Cerpen Terjemahan Entri 33
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Seorang Lelaki Sangat Tua dengan Sayap-sayap Raksasa: Sebuah
Dongeng untuk Anak-anakGabriel García Márquez
Pada hujan hari ketiga, mereka telah membunuh
begitu banyak kepiting di dalam rumah sehingga Pelayo harus menyeberangi halaman
rumahnya yang basah kuyup dan membuang kepiting-kepiting itu ke laut, sebab
bayi mereka yang baru lahir demam sepanjang malam dan mereka mengira
penyebabnya adalah bau busuk itu. Dunia telah muram sejak hari Selasa. Laut dan
langit menjelma satu kesatuan kelabu seperti abu, dan pasir pantai yang pada
malam-malam Maret berkilau seperti serbuk cahaya telah berubah menjadi adukan
lumpur dan kerang busuk. Cahaya begitu lemah pada tengah hari sehingga ketika
Pelayo kembali ke rumah setelah membuang kepiting, ia hampir tak bisa melihat
apa yang bergerak dan merintih di ujung halaman belakang. Ia harus mendekat
sangat dekat untuk melihat bahwa itu adalah seorang lelaki tua, lelaki yang
sangat tua, terbaring telungkup di lumpur, yang meskipun berusaha sekuat tenaga
tetap tak mampu bangkit, terhalang oleh sayapnya yang luar biasa besar.
Ketakutan oleh pemandangan yang bak mimpi buruk
itu, Pelayo berlari memanggil Elisenda, istrinya, yang sedang menempelkan
kompres pada bayi yang sakit, dan ia mengajaknya ke belakang rumah. Mereka
berdua menatap tubuh yang terjatuh itu dalam kebisuan yang terpukau itu. Lelaki
itu berpakaian seperti pemungut rongsokan. Hanya tersisa beberapa helai rambut
pudar di tengkoraknya yang botak dan hanya sedikit gigi di mulutnya, dan
kondisi menyedihkannya bagai seorang buyut yang basah kuyup, menghapus segala kesan
keagungan yang mungkin pernah ia miliki. Sayap-sayap burung nazarnya yang
besar, kotor, dan setengah copot terjerat selamanya di dalam lumpur. Mereka
menatapnya begitu lama dan begitu dekat hingga Pelayo dan Elisenda segera
mengatasi rasa terkejut mereka dan pada akhirnya merasa seakan-akan lelaki itu
tidak asing. Lalu mereka memberanikan diri bicara kepadanya, dan ia menjawab
dalam dialek yang tak dapat dipahami dengan suara keras seorang pelaut. Dengan
demikian, mereka mengabaikan saja keberadaan sayap itu dan dengan cukup cerdik
menyimpulkan bahwa ia adalah seorang yang terdampar sendirian dari kapal asing
yang karam diterjang badai. Namun demikian, mereka memanggil seorang perempuan
tetangga yang tahu segala hal tentang hidup dan mati untuk melihatnya, dan
hanya dengan sekali pandang ia menunjukkan kekeliruan mereka.
"Itu seorang malaikat," katanya
kepada mereka. "Ia pasti sedang datang untuk menjemput si bayi, tetapi
malang, ia sudah begitu tua hingga hujan menjatuhkannya."
Keesokan harinya, semua orang telah tahu bahwa
seorang malaikat berdaging dan berdarah ditahan di rumah Pelayo. Bertentangan
dengan pendapat perempuan tetangga yang bijak itu, yang percaya bahwa malaikat
pada masa itu adalah para penyintas buron dari sebuah konspirasi rohani, mereka
tidak tega memukulnya sampai mati. Pelayo mengawasinya sepanjang sore dari
dapur, bersenjatakan tongkat juru sita, dan sebelum tidur ia menyeret lelaki
itu keluar dari lumpur dan mengurungnya bersama ayam-ayam di kandang kawat. Pada
tengah malam, ketika hujan berhenti, Pelayo dan Elisenda masih membunuh
kepiting. Tak lama kemudian bayi itu terbangun tanpa demam dan dengan nafsu
makan. Saat itu mereka merasa murah hati dan memutuskan untuk menaruh sang
malaikat di atas rakit dengan air tawar dan bekal untuk tiga hari, lalu
menyerahkannya pada nasibnya di laut lepas. Tetapi ketika mereka keluar ke
halaman dengan cahaya pertama fajar, mereka mendapati seluruh warga sekitar
telah berkumpul di depan kandang ayam, bersenang-senang dengan sang malaikat
tanpa sedikit pun rasa hormat, melemparkan makanan kepadanya melalui
celah-celah kawat seolah-olah ia bukan makhluk adikodrati, melainkan hewan
sirkus.
Pastor Gonzaga tiba sebelum pukul tujuh,
terkejut oleh kabar yang ganjil itu. Pada saat itu, para penonton yang kurang
sembrono dibanding mereka yang datang saat fajar telah berdatangan dan sedang
menyusun berbagai dugaan tentang masa depan si tawanan. Yang paling polos di
antara mereka mengira bahwa lelaki itu harus diangkat menjadi wali dunia. Yang
lebih tegas merasa bahwa ia harus dinaikkan pangkat menjadi jenderal bintang
lima agar dapat memenangkan semua perang. Beberapa visioner berharap ia dapat dijadikan
pejantan untuk menurunkan ras manusia bersayap yang bijaksana, yang dapat
mengurus alam semesta. Namun Pastor Gonzaga yang sebelum menjadi imam adalah
seorang penebang kayu yang kekar berdiri di dekat kawat itu, meninjau kembali
katekismusnya sekejap, dan meminta mereka membuka pintu agar ia dapat melihat
dari dekat lelaki malang itu, yang lebih mirip seekor ayam raksasa yang renta
di antara ayam-ayam yang terpukau.
Ia berbaring di sudut, mengeringkan sayapnya
yang terbuka di bawah sinar matahari, di antara kulit-kulit buah dan sisa
sarapan yang dilemparkan para orang yang bangun-pagi kepadanya. Asing terhadap
segala ketakpantasan dunia, ia hanya mengangkat mata tuanya yang kuno dan
menggumamkan sesuatu dalam dialeknya ketika Pastor Gonzaga masuk ke kandang
ayam dan menyapanya dengan bahasa Latin. Sang pastor mulai curiga bahwa ia
adalah seorang penipu ketika melihat bahwa lelaki itu tidak memahami bahasa
Tuhan atau tahu bagaimana menyapa para pelayan-Nya. Lalu ia menyadari bahwa
dari jarak dekat lelaki itu tampak terlalu manusiawi: ia berbau luar ruang yang
tak tertahankan, bagian bawah sayapnya dipenuhi parasit, dan bulu-bulu utamanya
telah rusak oleh angin duniawi, dan tak satupun darinya memenuhi martabat agung
yang selayaknya dimiliki para malaikat. Maka ia keluar dari kandang ayam dan
dalam sebuah khotbah singkat memperingatkan para penasaran tentang bahaya
bersikap mudah percaya. Ia mengingatkan mereka bahwa iblis memiliki kebiasaan
buruk memanfaatkan trik-trik karnaval untuk membingungkan orang-orang lengah.
Ia berpendapat bahwa jika sayap bukan unsur penting untuk membedakan antara
seekor elang dan sebuah pesawat, maka sayap jauh lebih tidak memadai untuk
mengenali malaikat. Namun demikian, ia berjanji akan menulis surat kepada
uskupnya agar sang uskup menulis kepada primatnya agar sang primat menulis
kepada Sri Paus guna memperoleh vonis akhir dari otoritas tertinggi.
Kehati-hatiannya jatuh di hati-hati yang
tandus. Kabar tentang malaikat tawanan itu menyebar begitu cepat sehingga hanya
dalam beberapa jam halaman rumah telah dipenuhi hiruk-pikuk bak pasar, dan
mereka harus memanggil pasukan dengan bayonet terhunus untuk membubarkan
kerumunan yang nyaris merobohkan rumah. Elisenda, yang tulang punggungnya
sampai terpuntir karena terlalu banyak menyapu sampah pasar, kemudian mendapat
ide untuk membuat pagar di halaman dan memungut biaya masuk lima sen bagi siapa
pun yang ingin melihat sang malaikat.
Para penasaran berdatangan dari tempat jauh.
Sebuah karnaval keliling tiba dengan seorang akrobat terbang yang
melayang-layang di atas kerumunan beberapa kali, tetapi tak seorang pun
mengindahkannya sebab sayapnya bukan sayap malaikat, melainkan sayap kelelawar
kosmik. Para penderita paling malang di muka bumi datang mencari kesembuhan:
seorang perempuan miskin yang sejak kecil menghitung detak jantungnya dan telah
kehabisan angka; seorang pria Portugis yang tak bisa tidur karena suara
bintang-bintang mengganggunya; seorang pengidap berjalan dalam tidur yang
bangun di malam hari untuk membetulkan hal-hal yang ia lakukan ketika terjaga;
dan banyak lagi lainnya dengan keluhan yang kurang serius. Di tengah kekacauan
bagai kapal karam yang membuat bumi berguncang itu, Pelayo dan Elisenda bahagia
dalam kelelahan, sebab dalam waktu kurang dari seminggu kamar-kamar mereka
telah penuh sesak dengan uang, dan barisan peziarah yang menunggu giliran untuk
masuk masih membentang hingga melampaui cakrawala.
Sang malaikat adalah satu-satunya yang tidak
mengambil bagian dalam pertunjukannya sendiri. Ia menghabiskan waktunya
berusaha merasa nyaman di sarangnya yang dipinjam, linglung oleh panas neraka
dari lampu minyak dan lilin sakramental yang dipasang sepanjang kawat. Pada
awalnya mereka mencoba memberinya makan kapur barus, yang menurut kearifan
perempuan tetangga yang bijak adalah makanan yang diperuntukkan bagi para
malaikat. Namun ia menolaknya, sama seperti ia menolak santapan kepausan yang
dibawakan para peniten, dan mereka tak pernah tahu apakah itu karena ia memang
malaikat atau karena ia hanyalah lelaki tua yang pada akhirnya tak makan
apa-apa selain bubur terong. Satu-satunya kebajikan supernaturalnya tampaknya
hanyalah kesabaran. Terutama pada hari-hari pertama, ketika ayam-ayam mematuki
dirinya, mencari parasit-parasit bintang yang berkembang biak di sayapnya, dan
para cacat tubuh mencabut bulu-bulunya untuk menyentuh bagian tubuh yang rusak,
bahkan mereka yang paling berbelas kasih melemparinya batu, mencoba membuatnya
bangkit agar mereka dapat melihatnya berdiri. Satu-satunya saat mereka berhasil
membuatnya bereaksi adalah ketika mereka membakar sisi tubuhnya dengan besi
untuk menandai sapi, sebab ia telah begitu lama tidak bergerak sehingga mereka
mengira ia telah mati. Ia terbangun dengan terperanjat, meracau dalam bahasanya
yang hermetik dengan air mata di mata, dan mengepakkan sayapnya dua kali, yang
memunculkan pusaran kotoran ayam dan debu lunar serta embusan kepanikan yang
tampaknya tidak berasal dari dunia ini. Meskipun banyak yang mengira bahwa
reaksinya bukanlah amarah melainkan rasa sakit, sejak saat itu mereka
berhati-hati untuk tidak mengusiknya, sebab kebanyakan memahami bahwa
kepasifannya bukanlah kepasifan makhluk yang bersantai, melainkan kepasifan
sebuah kataklisme yang sedang beristirahat.
Pastor Gonzaga menahan keriangan sembrono
kerumunan itu dengan rumusan-rumusan inspirasi khas pembantu rumah tangga
sementara ia menunggu tibanya keputusan akhir mengenai hakikat sang tawanan.
Namun surat-menyurat dari Roma sama sekali tidak menunjukkan rasa genting.
Mereka menghabiskan waktu untuk mencari tahu apakah si tawanan memiliki pusar,
apakah dialeknya memiliki hubungan apa pun dengan bahasa Aram, berapa kali ia
bisa berdiri di atas ujung sebuah jarum, atau apakah ia sebenarnya tak lain
hanyalah seorang Norwegia bersayap. Surat-surat yang ringkih itu mungkin terus
datang dan pergi sampai akhir zaman jika suatu peristiwa providensial tidak
mengakhiri kesengsaraan sang pastor.
Kebetulan pada hari-hari itu, di antara begitu
banyak atraksi karnaval lainnya, datanglah ke kota sebuah pertunjukan keliling
tentang seorang perempuan yang telah berubah menjadi laba-laba karena tidak
menaati orang tuanya. Harga masuk untuk melihatnya bukan hanya lebih murah
dibandingkan dengan melihat sang malaikat, tetapi para pengunjung juga
diperbolehkan mengajukan segala macam pertanyaan tentang kondisi absurdnya dan
memeriksanya dari atas ke bawah agar tak ada seorang pun yang meragukan
kebenaran kengerian itu. Ia adalah seekor tarantula mengerikan sebesar seekor
domba jantan dan berkepala gadis muram. Namun yang paling memilukan bukanlah
bentuknya yang ganjil itu, melainkan kepedihan tulus ketika ia menceritakan
seluk-beluk malapetakanya. Ketika masih kanak-kanak, ia diam-diam keluar dari
rumah orang tuanya untuk pergi menari, dan ketika ia pulang melalui hutan
setelah menari semalaman tanpa izin, sebuah dentuman guntur dahsyat membelah
langit menjadi dua dan melalui celah itu datang kilatan petir berbau belerang
yang mengubahnya menjadi laba-laba. Satu-satunya makanan yang ia terima adalah
bakso yang dilemparkan ke dalam mulutnya oleh jiwa-jiwa yang murah hati.
Pertunjukan semacam itu, penuh kebenaran manusiawi dan sarat pelajaran
menakutkan, sudah pasti mengalahkan tanpa usaha apa pun tontonan seorang
malaikat congkak yang nyaris tak sudi memandang manusia. Selain itu, sedikit
mukjizat yang disandangkan pada sang malaikat pun memperlihatkan gangguan jiwa
tertentu: seperti orang buta yang tidak mendapatkan kembali penglihatannya
tetapi tumbuh tiga gigi baru; atau si lumpuh yang tidak bisa berjalan tetapi
nyaris memenangkan lotre; atau si kusta yang luka-lukanya justru menumbuhkan
bunga matahari. Mukjizat-mukjizat pelipur itu, yang lebih tampak seperti
olok-olok, telah merusak reputasi sang malaikat ketika perempuan yang berubah
menjadi laba-laba itu akhirnya menghancurkannya sepenuhnya. Begitulah Pastor
Gonzaga sembuh selamanya dari insomnia, dan halaman rumah Pelayo kembali sesepi
masa ketika hujan turun selama tiga hari dan kepiting berjalan di kamar tidur.
Pemilik rumah itu tak punya alasan untuk
berkeluh kesah. Dengan uang yang mereka kumpulkan, mereka membangun sebuah
rumah besar dua lantai dengan balkon dan taman serta jaring tinggi agar
kepiting tak masuk saat musim dingin, dan teralis besi di jendela agar malaikat
pun tak bisa masuk. Pelayo juga membangun peternakan kelinci dekat kota dan
berhenti selamanya dari pekerjaannya sebagai juru sita, dan Elisenda membeli
sepatu satin berhak tinggi serta banyak gaun sutra berkilau pelangi, jenis yang
dikenakan para perempuan paling menawan pada hari Minggu di masa itu. Kandang
ayam adalah satu-satunya yang tidak mendapat perhatian apa pun. Jika sesekali
mereka menyiramnya dengan kreolin dan membakar air mata mur di dalamnya, itu
bukanlah penghormatan kepada sang malaikat melainkan untuk mengusir bau
tumpukan kotoran yang masih bergentayangan di mana-mana seperti hantu dan
sedang mengubah rumah baru itu menjadi rumah tua. Pada awalnya, ketika sang
anak mulai belajar berjalan, mereka berhati-hati agar ia tidak terlalu dekat
dengan kandang ayam. Namun kemudian mereka mulai kehilangan rasa takut dan
terbiasa dengan baunya, dan sebelum anak itu tumbuh gigi keduanya ia telah
masuk ke dalam kandang ayam untuk bermain, di mana kawat-kawatnya mulai rontok.
Sang malaikat tak lebih ramah terhadapnya daripada terhadap manusia lainnya,
tetapi ia menoleransi kelicikan paling cerdik sekalipun dengan kesabaran seekor
anjing tanpa harapan. Keduanya terserang cacar air pada waktu yang sama. Dokter
yang merawat sang anak tidak mampu menahan godaan untuk mendengarkan detak
jantung sang malaikat, dan ia mendapati begitu banyak siulan di jantung dan
begitu banyak bunyi di ginjalnya sehingga rasanya mustahil bagi lelaki itu
untuk hidup. Namun yang paling mengejutkannya adalah logika sayap-sayap itu.
Sayap-sayap itu tampak begitu alami pada tubuh yang sepenuhnya manusiawi
sehingga ia tak bisa mengerti mengapa manusia lain tidak memilikinya juga.
Ketika anak itu mulai bersekolah, sudah cukup
lama sejak matahari dan hujan menyebabkan kandang ayam itu roboh. Sang malaikat
menyeret dirinya ke sana kemari seperti seorang gelandangan sekarat. Mereka
mengusirnya dari kamar tidur dengan sapu, dan sesaat kemudian menemukannya di
dapur. Ia tampak berada di begitu banyak tempat pada saat yang sama sehingga
mereka mulai mengira bahwa ia berlipat ganda, bahwa ia memperbanyak diri di
seluruh rumah, dan Elisenda yang putus asa sekaligus kehilangan akal menjerit bahwa
betapa mengerikannya hidup di neraka yang penuh malaikat itu. Ia hampir tak
mampu makan dan mata antikwarinya telah begitu berkabut sehingga ia berjalan
menabrak tiang-tiang. Yang tersisa padanya hanyalah pipa-pipa telanjang dari
bulu-bulu terakhirnya. Pelayo menyelimutinya dengan sebuah selimut dan
memberinya kebaikan hati untuk tidur di gudang, dan barulah saat itu mereka
menyadari bahwa ia demam pada malam hari, mengigau dengan permainan lidah
seperti orang Norwegia tua. Itulah satu dari sedikit saat mereka benar-benar
cemas, sebab mereka mengira ia akan mati dan bahkan perempuan tetangga yang
bijaksana pun tak mampu memberi tahu apa yang harus dilakukan terhadap malaikat
yang telah mati.
Namun ia tidak hanya bertahan melalui musim
dingin terburuknya, melainkan tampak membaik pada hari-hari cerah pertama. Ia
tetap tak bergerak selama beberapa hari di sudut paling jauh halaman, tempat
tak seorang pun dapat melihatnya, dan pada awal Desember beberapa bulu besar
dan kaku mulai tumbuh pada sayapnya, bulu-bulu mirip orang-orangan sawah, yang
tampak lebih seperti kemalangan lain dari keriput tua. Tetapi ia pasti
mengetahui alasan perubahan-perubahan itu, sebab ia sangat berhati-hati agar
tak seorang pun menyadarinya, agar tak seorang pun mendengar nyanyian pelaut
yang kadang-kadang ia dendangkan di bawah bintang-bintang. Suatu pagi Elisenda
sedang memotong beberapa ikat bawang untuk makan siang ketika sebuah angin yang
terasa seolah datang dari lautan lepas menerobos masuk ke dapur. Lalu ia pergi
ke jendela dan mendapati sang malaikat sedang mencoba terbang untuk pertama
kalinya. Usahanya begitu canggung hingga kuku-kukunya membuka sebuah parit di
kebun sayur, dan ia nyaris merobohkan gudang dengan kepakan kikuknya yang
meleset dari cahaya dan tak mampu mencengkeram udara. Namun ia berhasil juga
naik ke udara. Elisenda mengembuskan napas lega, untuk dirinya sendiri dan
untuk lelaki itu, ketika ia melihat makhluk itu melintasi rumah-rumah terakhir,
menahan dirinya dengan cara entah bagaimana lewat kepakan berisiko seekor
burung nasar pikun. Ia terus memandangnya bahkan setelah selesai memotong
bawang, dan terus memandang sampai tak lagi memungkinkan baginya untuk
melihatnya, sebab pada saat itu ia bukan lagi gangguan dalam hidupnya,
melainkan sebuah titik khayal di cakrawala laut.
.jpg)
.jpg)