Cerpen Terjemahan Entri 25
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Air Mata untuk DijualSamira Azzam
Aku tidak tahu bagaimana mungkin
Khazna bisa sekaligus menjadi seorang peratap kematian dan perias pengantin.
Aku sudah banyak mendengar tentang dirinya dari ibuku dan teman-temannya
sebelum aku mendapat kesempatan melihatnya untuk pertama kali, ketika salah
satu tetangga kami meninggal. Belum genap lima puluh, lelaki ini sudah habis
dilalap penyakit, jadi tak mengherankan ketika salah satu tetangga perempuan
berkata kepada ibuku, tanpa kesedihan, “Dia telah wafat, Umm Hasan. Semoga
kemalangan tak menimpa kita.”
Aku merasa bahwa aku akan
mengalami hari yang penuh warna dan penuh kegembiraan, dan itu membuatku
senang. Aku bisa memanfaatkan kedudukanku sebagai tetangga keluarga almarhum
dan menyelinap masuk bersama anak-anak lelaki dan perempuan lain di gang untuk
menatap wajah pucat si mati, melihat istri dan putrinya menangisinya, serta
melihat para perempuan peratap menepuk tangan mereka secara ritmis sambil
melantunkan ungkapan-ungkapan yang telah mereka hafal.
Aku menggandeng tangan salah satu
teman perempuanku yang masih kecil, dan bersama-sama kami berhasil menyelinap
di antara kaki para pelayat dan menemukan tempat yang tak jauh dari pintu,
tempat banyak anak lain telah berkumpul, sama ingin tahunya seperti kami untuk
berkenalan dengan kematian dan mengalami beberapa petualangan. Di sanalah kami
berdiri, sampai sebuah tangan besar mendorong kami ke samping.
Itu adalah tangan Khazna, berdiri
tinggi dan besar di ambang pintu. Ia cepat-cepat memasang raut penuh duka,
merentangkan jari-jarinya dan membuka dua kepangannya, lalu mengeluarkan
sehelai kain kepala hitam dari sakunya dan mengikatkannya di dahinya. Ia
mengeluarkan teriakan mengerikan, yang membuat hati kecilku dipenuhi ketakutan,
dan memaksa dirinya menerobos para perempuan menuju sudut tempat sebuah bejana
berisi cairan nila. Ia menggosok wajah dan tangannya dengan cairan itu, membuat
dirinya tampak seperti topeng-topeng yang digantung para pedagang di toko
mereka saat festival. Lalu ia kembali dan berdiri di sisi kepala si mati,
mengeluarkan teriakan lagi, dan mulai memukul-mukul dadanya dengan keras serta
menggulung lidahnya, mengucapkan kata-kata yang diulang oleh para perempuan.
Air mata sudah mengalir di wajah
mereka. Seolah-olah dengan teriakannya, Khazna meratapi bukan hanya lelaki mati
ini, tetapi semua orang mati di desa itu, satu per satu. Ia membangkitkan duka
pada seorang perempuan atas kehilangan suaminya, dan pada yang lain atas
kehilangan seorang anak lelaki atau saudara.
Kau tak lagi bisa membedakan mana
perempuan yang merupakan ibu si mati, atau istrinya, atau saudarinya. Jika para
perempuan mulai melemah, kelelahan, Khazna akan menyampaikan sebuah ratapan
yang sangat sedih, disusul teriakan mengerikan. Lalu air mata pun memancar,
tangisan bertambah keras, dan kesedihan makin menjadi.
Khazna adalah poros dari semua
ini, dengan lidah yang tak kenal lelah, suara seperti burung hantu, dan
kemampuan aneh untuk membangkitkan duka. Upahnya sebanding dengan usahanya, dan
upah itu membangkitkan dalam dirinya mata air kesedihan yang tak pernah habis.
Aku masih ingat bagaimana, ketika
para lelaki datang untuk mengangkat jenazah ke usungan kayunya, Khazna memohon
kepada mereka agar memperlakukannya dengan lembut, berhati-hati, dan tidak
terburu-buru memutuskan ikatannya dengan dunia ini. Hal itu berlangsung sampai
seorang lelaki merasa muak dengan ocehannya, mendorongnya menjauh, dan, dengan
bantuan teman-temannya, membawa jenazah itu secara paksa.
Lalu kain-kain kerudung hitam
diangkat sebagai salam perpisahan, dan permintaan para perempuan pun menyusul
satu demi satu dengan cepat, beberapa menitipkan salam kepada suami-suami
mereka yang telah tiada, yang lain kepada ibu mereka. Khazna kemudian memenuhi
seluruh tempat dengan ratapan yang terdengar jelas mengungguli suara belasan
perempuan yang berteriak. Ketika iring-iringan jenazah bergerak pergi dan peti
di mana Fez si mati bergoyang-goyang dan perlahan dibawa menjauh oleh para
lelaki pengiring, barulah Khazna mereda.
Saat itulah para perempuan
berkesempatan istirahat sedikit dari kesedihan yang telah melanda mereka.
Mereka dipersilakan mengambil sendiri makanan yang disajikan di sebuah meja
dalam salah satu ruangan. Khazna adalah yang pertama membasuh wajahnya, menggulung
lengan bajunya, dan memenuhi mulut besarnya dengan apa saja yang bisa
diraihnya.
Ketika aku berdiri di antara
anak-anak kecil yang berhasil menyelinap masuk, aku melihat dia menyembunyikan
sesuatu di bagian depan bajunya. Menyadari bahwa aku memerhatikannya, ia
memberikan senyum letih dan berkata, “Sedikit makanan untuk putriku, Masouda.
Aku mendapat kabar sebelum sempat menyiapkan apa pun untuknya. Dan memakan
makanan dari upacara perkabungan itu berpahala di akhirat.”
Hari itu aku mengerti bahwa
Khazna berbeda dari perempuan mana pun. Ia merupakan kebutuhan bagi kematian,
bahkan lebih ketimbang bagi orang mati. Aku tak mampu melupakan mulut besarnya,
tangan-tangannya yang menakutkan, dan rambutnya yang keriting dan lepas. Setiap
kali aku mendengar seorang lelaki sedang sekarat, aku akan berlari bersama
teman-temanku ke rumahnya, didorong semata-mata oleh keinginan untuk melihat
sesuatu yang mengasyikkan.
Lalu aku akan menceritakan
petualangan itu pada ibuku, jika, tentu saja, ia tidak berlari ke sana terlebih
dahulu. Tetapi aku akan teralihkan dari wajah orang yang sekarat itu oleh
pemandangan Khazna, dan mataku akan terpaku padanya, mengawasi tangan-tangannya
ketika bergerak dari dada ke wajah, ke kepala, dalam pukulan keras yang tampak,
seperti kata-kata yang ia lantunkan, memiliki irama khusus yang menembus luka
keluarga yang berduka dan membuat para pelayat merasakan kesedihan itu.
Beberapa waktu berlalu sebelum
aku mendapat kesempatan melihat Khazna di sebuah pesta pernikahan. Aku tidak
bisa memercayai mataku. Ia masih memiliki rambut hitam keriting yang sama,
tetapi kali ini disisir rapi dan dihiasi bunga. Ia juga masih memiliki wajah
jelek yang sama, tetapi bedak membuatnya tampil sangat berbeda dari wajah yang
dilumuri nila itu. Matanya tampak lebih besar karena celak yang digunakan untuk
membingkainya. Lengannya penuh gelang (siapa bilang berdagang dalam kematian
tidak menguntungkan?). Mulutnya terus terbuka dalam tawa; sesekali ia
menutupnya separuh untuk mengunyah sepotong besar permen karet di antara gigi
kuningnya.
Lalu aku menyadari bahwa Khazna
berurusan dengan para pengantin sama besarnya dengan urusannya dengan orang
mati. Tugasnya dimulai pada pagi hari pernikahan. Ia mencabut bulu-bulu halus
pengantin dengan sirup gula dan menggambar alisnya, dan di saat yang sama
memperkenalkan secara berbisik tugas-tugas seksual.
Jika pengantin itu bersemu merah,
ia menertawakannya dan mengedipkan mata, meyakinkannya bahwa dalam beberapa
malam ia akan menjadi terampil dalam bercinta, dan bahwa ia bisa menjamin hal
itu jika sang pengantin terus mengoleskan sabun harum ke tubuhnya dan minyak ke
rambutnya. Barang-barang itu bisa dibeli pengantin dari apotek atau dibeli dari
Khazna sendiri.
Pada malam hari, para perempuan
datang bersama, memakai parfum dan berhias indah, dan berkumpul mengelilingi
pengantin, yang duduk di panggung kecil. Lalu jeritan kegembiraan Khazna
merobek langit di atas desa. Ia memainkan peran menonjol dalam lingkaran
tarian, berkeliling sambil bercanda dengan para perempuan, mengatakan hal-hal
cabul yang membuat mereka tertawa. Ketika, di tengah-tengah kedipan
perempuan-perempuan itu, mempelai lelaki datang untuk membawa pengantin pergi,
Khazna yang memastikan mengantar mereka dengan khidmat ke pintu kamar mereka,
di mana ia masih memiliki hak untuk berjaga.
Aku tidak begitu mengerti mengapa
Khazna begitu berhasrat berdiri di depan pintu pengantin baru, menunggu dengan
gugup dan penuh rasa ingin tahu. Setiap kali sinyal dating, setelah menunggu
sebentar atau lama, ia mengeluarkan jeritan tajam penuh kegembiraan, yang jelas
telah ditunggu-tunggu oleh keluarga pengantin perempuan. Ketika itu terjadi,
para lelaki memelintir dan memutar kumis mereka, dan semua perempuan berdiri
serentak dan mengeluarkan jeritan bangga penuh kegembiraan. Lalu Khazna pergi,
puas di mata, jiwa, perut, dan kantong, dan para perempuan berharap bahwa ia,
pada gilirannya, akan bersukacita di pernikahan Masouda, putrinya.
Pernikahan Masouda adalah sesuatu
yang sangat dinantikan Khazna. Itulah alasan ia mengumpulkan gelang dan berbagai
perbekalan. Lagipula, ia tidak memiliki siapa pun di dunia ini kecuali putrinya
itu, dan semua yang ia dapatkan dari upacara kematian dan pernikahan akan
diwariskan kepadanya. Tetapi langit tidak menginginkan Khazna bergembira.
***
Itu adalah musim panas yang tak
akan pernah kulupakan. Penyakit tifoid memastikan musim itu menjadi musim yang
tak seperti biasanya bagi Khazna. Matahari tidak terbit tanpa membawa korban
baru, dan kudengar Khazna meratap untuk tiga pelanggan dalam satu hari.
Namun kita tahu, kematian tidak
menaruh belas kasihan kepada siapa pun, termasuk kepadanya. Penyakit itu menyerang
usus Masouda, lalu merenggutnya dari Khazna.
Orang-orang di desaku terbangun
oleh kabar kematian gadis kecil itu. Rasa ingin tahu mereka dimulai tepat di
tempat hidup gadis malang itu berakhir. Bagaimana Khazna akan meratapi
putrinya? Ratapan seperti apa yang akan ia lantunkan karena kesedihan atas
kehilangan itu? Upacara kematian macam apa yang akan membuat lingkungan menjadi
geger?
Rasa ingin tahu dan kesedihan
menguasai diriku, dan aku pergi ke rumah Khazna bersama puluhan perempuan lain
yang bergegas menebus sebagian utang mereka kepadanya.
Rumah itu hanya memiliki satu
ruangan dan tidak bisa menampung lebih dari dua puluh orang. Kami duduk, dan
mereka yang tidak bisa masuk berdiri membentuk lingkaran di pintu. Tatapanku
menyapu kepala-kepala, mencari wajah Khazna, karena aku tidak mendengar
suaranya. Betapa terkejutnya aku ketika tidak menemukannya menangis. Ia diam,
terbaring di lantai di sudut ruangan. Ia tidak membungkus kepalanya dengan pita
hitam atau mengecat wajahnya dengan nila; ia tidak menampar pipinya atau
merobek pakaiannya.
Itu kali pertama aku melihat
wajah seorang perempuan yang tidak berpura-pura menampilkan emosinya. Itu
adalah wajah perempuan tersiksa, atau hampir mati oleh penyiksaan itu. Itu
adalah kesedihan bisu yang hanya dapat dikenali oleh mereka yang telah
mengalami kemalangan besar.
Beberapa perempuan mencoba
menangis atau menjerit, tetapi ia memandang mereka dengan ngeri, seakan-akan ia
membenci kepura-puraan itu, sehingga mereka pun terdiam, benar-benar
tercengang. Ketika para lelaki datang mengangkat tubuh satu-satunya makhluk
yang dapat diekspresikan Khazna tanpa kepura-puraan, ia tidak menjerit atau
merobek pakaiannya, melainkan menatap mereka dengan linglung. Lalu ia berjalan
di belakang mereka seperti orang linglung, saat mereka menuju masjid dan
pemakaman. Yang ia lakukan di sana hanya meletakkan kepala di tanah tempat
tubuh kecil itu diserahkan, dan membiarkannya terbaring di sana selama
berjam-jam—hanya Tuhan yang tahu berapa lama.
Orang-orang pulang dari pemakaman
dengan berbagai versi tentang apa yang telah terjadi pada Khazna. Ada yang
berkata ia telah menjadi begitu gila hingga tampak waras. Ada pula yang berkata
ia tidak punya air mata lagi karena semua pemakaman lain telah mengurasnya. Dan
bahkan ada orang yang berkata Khazna tidak menangis karena ia tidak dibayar
untuk itu.
Hanya ada sangat sedikit orang
yang memilih untuk tidak mengatakan apa pun, dan membiarkan Khazna—dalam
diamnya—mengatakan segalanya.
.jpg)