Cerpen Terjemahan Entri 24
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Sebuah
Kasus Menyedihkan
James Joyce
Tuan James Duffy tinggal di
Chapelizod karena ia ingin tinggal sejauh mungkin dari kota tempat ia menjadi
warga, dan karena ia menganggap semua pinggiran kota Dublin lain terlalu
rendah, modern, dan palsu. Ia tinggal di sebuah rumah tua yang muram. Dari jendelanya
ia bisa melihat ke arah bekas penyulingan yang tidak terpakai, atau ke atas
sepanjang sungai dangkal tempat Dublin berdiri.
Dinding tinggi ruangannya
kosong dari gambar. Ia sendiri yang membeli setiap perabot di ruangan itu:
sebuah ranjang besi hitam, tempat cuci dari besi, empat kursi rotan, rak baju,
wadah arang, perapian dengan alatnya, serta sebuah meja persegi tempat terletak
meja tulis ganda. Sebuah rak buku dibuat di ceruk dengan papan kayu putih.
Ranjang itu berlapis sprei putih dan di ujungnya terletak permadani hitam dan
merah. Sebuah cermin tangan kecil tergantung di atas tempat cuci, dan pada
siang hari satu-satunya hiasan perapian adalah lampu dengan peneduh putih.
Buku-buku di rak kayu putih
tersusun dari bawah ke atas sesuai tebalnya. Satu set lengkap karya Wordsworth
berdiri di ujung rak paling bawah, dan sebuah salinan Katekismus Maynooth,
dijilid kain penutup buku catatan, berada di ujung rak paling atas. Alat tulis
selalu tersedia di meja. Di dalam meja tersimpan naskah terjemahan Michael Kramer karya Hauptmann, dengan
petunjuk panggung ditulis tinta ungu, dan setumpuk kecil kertas dijepit peniti
kuningan. Di kertas-kertas itu sesekali tertulis sebuah kalimat, dan dalam satu
momen ironis, iklan Bile Beans
ditempelkan di halaman pertama. Saat tutup meja dibuka, keluar aroma samar
pensil kayu cedar baru, atau sebotol lem, atau apel busuk yang mungkin
tertinggal dan terlupakan di sana.
Tuan Duffy membenci segala
sesuatu yang menunjukkan kekacauan fisik maupun mental. Seorang tabib abad
pertengahan mungkin akan menyebutnya temperamen. Wajahnya, menampilkan seluruh
kisah hidup, berwarna cokelat kusam seperti jalanan Dublin. Rambut hitam kering
tumbuh di kepala panjang dan agak besar, dan kumis kecokelatan tak sepenuhnya
menutupi mulutnya yang tak ramah. Tulang pipinya menambah kesan keras pada
wajah; tapi matanya tidak menunjukkan kekerasan. Dari balik alis yang
kecokelatan, matanya selalu waspada untuk menyambut naluri baik orang lain,
meski sering kecewa. Ia hidup agak terpisah dari tubuhnya, menilai tindakannya
sendiri dengan kaca mata ragu.
Ia punya kebiasaan
autobiografis aneh. Dari waktu ke waktu ia menyusun kalimat pendek tentang diri
sendiri, dengan subjek orang ketiga dan predikat lampau. Ia tak pernah
bersedekah pada pengemis, dan ia berjalan tegap, membawa tongkat kayu hazel
yang kokoh.
Bertahun-tahun ia bekerja
sebagai kasir di sebuah bank swasta di Baggot Street. Setiap pagi ia naik trem
dari Chapelizod. Saat siang ia pergi ke Dan Burke’s untuk makan siang, sebotol
bir dan biskuit arrowroot. Pukul empat sore ia bebas, makan malam di rumah
makan di George’s Street, tempat ia merasa aman dari kalangan muda kaya Dublin
dan di mana menu sederhana terasa jujur. Malam hari ia habiskan di depan piano
milik ibu kos, atau berjalan-jalan di pinggir kota.
Kesukaannya pada musik Mozart
kadang membawanya ke opera atau konser; itulah satu-satunya hiburan dalam
hidupnya. Ia tidak memiliki teman dekat, sahabat, gereja, atau keyakinan. Ia
menjalani hidup rohaninya tanpa berhubungan dengan orang lain, hanya mengunjungi
kerabat saat Natal dan mengantar mereka ke pemakaman saat meninggal. Ia
menjalankan dua kewajiban sosial itu demi menjaga martabat lama, tanpa memberi
lebih pada adat yang mengatur kehidupan warga kota.
Ia pernah berpikir bahwa
dalam keadaan tertentu ia akan merampok bank tempatnya bekerja, tetapi karena
keadaan itu tak pernah terjadi, hidupnya berjalan mulus bagai kisah tanpa
petualangan.
Suatu malam, ia duduk di
samping dua wanita di Rotunda. Ruangan itu sepi, penonton sedikit, dan
suasananya memberi pertanda kegagalan. Wanita di sebelahnya menoleh sekali dua
kali ke arah kursi kosong, lalu berkata:
“Sayang sekali malam ini
penontonnya sepi! Kasihan penyanyi harus bernyanyi untuk bangku kosong.”
Ia menangkap ucapan itu
sebagai ajakan bicara. Ia terkejut karena wanita itu tampak sedikit canggung.
Sambil berbincang, ia berusaha merekam wajahnya dalam ingatan. Ketika tahu
bahwa gadis muda di sebelah wanita itu adalah putri wanita itu, ia menilai wanita
itu hanya setahun atau dua tahun lebih muda darinya.
Wajahnya, yang pasti dulunya
cantik, masih menyimpan kecerdasan. Bentuknya oval dengan garis-garis tegas.
Matanya biru tua dan mantap. Pandangan itu mula-mula menantang, lalu terganggu
oleh jatuhnya pupil ke dalam iris, memperlihatkan sesaat watak yang peka. Pupil
itu segera menguasai kembali, sifat setengah terbuka itu jatuh lagi di bawah
kendali kehati-hatian. Jaket astrakhan yang membalut dadanya semakin menegaskan
nada tantangan itu.
Beberapa minggu kemudian ia
bertemu lagi dengannya di sebuah konser di Earlsfort Terrace. Ia memanfaatkan
momen ketika perhatian putrinya teralih. Wanita itu beberapa kali menyebut
suaminya, tetapi dengan nada yang tidak memberi peringatan. Namanya Nyonya
Sinico. Kakek buyut suaminya berasal dari Leghorn. Suaminya adalah kapten kapal
dagang yang berlayar antara Dublin dan Belanda. Mereka memiliki seorang anak.
Pertemuan ketiga secara
kebetulan memberinya keberanian untuk membuat janji. Wanita itu datang. Itu
menjadi awal dari banyak pertemuan. Mereka selalu bertemu malam hari dan
memilih tempat-tempat sepi untuk jalan bersama. Namun Tuan Duffy tidak suka
cara sembunyi-sembunyi. Karena mereka harus bertemu diam-diam, ia memaksa
wanita itu mengundangnya ke rumah.
Kapten Sinico justru
mendukung kunjungan itu karena mengira yang dipertaruhkan adalah nasib
putrinya. Ia sudah begitu tulus menghapus istrinya dari galeri kesenangannya,
sehingga ia tak menduga ada orang lain tertarik pada istrinya. Karena suaminya
sering pergi dan putrinya sibuk memberi pelajaran musik, Tuan Duffy sering
punya kesempatan menikmati kebersamaan dengan Nyonya Sinico.
Baik dirinya maupun Nyonya
Sinico tak pernah mengalami hubungan semacam itu sebelumnya, dan tak seorang
pun dari mereka menyadari adanya ketidaksesuaian. Sedikit demi sedikit, ia
menjerat pikirannya dengan pikiran wanita itu. Ia meminjaminya buku, memberinya
gagasan, membagi kehidupan intelektualnya. Wanita itu menyimak semua.
Kadang,wanita itu
menceritakan sebagian kecil hidupnya. Dengan perhatian hampir keibuan, ia
mendesak agar Tuan Duffy membiarkan sifat alaminya terbuka penuh. Ia menjadi
pendengarnya. Ia menceritakan bahwa ia pernah terlibat dalam pertemuan Partai
Sosialis Irlandia, merasa dirinya tokoh unik di tengah segelintir buruh serius
di loteng yang diterangi lampu minyak redup.
Ketika partai itu pecah
menjadi tiga kelompok dengan pemimpin masing-masing dan markas masing-masing,
ia berhenti hadir. Diskusi kaum buruh itu, katanya, terlalu takut-takut;
perhatian mereka pada soal upah terlalu berlebihan. Ia merasa mereka terlalu keras
kepala sebagai kaum realis dan mereka benci pada ketelitian yang lahir dari
waktu luang yang tak mereka miliki. Ia berkata pada Nyonya Sinico bahwa
revolusi sosial tidak akan mungkin mengguncang Dublin selama beberapa abad.
“Kenapa kau tidak menuangkan
pemikiranmu lewat tulisan?” tanya Nyonya Sinico.
“Untuk apa?” tanyanya dengan
nada sinis. “Apakah untuk bersaing dengan para pengumbar kata yang tak sanggup
berpikir konsisten lebih dari satu menit? Atau untuk menyerahkan diri pada
kritik kelas menengah tumpul yang menyerahkan moralitasnya pada polisi dan
kesenian indahnya pada impresario?”
Ia sering pergi ke pondok
kecil Nyonya Sinico di pinggiran Dublin. Sering kali mereka menghabiskan malam
hanya berdua. Sedikit demi sedikit, ketika mereka sama-sama merasa terikat,
mereka mulai membicarakan hal-hal yang lebih pribadi. Kebersamaan itu seperti
tanah hangat bagi bunga asing.
Berkali-kali Nyonya Sinico
membiarkan malam turun tanpa menyalakan lampu. Ruangan gelap tertutup kesunyian
mereka, musik yang masih bergetar di telinga, dan semua itu menyatukan mereka.
Persatuan itu mengangkatnya, mengikis sisi kasarnya, dan menghangatkan
kehidupan batinnya. Kadang ia menikmati suara sendiri. Ia merasa dalam
pandangan wanita itu ia naik ke tingkat malaikat.
Namun, semakin ia mengikat
jiwa penuh gairah wanita itu, ia justru mendengar suara asing tak pribadi—suara
dirinya sendiri—yang menegaskan kesendirian jiwa yang tak dapat disembuhkan:
kita tak bisa menyerahkan diri; kita milik kita sendiri.
Akhir dari percakapan itu
tiba-tiba terjadi suatu malam ketika Nyonya Sinico menunjukkan tanda-tanda
kegembiraan luar biasa. Ia meraih tangan Tuan Duffy dengan penuh gairah dan
menekankannya ke pipinya.
Tuan Duffy terkejut. Tafsir
wanita itu terhadap kata-katanya membuatnya kecewa. Ia tidak mengunjunginya
selama seminggu, lalu menulis surat memintanya bertemu. Karena ia tak ingin
pertemuan mereka dirusak oleh suasana pengakuan yang gagal, mereka memilih
bertemu di sebuah toko kue kecil dekat Parkgate.
Musim gugur itu dingin.
Namun, meski udara menusuk, mereka berjalan berjam-jam menyusuri jalan-jalan
taman. Mereka sepakat untuk mengakhiri hubungan itu.
“Setiap ikatan,” kata Tuan
Duffy, “hanyalah ikatan menuju derita.”
Ketika keluar dari taman,
mereka berjalan dalam diam menuju trem. Di sana, wanita itu mulai gemetar
hebat. Khawatir ia akan jatuh pingsan, Tuan Duffy segera pamit dan
meninggalkannya.
Beberapa hari kemudian ia
menerima sebuah bungkusan berisi buku-buku dan musiknya.
Empat tahun berlalu. Tuan
Duffy kembali pada kehidupannya yang rata. Kamarnya masih menunjukkan
keteraturan pikirannya. Beberapa lembar lagu baru menumpuk di atas piano ruang
bawah, dan di rak buku berdiri dua karya Nietzsche: Demikianlah Sabda Zarathustra
dan Ilmu Kegembiraan. Ia jarang menulis lagi pada lembar-lembar kertas di
mejanya.
Salah satu kalimat yang ia
tulis, dua bulan setelah pertemuan terakhirnya dengan Nyonya Sinico, berbunyi,
“Cinta antara pria dan pria mustahil karena tidak boleh ada hubungan seksual,
dan persahabatan antara pria dan wanita mustahil karena harus ada hubungan
seksual.”
Ia menjauh dari konser supaya
tidak bertemu dengannya. Ayahnya meninggal; rekan junior di bank pensiun.
Namun, tiap pagi ia tetap naik trem menuju kota, dan tiap malam berjalan pulang
setelah makan sederhana di George’s Street sambil membaca koran sore sebagai
pencuci mulut.
Suatu malam, ketika hendak
menyuapkan daging kornet dan kubis ke mulut, tangannya berhenti. Matanya
tertumbuk pada sebuah paragraf di koran sore yang ia sangga dengan botol air.
Ia meletakkan potongan daging kembali ke piring, membaca paragraf itu dengan
saksama, lalu meneguk segelas air. Ia geser piring ke samping, lipat koran di
depan siku, dan membaca ulang paragraf itu berkali-kali.
Kubis di piring mulai
mengendapkan lemak putih dingin. Pelayan perempuan mendekat dan bertanya apakah
makanannya tidak enak. Ia menjawab singkat bahwa makanannya baik, lalu berusaha
menyuapkan beberapa sendok dengan susah payah. Setelah itu ia bayar tagihan dan
keluar.
Ia berjalan cepat menembus
senja bulan November. Tongkat hazel yang kokoh menghentak tanah secara teratur.
Ujung koran Mail menyembul dari saku
samping mantel ketatnya.
Di jalan sepi dari Parkgate
menuju Chapelizod, langkahnya melambat. Tongkatnya menghentak tanah lebih
pelan, napasnya keluar tersengal, hampir seperti desahan, mengembun di udara
musim dingin.
Sampai di rumah, ia langsung
ke kamar tidur. Dari saku ia keluarkan koran itu dan kembali membaca paragraf
tadi di bawah cahaya redup jendela. Ia membaca dalam bisu, bibirnya bergerak
seperti imam yang membaca doa secreto.
Isi paragraf itu:
Kematian Seorang Wanita Di
Sydney Parade, Sebuah Kasus Menyedihkan
Hari ini di Rumah Sakit Kota
Dublin, Wakil Koroner (menggantikan Tuan Leverett) mengadakan penyelidikan atas
jenazah Nyonya Emily Sinico, berusia empat puluh tiga tahun, yang tewas di
Stasiun Sydney Parade tadi malam.
Bukti menunjukkan bahwa
almarhum, ketika mencoba menyeberang rel, tertabrak kereta yang melaju pada
pukul sepuluh dari Kingstown. Ia menderita luka parah di kepala dan sisi kanan
tubuh, yang menyebabkan kematian.
James Lennon, masinis,
bersaksi bahwa ia bekerja di perusahaan kereta selama lima belas tahun. Setelah
mendengar peluit penjaga, ia menjalankan kereta. Satu-dua detik kemudian ia
hentikan karena teriakan keras. Kereta berjalan pelan.
P. Dunne, porter kereta,
bersaksi bahwa saat kereta hendak berangkat, ia melihat seorang wanita mencoba
menyeberang rel. Ia berlari dan berteriak, tapi sebelum sempat menolong, wanita
itu tertabrak bemper kereta dan jatuh.
Seorang juri bertanya, “Anda
melihat wanita itu jatuh?”
Saksi menjawab, “Ya.”
Sersan Polisi Croly bersaksi
bahwa ketika ia tiba, almarhum sudah terbaring di peron, tampak meninggal. Ia
memerintahkan jenazah dibawa ke ruang tunggu menunggu ambulans.
Konstabel 57 membenarkan.
Dr. Halpin, dokter bedah muda
di Rumah Sakit Kota Dublin, bersaksi bahwa almarhum mengalami patah dua tulang
rusuk bawah serta memar berat di bahu kanan. Bagian kanan kepala juga cedera
akibat jatuh. Menurutnya, luka itu tidak cukup untuk menyebabkan kematian pada
orang normal. Ia berpendapat kematian mungkin disebabkan oleh syok dan
kegagalan mendadak fungsi jantung.
Tuan H. B. Patterson Finlay,
mewakili perusahaan kereta, menyatakan penyesalan mendalam atas kecelakaan itu.
Perusahaan, katanya, selalu hati-hati mencegah orang menyeberang rel selain
lewat jembatan, baik dengan papan peringatan maupun pintu pagar pegas di
perlintasan. Almarhum terbiasa menyeberang rel malam-malam dari peron ke peron,
dan dengan melihat keadaan lain dalam kasus itu, ia yakin petugas kereta tidak
bersalah.
Kapten Sinico, dari Leoville,
Sydney Parade, suami almarhum, juga bersaksi. Ia mengatakan bahwa almarhum
adalah istrinya. Saat kecelakaan terjadi, ia tidak berada di Dublin karena baru
tiba pagi itu dari Rotterdam. Mereka telah menikah dua puluh dua tahun dan
hidup bahagia sampai dua tahun terakhir ketika istrinya mulai berlebihan dalam
kebiasaan minum.
Nona Mary Sinico bersaksi
bahwa akhir-akhir ini ibunya sering keluar malam untuk membeli minuman keras.
Ia berkali-kali menasihati dan sempat membujuknya ikut sebuah perkumpulan. Ia
sendiri tidak di rumah hingga satu jam setelah kecelakaan.
Juri mengeluarkan putusan
sesuai keterangan medis dan membebaskan Lennon dari kesalahan.
Wakil Koroner menyebut ini
kasus yang sangat menyedihkan, menyampaikan simpati kepada Kapten Sinico dan
putrinya, serta mendesak perusahaan kereta mengambil langkah tegas agar
kecelakaan serupa tidak terulang. Tidak ada yang dipersalahkan.
Tuan Duffy melipat koran.
Pikirannya terguncang. Nyonya Sinico telah mati.
Dunia yang telah ia
singkirkan dari kehidupannya kini benar-benar lenyap. Ia membaca ulang koran
itu. Keterangan-keterangan kasar para saksi terasa menusuk. Bagaimana bisa
wanita yang dulu begitu anggun, penuh gairah, kini berakhir demikian hina, mati
di rel kereta, dicap sebagai peminum, sebagai orang salah langkah.
Ia merasa jijik, seakan
dirinya ikut bersalah. Dialah yang menolak jembatan kecil antara mereka. Dialah
yang meninggalkannya dalam kesepian. Dialah yang melemparkannya pada hidup
sunyi tanpa cinta, hingga akhirnya terjerumus pelarian di botol.
Ia berdiri, mondar-mandir di
kamar. Kesepian melilit dadanya. Ia sadar, selama ini ia tidak hanya menolak
cinta Nyonya Sinico, tetapi juga menolak bagian dari dirinya sendiri. Ia keluar
rumah, berjalan cepat ke arah Phoenix Park. Malam itu sunyi. Rumput lembap,
udara dingin menempel di pipinya. Ia mendaki sedikit bukit, lalu berhenti.
Dari ketinggian itu, ia
melihat lampu-lampu kota Dublin berkelip jauh di bawah, seperti cahaya yang
dingin dan asing. Ia merasa benar-benar terputus dari dunia. Terasing, tak
berteman, tak berkeluarga, tanpa ikatan apa pun.
Kegelapan melingkupinya. Ia
menatap sekeliling. Tak ada seorang pun. Hanya ia, sendirian.
.jpg)