Cerpen Terjemahan Entri 11
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
A&PJohn Updike
Tiga gadis masuk ke toko
hanya mengenakan baju renang. Aku berada di kasir nomor tiga, membelakangi
pintu, jadi aku baru menyadarinya ketika mereka sudah berada di dekat rak roti.
Gadis pertama yang menarik perhatianku mengenakan dua potong baju renang
bermotif kotak hijau. Ia agak gemuk, berkulit cokelat, dan punya tubuh lembut
yang tampak manis. Di bagian belakang pahanya ada dua lengkung putih di bawah
pantatnya, bagian yang tampaknya tidak pernah terkena matahari. Aku berdiri
sambil memegang sekotak biskuit HiHo, mencoba mengingat apakah aku sudah
menekan tombol kasirnya atau belum. Aku menekannya lagi, dan pelanggan di
depanku langsung memarahiku. Ia termasuk tipe orang yang selalu memperhatikan
kasir, seorang perempuan tua sekitar lima puluh tahun dengan bedak merah di
pipi dan tanpa alis. Aku tahu hari itu terasa menyenangkan baginya karena
berhasil menangkap kesalahanku. Ia mungkin sudah mengamati kasir selama empat
puluh tahun dan belum pernah melihat kesalahan sebelumnya.
Setelah aku menenangkan
perempuan itu dan memasukkan barang belanjaannya ke kantong, ia mendengus kecil
saat berlalu; andai ia lahir pada masa yang tepat, mungkin sudah dibakar di
Salem, aku menatap lagi ke arah rak roti. Saat itu, ketiga gadis itu sudah
berputar dan kembali berjalan ke arahku di lorong antara kasir dan rak barang
spesial. Mereka tidak membawa troli, bahkan tidak mengenakan alas kaki.
Ada gadis gemuk dengan baju
renang dua potong berwarna hijau terang. Jahitannya masih tajam dan perutnya
masih agak pucat, jadi aku menebak baju itu baru saja dibelinya. Lalu ada satu
lagi, berwajah bulat seperti buah beri, bibirnya mengerucut di bawah hidungnya.
Yang ketiga tinggi, berambut hitam agak kusut, kulitnya kemerahan di bawah
mata, dan dagunya terlalu Panjang, tipe gadis yang oleh perempuan lain disebut
“menarik” atau “berkarakter,” tapi sebenarnya tidak benar-benar cantik. Karena
itulah mungkin mereka menyukainya.
Dan gadis ketiga, yang tidak
setinggi dua lainnya, tampak seperti pemimpin mereka—ratu. Ia berjalan paling
depan, sementara dua gadis lain mengikuti di belakang dengan bahu agak
menunduk. Ratu ini tidak menoleh ke sekeliling; ia berjalan lurus dan pelan,
dengan langkah ringan di atas kaki putih panjangnya. Setiap kali tumitnya
menyentuh lantai, langkahnya tampak hati-hati, seperti sedang menguji permukaan
ubin. Gerakannya tampak sengaja dibuat anggun.
Kau tidak pernah tahu
bagaimana cara kerja pikiran gadis, atau bahkan apakah itu benar-benar
“pikiran.” Tapi jelas, ia yang membujuk dua temannya untuk masuk ke toko ini,
dan sekarang ia sedang menunjukkan caranya: berjalan perlahan dan menjaga
postur tegak.
Ia mengenakan baju renang
berwarna merah muda pudar, atau mungkin krem, dengan tekstur kasar kecil-kecil.
Yang membuatku terpaku adalah tali bajunya yang terlepas dari bahu dan
melingkar longgar di bagian atas lengannya. Karena itu, kain bajunya sedikit
melorot, meninggalkan garis terang di sekitar dada dan bahu yang putih berkilau.
Seandainya tidak ada perbandingan itu, aku mungkin tak tahu bahwa kulit bisa
seputih itu. Dengan tali yang terlepas, tidak ada apa pun antara bagian atas
bajunya dan kepala, hanya dirinya, bidang kulit polos yang berkilau di bawah
lampu. Ia lebih dari sekadar cantik.
Rambutnya berwarna cokelat
muda, memudar karena matahari dan garam laut, digelung sederhana namun mulai
terurai. Wajahnya tampak kaku tapi bersih, jenis wajah yang cocok untuk
seseorang yang berani masuk ke toko dengan tali baju renang dilepaskan. Ia
menegakkan kepala tinggi-tinggi, membuat lehernya tampak panjang keluar dari
bahu putihnya, tapi aku tidak keberatan. Semakin panjang lehernya, semakin
banyak bagian dirinya yang bisa kulihat.
Ia pasti sadar bahwa aku dan
Stokesie di kasir kedua sedang memperhatikannya, tapi ia tidak peduli. Matanya
tetap bergerak menelusuri rak barang, lalu berhenti dan berputar perlahan,
membuat perutku terasa bergetar di balik celemek. Ia berbisik pada dua temannya,
dan mereka mendekat padanya, seperti mencari perlindungan. Lalu ketiganya
berjalan menyusuri lorong berisi makanan kucing, sereal sarapan, makaroni,
beras, kismis, bumbu, selai, spageti, minuman ringan, biskuit, dan kue kering.
Dari kasir ketiga, aku bisa melihat langsung ke arah meja daging, jadi aku
terus mengamati mereka. Gadis gemuk yang berkulit cokelat sempat memegang
biskuit, lalu menaruhnya kembali.
Para pelanggan yang
mendorong troli terlihat terkejut. Mereka berjalan berlawanan arah dengan
gadis-gadis itu, tidak ada rambu “satu arah” memang, tapi jelas alurnya
terganggu. Saat bahu putih Ratu terlihat, beberapa pelanggan tersentak kecil,
namun segera memalingkan pandangan dan terus mendorong troli mereka, seolah
tidak terjadi apa-apa. Aku yakin, bahkan jika ada dinamit meledak di toko ini,
orang-orang akan tetap memilih oatmeal dan menggumam, “Tadi satu lagi, huruf
depannya A… asparagus? Bukan. Oh iya, saus apel!” Begitulah kebiasaan mereka.
Tapi kali ini, kehadiran tiga gadis itu benar-benar membuat suasana berubah.
Beberapa ibu rumah tangga
dengan rambut dipasang rol bahkan menoleh dua kali, memastikan apa yang baru
saja mereka lihat benar-benar nyata.
Kau tahu, melihat gadis
berbikini di pantai itu hal biasa, semua orang sibuk menahan silau matahari.
Tapi melihatnya di dalam toko A&P yang dingin, di bawah lampu neon, di
antara tumpukan barang, sementara kaki mereka telanjang melangkah di lantai
ubin hijau-putih, rasanya aneh sekali.
“Oh, Ayah,” kata Stokesie di
sebelahku, pura-pura lemas.
“Sayang,” kataku menanggapi.
“Peluk aku erat-erat.”
Stokesie sudah menikah dan
punya dua anak, tapi selain itu kami tidak jauh berbeda. Ia berusia dua puluh
dua tahun, sementara aku baru sembilan belas bulan April lalu.
“Sudah selesai?” tanya
Stokesie, dengan nada orang dewasa yang berusaha terdengar bertanggung jawab.
Ia yakin suatu hari nanti akan menjadi manajer, mungkin pada tahun 1990 ketika
toko ini berganti nama menjadi sesuatu seperti Great Alexandrov and
Petrooshki Tea Company atau semacamnya.
Yang ia maksud sebenarnya
adalah: kota kami berjarak lima mil dari pantai, dan di ujung sana ada
perumahan musim panas. Tapi toko kami berada tepat di pusat kota, dan biasanya
para perempuan mengenakan baju atau celana pendek sebelum keluar dari mobil. Lagi
pula, kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu dengan enam anak dan kaki dipenuhi
urat menonjol, jadi mereka sendiri tidak peduli.
Seperti yang kukatakan, toko
kami berada di tengah kota. Dari depan toko, kau bisa melihat dua bank, gereja
besar, toko koran, tiga kantor properti, dan puluhan orang tua berkeliaran di
sepanjang jalan utama karena saluran air rusak lagi. Ini bukan daerah pantai
seperti Cape; kami berada di utara Boston, dan ada orang-orang di kota ini yang
bahkan belum melihat laut selama dua puluh tahun.
Ketiga gadis itu akhirnya
sampai di meja daging dan berbicara dengan McMahon. Ia menunjuk sesuatu, mereka
juga menunjuk, lalu berjalan menjauh dan menghilang di balik tumpukan besar
buah persik kaleng Diet Delight. Yang tersisa hanya McMahon yang berdiri
sambil mengusap mulutnya, memandangi mereka dengan pandangan menilai tubuh. Aku
mulai merasa kasihan pada gadis-gadis itu. Mereka tidak tahu apa-apa; mungkin
hanya iseng.
Sekarang bagian yang katanya
menyedihkan, setidaknya keluargaku bilang begitu, meski aku sendiri tidak
setuju. Toko sedang sepi karena hari Kamis sore, jadi tidak banyak yang bisa
kulakukan selain bersandar di kasir dan menunggu tiga gadis itu muncul lagi.
Suasana toko terasa seperti mesin pinball, dan aku tidak tahu dari lorong mana
mereka akan keluar.
Beberapa menit kemudian
mereka muncul dari ujung sana, melewati rak lampu, piringan hitam obral berisi Caribbean
Six dan Tony Martin Sings, enam pak cokelat batangan, dan mainan
plastik yang dibungkus selofan, mainan yang bahkan bisa rusak hanya karena
dilihat anak-anak. Mereka kembali mendekat. Ratu tetap berjalan paling depan,
memegang sebuah toples abu-abu kecil di tangannya.
Kasir nomor tiga sampai
tujuh kosong, jadi aku bisa melihat jelas ia tampak ragu memilih antara kasirku
dan kasir Stokesie. Tapi seperti biasa, Stokesie mendapat pelanggan tua yang
berjalan terpincang-pincang dengan empat kaleng besar jus nanas. (Aku sering
bertanya-tanya, untuk apa orang-orang itu membeli begitu banyak jus nanas?)
Akhirnya, gadis-gadis itu datang ke kasirku.
Ratu meletakkan toples itu
di meja. Aku memegangnya, dingin sekali. Labelnya bertuliskan Kingfish Fancy
Herring Snacks in Pure Sour Cream, 49 sen. Setelah itu tangannya kosong.
Tidak ada cincin, tidak ada gelang, telanjang seperti diciptakan Tuhan. Aku
penasaran dari mana ia akan mengambil uangnya. Dengan wajah tetap tenang, ia
mengangkat uang satu dolar yang terlipat rapi dari lekukan di tengah bagian
atas bajunya.
Toples itu terasa semakin
berat di tanganku. Sungguh, menurutku itu menggemaskan.
Tapi nasib semua orang mulai
memburuk. Lengel, manajer toko, masuk dari area parkir setelah berdebat dengan
sopir truk pengantar kol, dan hampir masuk ke ruang bertuliskan MANAGER,
tempat ia biasa bersembunyi sepanjang hari. Namun matanya segera menangkap tiga
gadis itu.
Lengel orangnya membosankan,
pengajar Sekolah Minggu di gereja, tapi ia tidak mudah melewatkan sesuatu. Ia
menghampiri mereka dan berkata,
“Gadis-gadis, ini bukan pantai.”
Ratu memerah. Mungkin hanya
karena kulitnya yang sedikit terbakar matahari, tapi kali ini tampak jelas
karena malu. “Ibu saya menyuruh saya membeli satu toples ikan herring,”
katanya. Suaranya membuatku terkejut, datar, lembut, tapi juga terdengar mahal,
seperti gaya bicara orang-orang kelas atas. Cara ia mengucapkan “membeli” dan
“ikan herring” terdengar sangat berkelas.
Tiba-tiba, imajinasiku melayang:
aku seolah masuk ke ruang tamunya. Ayahnya dan pria-pria lain berdiri
mengenakan jas putih dan dasi kupu-kupu. Para perempuan memakai sandal,
mencomot potongan ikan herring di atas tusuk gigi dari nampan besar, sambil
memegang gelas berisi minuman bening dengan irisan zaitun dan daun mint.
Sementara itu, kalau orang
tuaku mengundang tamu, mereka hanya menyajikan limun. Kalau acara dianggap
“berani,” paling-paling ada bir Schlitz dalam gelas tinggi bergambar kartun
lucu.
“Itu tidak apa-apa,” kata
Lengel. “Tapi ini bukan pantai.”
Cara ia mengulang kalimat
itu membuatku ingin tertawa, seolah-olah baru hari itu ia sadar bahwa A&P
bukanlah bukit pasir besar dan dirinya bukan penjaga pantai. Ia tidak suka
melihatku tersenyum, Lengel memang jarang melewatkan apa pun, tapi ia tetap
menatap gadis-gadis itu dengan pandangan dingin khas pengawas Sekolah Minggu.
Kini wajah Ratu benar-benar
merah, bukan karena matahari. Gadis gemuk bermotif kotak, yang sebenarnya lebih
menarik dilihat dari belakang, berkata cepat, “Kami tidak berbelanja, hanya
ingin membeli satu barang.”
“Itu tidak membuat
perbedaan,” jawab Lengel. Dan dari cara ia memandang, aku tahu baru saat itu ia
sadar gadis itu mengenakan baju renang dua potong. “Kami ingin kalian
berpakaian sopan kalau masuk ke sini.”
“Kami sudah berpakaian
sopan,” kata Ratu tiba-tiba, bibir bawahnya menonjol karena marah. Ia baru
ingat posisinya, seorang gadis dari lingkungan kelas ata, dan mungkin merasa
direndahkan oleh orang-orang toko kecil seperti kami.
Mata birunya yang sangat
jernih memantulkan label Fancy Herring Snacks yang masih tergeletak di
meja.
“Gadis-gadis, aku tidak
ingin berdebat dengan kalian,” kata Lengel. “Lain kali, masuklah ke sini dengan
bahu tertutup. Itu sudah menjadi kebijakan toko.”
Ia lalu membalikkan badan. Itulah yang
disebut kebijakan, keputusan orang-orang berkuasa, sementara yang lain hanya
dianggap biang masalah.
Selama itu, para pelanggan
mulai berdatangan dengan troli mereka. Tapi seperti kawanan domba yang melihat
keributan, mereka semua menumpuk di kasir Stokesie, yang membuka kantong kertas
dengan sangat hati-hati seperti sedang mengupas buah persik, agar tidak
melewatkan sepatah kata pun. Aku bisa merasakan keheningan di toko; semua orang
menahan napas, termasuk Lengel, yang akhirnya menoleh padaku dan berkata,
“Sammy, sudah kamu hitung
pembeliannya?”
Aku berpikir sebentar lalu
menjawab, “Belum.” Tapi pikiranku sedang tidak di situ. Tanganku menekan
tombol-tombol mesin kasir: 4, 9, GROC, TOT. Prosesnya lebih rumit dari
yang dikira. Kalau sudah sering dilakukan, bunyi mesin itu seperti lagu pendek
yang punya lirik sendiri. Dalam pikiranku, suaranya seperti:
“Halo (bing), kalian (gung),
orang-orang bahagia (splat)!”
— dan “splat” itu adalah
bunyi laci kasir yang terbuka.
Aku membuka lipatan uang
satu dolar itu dengan hati-hati, bisa kau bayangkan, uang itu baru saja keluar
dari sela dua lekuk paling lembut yang pernah kulihat. Aku menyerahkan uang
kembalian, setengah dolar dan satu sen, ke telapak tangannya yang sempit dan
berwarna merah muda, lalu memasukkan toples ikan herring itu ke dalam kantong
kertas, memelintir bagian atasnya, dan menyerahkannya sambil terus berpikir.
Ketiga gadis itu, dan siapa
pun pasti bisa memakluminya, segera berjalan cepat keluar.
Jadi aku berkata, cukup keras agar
mereka mendengar,
“Aku berhenti.”
Kuharap mereka akan berhenti
sejenak dan melihatku, pahlawan mereka yang tak terduga. Tapi mereka terus
berjalan, melewati pintu otomatis. Sensor menyala, pintu terbuka, dan mereka
melintas menuju mobil mereka di luar. Queenie, si gadis bermotif kotak, dan si
tinggi “Goony-Goony” — yang sebenarnya tidak buruk-buruk amat jika dilihat
baik-baik—semuanya pergi begitu saja, meninggalkanku dengan Lengel yang kini
menaikkan sebelah alisnya.
“Apakah kamu bilang sesuatu,
Sammy?” tanya Lengel.
“Aku bilang, aku berhenti.”
“Aku pikir kamu memang
mengatakannya,” ujarnya datar.
“Kau tidak perlu
mempermalukan mereka.”
“Mereka yang mempermalukan
kita.”
Aku hendak menjawab sesuatu,
tapi yang keluar hanya, “Ah, omong kosong.” Itu ungkapan nenekku, dan aku yakin
beliau akan senang mendengarnya.
“Aku tidak yakin kamu tahu
apa yang sedang kamu lakukan,” kata Lengel pelan.
“Aku tahu, justru kau yang
tidak tahu,” jawabku. Aku melepaskan simpul di belakang celemek, menurunkannya
dari bahu. Beberapa pelanggan yang sedang mengantre di kasirku saling
bertabrakan, seperti babi yang ketakutan di kandang sempit.
Lengel menghela napas. Ia
tampak sangat sabar, tua, dan kelabu. Ia sudah lama menjadi teman orang tuaku.
“Sammy, kau tidak ingin
membuat ayah dan ibumu kecewa,” katanya.
Memang benar, aku tidak
ingin. Tapi menurutku, begitu seseorang memulai sebuah tindakan, akan fatal
kalau tidak menyelesaikannya. Jadi aku melipat celemekku, dengan tulisan Sammy
berwarna merah di saku, menaruhnya di meja, lalu meletakkan dasi kupu-kupu di
atasnya. (Dasi itu milik toko, kalau kau penasaran.)
“Kau akan menyesal seumur
hidup,” kata Lengel.
Aku tahu itu juga benar.
Tapi mengingat bagaimana ia membuat gadis cantik itu memerah, hatiku terasa
panas dan sempit. Aku menekan tombol No Sale, mesin berbunyi “pee-pul”,
dan laci kasir terbuka.
Untungnya, ini musim panas.
Aku bisa keluar tanpa repot memakai jas atau sepatu bot. Aku berjalan santai ke
arah pintu otomatis dengan kemeja putih yang disetrika ibuku semalam. Pintu
terbuka, dan sinar matahari menari-nari di atas aspal.
Aku menoleh mencari tiga
gadis itu, tapi tentu saja mereka sudah pergi. Yang tersisa hanya seorang ibu
muda berteriak pada anak-anaknya yang menangis karena tidak dibelikan permen,
di dekat mobil Falcon berwarna biru muda.
Aku menatap ke dalam toko
lewat jendela besar. Di balik tumpukan pupuk gambut dan kursi taman aluminium
yang dipajang di trotoar, kulihat Lengel berdiri di posisiku, memeriksa
pelanggan satu per satu seperti biasa. Wajahnya tampak abu-abu gelap, punggungnya
kaku, seolah baru disuntik besi.
Saat itu, perutku terasa
berat. Aku sadar, betapa kerasnya dunia yang harus kuhadapi mulai sekarang.
.jpg)