
besar bergambar itu terbuka sepenuhnya, menempel rata pada dinding dan tetap di
sana. Laura Farina mencoba mencabutnya dengan kukunya. Salah satu penjaga, yang
terbangun oleh tepuk tangan dari ruangan sebelah, memperhatikan usaha
sia-sianya itu.
“Itu tidak bisa dilepas,” katanya sambil
mengantuk. “Itu memang dilukis di dinding.”
Laura Farina duduk kembali ketika para lelaki
mulai keluar dari ruang pertemuan. Sang senator berdiri di ambang pintu dengan
tangannya pada kenop, dan ia baru menyadari keberadaan Laura Farina ketika
ruang depan telah kosong.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Ini titipan dari Ayahku,” katanya.
Sang senator mengerti “kode” itu. Ia melirik
para penjaga yang tertidur, lalu mengamati Laura Farina yang kecantikan tak
biasanya bahkan lebih menuntut perhatian daripada rasa sakitnya, dan ia pun
memutuskan bahwa kematianlah yang telah membuatkan keputusan untuknya.
“Masuklah,” katanya padanya.
Laura Farina tertegun berdiri di pintu: ribuan
lembar uang beterbangan di udara, berkepak-kepak seperti kupu-kupu. Tapi sang
senator mematikan kipas angin, dan uang-uang itu, kehilangan udara, perlahan
jatuh dan menempel pada benda-benda di dalam ruangan.
“Kau lihat,” katanya sambil tersenyum, “bahkan
kotoran pun bisa terbang.”
Laura Farina duduk di bangku kecil murid
sekolah. Kulitnya halus dan kokoh, dengan warna dan kepadatan surya yang sama
seperti minyak mentah; rambutnya seperti surai kuda muda; dan mata besarnya
lebih berkilau daripada cahaya itu sendiri. Sang senator mengikuti arah
tatapannya dan akhirnya menemukan bunga mawar yang tampak kusam oleh garam
tanah.
“Ini mawar,” katanya.
“Ya,” ucapnya dengan sedikit kebingungan. “Aku
belajar tentang itu di Riohacha.”
Sang senator duduk di ranjang tentara, bicara
tentang mawar sambil membuka kancing kemeja. Di sisi dada yang ia kira tempat
jantungnya berada, ia memiliki tato bajak laut berupa hati yang ditembus panah.
Ia melemparkan kemeja basah itu ke lantai dan meminta Laura Farina membantunya
melepas sepatu bot. Gadis itu berlutut menghadap ranjang. Sang senator terus
menatapnya penuh pikiran, dan ketika ia sedang melepaskan tali sepatu, ia
bertanya-tanya siapa di antara mereka yang akhirnya akan mendapat kesialan dari
pertemuan itu.
“Kau masih anak-anak,” katanya.
“Jangan percaya itu,” jawabnya. “Aku sembilan
belas tahun bulan April nanti.”
Sang senator tertarik. “Tanggal berapa?”
“Sebelas,” katanya.
Sang senator merasa sedikit lebih baik. “Kita
sama-sama Aries,” katanya. Lalu sambil tersenyum ia menambahkan, “Itu zodiak
kesendirian.”
Laura Farina tidak memerhatikan karena ia tak
tahu harus berbuat apa dengan sepatu bot itu. Sang senator sendiri tidak tahu
harus berbuat apa dengan Laura Farina, karena ia tidak terbiasa dengan hubungan
cinta yang datang tiba-tiba, dan selain itu, ia tahu bahwa kejadian yang satu
ini berawal dari sesuatu yang tak terhormat.
Hanya untuk memberi dirinya waktu berpikir, ia
meraih Laura Farina erat-erat di antara kedua lututnya, memeluk pinggangnya,
lalu berbaring telentang di ranjang. Saat itu ia menyadari bahwa gadis itu
telanjang di balik gaunnya, karena tubuhnya menguar wangi gelap seperti hewan
hutan, namun jantungnya ketakutan dan kulitnya dingin oleh keringat yang
seperti es.
“Tak ada yang mencintai kita,” ia mengeluh
pelan.
Laura Farina mencoba mengatakan sesuatu, tetapi
udara yang ia punya hanya cukup untuk bernapas. Ia membaringkannya di sisinya
untuk membantunya, ia mematikan lampu, dan ruangan pun berada dalam
bayang-bayang mawar itu. Ia menyerahkan dirinya kepada belas kasihan nasibnya.
Sang senator membelainya perlahan, mencari dirinya dengan tangan, hampir tanpa
menyentuh, tetapi ketika ia menduga akan menemukan dirinya, ia justru
bersentuhan dengan sesuatu yang keras seperti besi yang menghalangi.
“Apa yang kau punya di situ?”
“Sebuah gembok,” katanya.
“Apa-apaan ini!” seru sang senator dengan
marah, dan ia pun menanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah ia ketahui. “Di mana
kuncinya?”
Laura Farina menarik napas lega. “Ayahku yang
menyimpannya,” jawabnya. “Dia menyuruhku mengatakan bahwa kau harus mengirim
seseorang untuk mengambilnya, dan mengirim bersamanya sebuah janji tertulis
bahwa kau akan membereskan urusannya.”
Sang senator menegang. “Bajingan kodok,”
gumamnya penuh kejengkelan. Lalu ia memejamkan mata untuk menenangkan diri dan
bertemu dirinya sendiri dalam kegelapan. Ingatlah, ia mengingat, bahwa entah
kau atau orang lain, takkan lama lagi kau akan mati, dan takkan lama lagi
namamu pun takkan tersisa.
Ia menunggu gemetar itu berlalu.
“Katakan satu hal padaku,” tanyanya kemudian.
“Apa yang pernah kau dengar tentang aku?”
“Kau ingin yang benar-benar jujur dari Tuhan?”
“Yang jujur dari Tuhan.”
“Baiklah,” Laura Farina memberanikan diri,
“mereka bilang kau lebih buruk dari yang lain karena kau berbeda.”
Sang senator tidak tersinggung. Ia tetap diam
lama dengan mata terpejam, dan ketika ia membukanya lagi, ia tampak seperti
baru kembali dari naluri yang paling tersembunyi.
“Ah, persetan,” akhirnya ia memutuskan.
“Katakan pada ayahmu yang brengsek itu bahwa aku akan membereskan urusannya.”
“Kalau kau mau, aku bisa mengambil kuncinya
sendiri,” kata Laura Farina.
Sang senator menahannya. “Lupakan kuncinya,”
katanya, “dan tidur sebentar denganku. Enak rasanya bersama seseorang ketika
kau begitu sendirian.”
Lalu ia meletakkan kepalanya di bahunya,
sementara matanya terpaku pada mawar itu. Sang senator memeluk pinggangnya,
menyembunyikan wajahnya di ketiak gadis yang beraroma hewan hutan, dan menyerah
pada ketakutan.
Enam bulan dan sebelas hari kemudian ia akan
mati dalam posisi yang sama, terhina dan ditolak karena skandal publik dengan
Laura Farina, dan menangis penuh kemarahan karena harus mati tanpa dirinya.
.jpg)