Cerpen Terjemahan Entri 26
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Malam PernikahankuAlifa Rifaat
Mimpi masa mudaku adalah mimpi
setiap perawan yang tubuhnya telah disentuh keajaiban dan gairah masa muda,
mengubahnya menjadi sosok ranum yang mabuk oleh hasrat. Lagu-lagu berputar di
sekitarnya saat ia akan menyerahkan diri dan seluruh kenikmatannya kepada
lelaki pilihannya pada malam pernikahannya. Dan inilah malam pernikahanku.
Malam itu mendapati diriku sedih, jiwaku patah, sayapku terpangkas, hatiku
berdebar-debar oleh ketakutan dan kebingungan.
Di depanku seorang penari
bergoyang di lantai mengikuti irama musik keras dan dentuman drum yang bergema.
Ia membenturkan simbalnya, dan semua tamu menjadi terpesona dan bergoyang
bersamanya dengan gembira. Akulah satu-satunya yang terganggu oleh
ketelanjangannya yang tak tahu malu dan kisah bejat yang ia ceritakan. Getar
perutnya seakan-akan mencengkeram orang-orang di sekelilingnya, dan mereka
mulai bertepuk tangan dengan antusias. Akulah satu-satunya yang merasa gelisah,
begitu gelisah hingga aku terpuntir kesakitan dan sulit bernapas.
Mungkin ketakutan yang
mencengkeramku telah memicu imajinasiku. Mawar-mawar mengelilingiku, membentuk
buket besar di sekeliling kursiku dan kursi lelaki yang kepadanya mereka
menyerahkanku. Tetapi singgasana yang ku duduki ini bagiku tidak lebih dari sebuah
usungan yang dipenuhi mawar beku. Tiba-tiba akan terjungkal bersamaku ke dalam
kubur tak berdasar, gelap, seperti masa depan suram yang kuhadapi.
Aku tercekik… tercekik. Ingin
melompat berdiri di tengah kerumunan besar di sekelilingku. Aku ingin lari. Aku
tak mengira akan ada orang yang bisa melihat penderitaanku atau
memerhatikannya. Aku tak bisa memahami mengapa para tamu tidak merasa iba
kepadaku dan pergi. Apa gunanya mengundang mereka ke malam pernikahanku?
Aku merasa malu dan bingung
memikirkan bahwa mereka semua tahu apa yang akan terjadi padaku. Aku begitu
cemas hingga tak bisa bergerak atau bangkit. Aku tak merasakan waktu berlalu;
waktu lewat sementara aku memainkan peran pahlawan dalam komedi yang terus
berlangsung ini, yang mereka sebut perayaan pernikahan. Mengapa aku harus
gembira ketika akan memikul tanggung jawab berat dan banyak kerja keras?
Semua orang telah mempersiapkan
perayaan ini selama berhari-hari, hingga malam yang dijanjikan kini. Rumah,
dihias dengan lampu dan bunga, penuh dengan orang. Minuman dituangkan dalam
jumlah besar, dan tumpukan manisan indah disajikan. Tetapi aku merasa rumah
ini, rumah ayahku, tempat aku dibesarkan, telah menjadi asing bagiku. Saat aku
menandatangani akad pernikahan, aku menjadi tamu di dalamnya; tak ada yang di
sana yang menjadi urusanku lagi. Kesedihan mencengkeram hatiku ketika
memikirkan bahwa aku akan meninggalkannya dalam beberapa saat.
Mungkin kau bertanya, “Kalau
begitu, mengapa kau setuju untuk menikah jika jauh di lubuk hatimu merasa
keberatan terhadapnya?”
Alasannya sederhana. Aku patuh
kepada ayahku, dan keadaan keluarga kami sedemikian rupa membuatku wajib setuju
pada pernikahan ini. Aku tahu betul bahwa ayahku ingin meringankan beban berat
yang telah ia pikul bertahun-tahun ini. Dan aku adalah yang tertua dalam
deretan panjang anak perempuan. Tugasku adalah membuka jalan bagi yang lebih
muda, sebagaimana tradisi kami menetapkan. Selain itu, aku ingin membuat ibuku
yang miskin dan sakit merasa Bahagia. Ia telah menanggung hidup keras
bertahun-tahun demi kami. Membuat ibu bahagia berarti melihat putrinya menikah,
meskipun kesulitan dan masalah yang dibawa pernikahan akan menimpa putrinya
kelak.
Sebenarnya, aku tidak memiliki
harapan besar tentang lelaki yang, pada malam ini, menjadi suamiku dan tuanku;
seorang lelaki yang cocok untukku, sebagaimana ayahku meyakinkanku ketika ia
memberiku selamat. Ia telah memberikan persetujuannya setelah penyelidikan
panjang latar belakang dan keadaan lelaki itu. Ayahku menemukan bahwa ia
insinyur, pekerja keras dari keluarga kelas menengah seperti kami. Ayahnya pria
saleh dan jujur, ibunya baik dan terhormat. Bersama-sama, mereka membesarkannya
menjadi orang bermoral-berprinsip.
Setelah lulus, ia bekerja untuk
pemerintah, tetapi kemudian sebuah suara mendorongnya mengunjungi tempat-tempat
suci. Ia menaati panggilan itu, pergi meninggalkan segala godaan hidup, mencari
cahaya, berusaha mendekat kepada Tuhan. Perjalanannya berlangsung lama. Ia lupa
diri, menjalani kehidupan penuh kezuhudan dan pantangan dalam sebuah tenda
sederhana di puncak gunung. Tetapi masa muda rupanya masih bergerak dalam tubuh
mudanya, karena hal itu membangunkannya dari delusinya, dan ia menyadari bahwa
iman sejati berarti berjuang dan bergulat dengan godaan setan; itu tidak
berarti pengingkaran, keterpencilan, dan pengurungan. Maka ia kembali kepada
keluarga dan cari istri.
Ibunya, teman ibuku, meminta
tanganku untuknya. Aku menyetujui, menerima nasibku. Bagaimanapun, aku tidak
mengharapkan apa-apa.
Kekasihku telah mati ketika kami
masih remaja. Kami masih remaja, tetapi kami telah mengenal cinta sejati, dalam
seluruh ketulusan dan pengabdiannya. Kami biasa menyembunyikan permen terbaik
dan mainan terbaik kami agar dapat saling mengejutkan dan mengesankan satu sama
lain. Kami menikmati semuanya bersama-sama dalam kepolosan penuh.
Kami sering berdiri di taman,
memandang bunga-bunga yang tersebar di sekitar pancuran kecil, dan berkeliling
mengejar kupu-kupu dan tabuhan yang terbang di atas puncak pohon dan melalui
dahan-dahan berbunga. Tangan kami saling bertaut dan hati kami berdetak
serempak mengikuti irama yang melantunkan kegembiraan murni atas cahaya alam.
Jiwa kami diam-diam mengungkapkan rasa syukur mendalam kepada Tuhan karena
telah memenuhi piala-piala keindahan ajaib, tempat kami meneguk tanpa pernah
merasa cukup.
Kami akan berdiri berdampingan,
rendah hati dan terpesona, seakan-akan berdoa kepada Sang Pencipta Agung. Lalu
emosi kami akan meluap dan kami berpelukan begitu saja tanpa peduli jika ada
orang melihat kami. Kami tak pernah berpikir bahwa berpelukan mungkin dilarang.
Kami akan berbaring di rerumputan
dalam pelukan satu sama lain, berguling-guling di atas permadani embun dan
berusaha untuk tidak melepaskan. Kami akan mengikuti jejak serangga-serangga
kecil menuju sarang mereka. Akhirnya kami lelah bermain, kemudian kami
berbaring dalam pelukan satu sama lain, terengah-engah karena kelelahan, dan
kelembutan mengalir di antara kami; lembut dan tenang. Terkadang, ketika kami
bersama, aku merasakan getaran hangat menyenangkan, seperti getaran yang dikirimkan
penari itu kini ke tubuh orang-orang. Aku akan lupa diri dan menutupi wajah
kekasihku dengan ciuman, tanpa menyadari perasaanku sesungguhnya.
Keluarga kami melihat kami dan
memahami bahwa mereka tak mampu memisahkan kami karena kuatnya cinta dan
keteguhan kami. Suatu ketika, saat mereka berdua memandangi kami sambil
tersenyum, ibunya yang tetanggaku berjanji kepada ibuku bahwa aku akan menjadi
pengantinnya ketika kami dewasa. Kami gembira dan tertawa, dan tawa itu datang
dari dasar hati kami. Ia berbisik, “Kau pengantinku mulai sekarang,” dan aku
menariknya dan berteriak gembira, “Ayo, kita main permainan pernikahan dengan
saudari-saudari kita.”
Aku meraih kerudung dan gaun
ibuku, yang ia simpan terlipat dalam sajadah, dan menyelubungkannya ke tubuh
kecilku. Itu setelah aku mengolesi wajahku dengan lipstik merah tuanya,
mengubah wajahku menjadi mawar kecil dengan kelopak yang berantakan.
Saudari yang lahir setelahku dalam
deretan panjang anak perempuan yang telah dilahirkan orang tuaku dengan penuh
antusias dan dijaga dengan cemburu, berdiri memukul nampan kopi tembaga dan
menyanyikan lagu arak-arakan pengantin. Saudari-saudari lain bergoyang bahagia
mengikuti nyanyian, mengulang lagu itu dengan suara lembut mereka.
“Berjalanlah dengan bangga, gadis
cantik, mawar indah dari taman.”
Dan aku berjalan dengan langkah
congkak dan menyuguhkan diriku kepadanya seperti mawar sungguhan yang mekar di
taman. Aku bergerak anggun, meski sedikit tersandung pada ujung gaun panjangku.
Tanganku dalam tangan kekasihku, mataku terpaku matanya, yang berkilau karena
sukacita dan kebahagiaan. Dalam ekstase, aku tak dapat menahan diri untuk ikut
bernyanyi, suaraku yang keras akhirnya mengalahkan suara penyanyi lain.
Tiba-tiba, saudariku berhenti
memukul nampan; arak-arakan berhenti, dan formasinya yang teratur pun pecah.
Lalu dia menegurku, berteriak, “Jangan bernyanyi. Pengantin tidak boleh
bernyanyi.”
Kegembiraanku tiba-tiba lenyap,
dan kesedihan samar menyapu diriku.
Dalam hati, aku bertanya,
“Mengapa aku tidak boleh bernyanyi bahagia seperti mereka? Mengapa pengantin
tidak boleh bahagia?”
Dan di sinilah kini aku, seorang
pengantin sungguhan, dan ini adalah malam pernikahanku. Tapi aku tidak
bernyanyi karena gembira, dan aku tidak ikut merasakan kegembiraan orang-orang
untukku. Hatiku tercabik dan gemetar ketakutan, dan jiwaku hancur. Sebuah suara
misterius menembus ke dalam jiwaku, mendesak untuk menolak segala sesuatu yang
dibawa takdir kepadaku, dan memohon malaikat maut menyelamatkanku dari nasib
yang tak kuketahui.
Jeritan kegembiraan tiba-tiba
menjadi lebih keras. Genderang ditabuh lebih cepat ketika penari itu berputar
lebih cepat. Aku tercengang oleh kemampuannya menciptakan kebahagiaan dan terus
tersenyum sepanjang waktu itu. Semua orang berdiri. Ksatria malamku berdiri
juga dan mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Ibuku, merasa malu
sepertiku, memberi isyarat agar aku taat.
Aku berdiri dengan hati serasa
jatuh ke sepatu perakku, dan berjalan, dipandu lilin-lilin yang menari di
tangan para gadis. Seorang gadis kecil menginjak ujung kerudung panjang yang
dipasang pada rambutku dengan bunga-bunga. Aku hampir memutar leherku. Ia
meledak tertawa, mungkin membayangkan malam—malamnya—ketika ia akan berada di
posisiku. Aku berjalan, naik mobil, lalu berjalan lagi, sampai aku mendapati
diriku di sebuah ruangan tertutup bersama pria yang telah menjadi suamiku; ia
dan aku--berdua saja.
Aku berdiri diam, bingung, mataku
tertunduk dalam kecemasan. Setelah duduk begitu lama dengan begitu kaku, aku
tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ia juga berdiri diam, bingung dan
kelabakan. Lalu ia berjalan ke sebuah meja yang penuh sesak dengan makanan dan
manisan.
Laki-laki tak pernah melupakan
perutnya, apa pun keadaannya. Atau mungkin pelariannya ke meja itu adalah cara
melegakan situasi memalukan kami. Kami sudah bertemu berkali-kali sebelum malam
ini. Kami pernah berjalan-jalan bersama selama masa pertunangan dan bicara
tentang berbagai hal, tetapi inilah pertama kalinya kami bertemu sebagai pria
dan wanita, dengan keluarga yang sedang menunggu pertemuan itu.
Ia mengambil segenggam makanan,
memasukkannya ke mulut, lalu berkata dengan suara serak bergetar, “Lapar?”
“Tidak.”
Kepalaku masih tertunduk, dan
sesekali aku mencuri pandang ke arahnya.
“Kau harus makan sesuatu. Malam
ini akan panjang.” Ia menegaskan.
Aku bergidik, merasa terasing dan
kesepian. Aku berharap bisa lari ke pelukan ayahku dan digendong sampai aku
tenang. Aku bergegas melepas kerudung yang menekan kepalaku, melepas gaun
pengantin putihku, dan melipatnya dengan hati-hati agar ibuku bisa menyimpannya
untuk adik-adikku kelak. Ayahku telah membayar jumlah besar untuk itu. Lalu aku
mengenakan gaun putih bersulam, yang disiapkan khusus untuk malam pernikahanku.
Aku merayap masuk ke tempat tidur
dengan pelan, berharap bisa tidur dan dengan begitu lolos dari malam panjang
yang menggantung seperti ancaman di atasku.
Ia selesai makan, berbalik ke
arahku, dan berbisik dari kejauhan, “Cium aku.”
Aku memalingkan wajahku, dengan
amarah siap meledak, menunggu apa yang akan ia lakukan. Ketika ia bereaksi
dingin, seperti orang asing, aku bergumam pelan dan cemas, “Selamat malam.”
Ia mematikan lampu, mengangkat
selimut, dan menarikku ke arahnya. Ketakutan mencengkeramku, dan aku mulai
gemetar.
Saat aku menutup mata dalam
ketundukan, aku teringat kisah Ismail, damai atasnya, ketika ia menyerahkan
dirinya sebagai kurban untuk menyenangkan Tuhannya dan diikat pada batu oleh
Ibrahim, kekasih Allah.
Ia melepas pakaian dalamku.
Sampai saat itu, itu adalah salah satu rahasia paling intimku. Hanya
membayangkan ayahku melihatnya secara tidak sengaja tergantung di kamar mandi
untuk dikeringkan saja sudah cukup membuatku malu. Darah mengalir panas melalui
nadiku, kepalaku berdenyut, dan aku merasa pusing. Ia tenggelam dalam rangkaian
panjang upaya, dan aku menahan rasa sakit serta ketakutanku, menunggu,
mengharapkan ia menyingkirkan penghalang di antara kami. Tetapi mimpi buruk itu
terus berlarut tanpa akhir.
Tiba-tiba dia melepaskan kakiku,
bergegas menuju lampu, dan menyalakannya. Aku membuka mata dan terkejut dan
melihat sekeliling, setengah berharap melihat domba kurban yang diturunkan dari
surga oleh malaikat. Yang kulihat adalah pria berdiri di tengah ruangan,
telanjang.
Tubuhnya yang indah membangkitkan
gairahku, tetapi ia sedang meratap dan mencabuti rambutnya.
“Bangsat-bangsat itu melakukan
ini padauk!”
Pada awalnya aku tidak mengerti
apa yang telah terjadi. Aku mengeringkan air mata dan mengucap syukur yang
sungguh-sungguh dalam hatiku karena telah diselamatkan oleh tangan Tuhan. Lalu
kebenaran menyadarkanku, bahwa hidupku sendiri adalah domba kurban itu, dan aku
harus membimbing lelaki naif dan polosku ini, dan membuatnya memainkan perannya
yang semestinya.
Sepertiku, ia perjaka dan tak ada
tubuh perempuan yang pernah mendekatinya sebelumnya, sama seperti tak ada
tangan laki-laki yang pernah menyentuhku sebelumnya. Aku bangkit, merapikan
pakaianku, dan menariknya mendekat kepadaku. Kemudian aku membungkusnya dengan
selimut sutra agar aku bisa bicara dengannya tanpa merasa malu. Ia sedikit
tenang dan menyembunyikan kepalanya di dadaku.
“Istri pamanku melakukan ini
padaku karena dia ingin aku menikahi putrinya, Samiya, tetapi ibuku memilihmu
untukku karena kau lembut dan suci,” katanya, dengan air mata kesedihan
mengalir di wajahnya.
“Apa yang kau cemaskan itu tidak
menggangguku,” hiburku.
“Mari kita hidup bersama seperti
teman, dengan cinta dan kasih sayang. Itu seribu kali lebih baik daripada apa
yang kau maksudkan.”
“Tapi bagaimana kita akan menjadi
suami dan istri?” Ia berkata putus asa, menepuk dadanya dengan tangan.
“Akan kukatakan terus terang,”
kataku lembut. “Waktu aku masih kecil, aku punya kekasih kecil. Kami dulu
berpelukan, benar-benar polos, dan ia akan meletakkan kepalanya di dadaku, dan
kami akan berbaring seperti itu selama berjam-jam, hangat dan damai. Mengapa
kita tidak melakukan itu sekarang, sampai kita tertidur?”
“Menurutmu itu memenuhi kontrak
pernikahan?” ia membalas marah.
“Apa kau bisa melakukan hal lain
sekarang?” tanyaku menggoda.
Kelengahanku menular padanya, dan
ia berkata, “Tentu tidak! Aku lelah.”
“Kalau begitu mari kita saling
berpelukan, mencoba menyelaraskan diri, dan biarkan saja semua berkembang
seiring waktu,” kataku ceria.
“Apakah suatu malam nanti aku
akan sanggup?” Ia bertanya penuh harap.
“Cinta bekerja dengan cara
ajaib,” jawabku riang, Ketika kecemasanku lenyap.
“Ayo, kalau begitu. Kita akan
memulai hidup kita sebagai anak-anak,” katanya, bahagia.
Saat ia memelukku dengan lembut
dan penuh kasih, aku tertawa penuh arti dan berkata, “Kurasa kita akan cepat
dewasa malam ini.”
Kami berbaring saling berpelukan
di atas tempat tidur, saling bertukar ciuman dan mengabaikan kilatan yang
terus-menerus itu. Begitu ia tenang, kami mematikan lampu dan menyerah pada
mimpi yang kami harapkan. Seperti yang kau tahu, itu adalah malam pengantinku.
.jpg)