Cerpen Terjemahan Entri 27
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
KarmaKhushwant Singh
Sir Mohan Lal melihat dirinya di
cermin ruang tunggu kelas satu di stasiun kereta api. Cermin itu jelas buatan
India. Oksida merah di bagian belakangnya telah mengelupas di beberapa tempat
dan garis-garis panjang kaca tembus cahaya melintang di permukaannya. Sir Mohan
tersenyum kepada cermin itu dengan sikap iba dan perlindungan.
“Kau persis seperti segala hal
lain di negeri ini, tidak efisien, kotor, tak peduli,” gumamnya.
Cermin itu tersenyum kembali
kepada Sir Mohan.
“Kau cukup oke juga, sobat tua,”
katanya. “Tampak terhormat, efisien, bahkan tampan. Kumis yang rapi itu, setelan
dari Saville Row dengan bunga anyelir di lubang kancing, aroma eau de Cologne,
bedak talcum, dan sabun wangi yang mengitarimu! Ya, sobat tua, kau cukup oke
juga.”
Sir Mohan membusungkan dadanya,
membetulkan dasi Balliol-nya untuk kesekian kalinya, dan melambaikan tangan
kepada cermin itu. Ia melirik jam tangannya. Masih ada waktu untuk satu tegukan
cepat.
“Koi Hai!”
Seorang pelayan berseragam putih
muncul melalui pintu kasa kawat.
“Ek Chota,” pesan Sir
Mohan, lalu tenggelam ke kursi rotan besar untuk minum dan merenung.
Di luar ruang tunggu,
barang-barang Sir Mohan Lal tergeletak menumpuk sepanjang dinding. Di atas peti
baja kecil berwarna abu-abu, Lachmi, Lady Mohan Lal, duduk sambil mengunyah
daun sirih dan mengipas dirinya dengan koran. Ia pendek dan gemuk, berusia pertengahan
empat puluhan. Ia mengenakan sari putih kotor dengan pinggiran merah. Di satu
sisi hidungnya berkilau cincin hidung berlian, dan ia memiliki beberapa gelang
emas di lengannya. Ia tadi berbincang dengan pelayan sampai Sir Mohan
memanggilnya masuk. Begitu pelayan pergi, ia memanggil seorang kuli kereta yang
lewat.
“Di mana gerbong zenana
berhenti?”
“Di ujung platform sana.”
Kuli itu meratakan serbannya
untuk dijadikan alas kepala, mengangkat peti baja itu ke kepala, dan berjalan
menyusuri platform. Lady Lal mengambil tempat makan kuningan dan berjalan pelan
membuntuti. Di tengah jalan, ia berhenti di kios pedagang untuk mengisi kembali
kotak perak daun sirihnya, lalu menyusul kuli itu. Ia duduk di atas peti
bajanya, yang telah diturunkan oleh kuli itu, dan mulai bicara dengannya.
“Apakah kereta-kereta sangat
penuh di jalur ini?”
“Akhir-akhir ini semua kereta
penuh, tapi di zenana Anda akan mendapat tempat.”
“Kalau begitu lebih baik aku
bereskan dulu urusan makan.”
Lady Lal membuka tempat makan
kuningan itu dan mengeluarkan buntelan roti pipih keras dan sedikit acar
mangga. Sambil ia makan, si kuli duduk berhadapan dengannya dengan posisi
berjongkok, menggambar garis-garis di kerikil dengan jarinya.
“Apakah Anda bepergian sendirian,
saudari?”
“Tidak, aku bersama suamiku,
saudara. Dia ada di ruang tunggu. Dia bepergian di kelas satu. Dia seorang
wazir dan pengacara, dan bertemu banyak pejabat serta orang Inggris di kereta, dan
aku hanya perempuan pribumi. Aku tak bisa bahasa Inggris dan tidak tahu tata
cara mereka, jadi aku tetap di gerbong zenana kelas campuran.”
Lachmi mengobrol riang. Ia gemar
sedikit bergosip dan tidak punya siapa pun untuk diajak bicara di rumah.
Suaminya tidak pernah punya waktu untuknya. Ia tinggal di lantai atas rumah dan
suaminya di lantai bawah. Suaminya tidak suka kerabat-kerabatnya yang miskin
dan buta huruf berkeliaran di bungalonya, jadi mereka tak pernah mampir.
Suaminya naik ke atas sesekali pada malam hari dan tinggal selama beberapa
menit. Ia hanya memberi perintah dalam bahasa Hindustani yang kebarat-baratan,
dan Lachmi menaati dengan pasif. Namun kunjungan-kunjungan malam itu tidak
pernah membuahkan hasil.
Sinyal turun dan dentang lonceng
mengumumkan kereta yang mendekat. Lady Lal buru-buru menghabiskan makanannya.
Ia berdiri, masih menjilati biji mangga acar dan mengeluarkan sendawa panjang
dan keras saat menuju kran umum untuk membilas mulut dan mencuci tangan.
Setelah mencuci, ia mengeringkan mulut dan tangan dengan ujung sarinya yang
longgar, lalu berjalan kembali ke peti baja sambil bersendawa dan mengucap
syukur kepada para dewa atas nikmat makanan yang mengenyangkan.
Kereta masuk dengan mengepulkan
uap. Lachmi mendapati dirinya berhadapan dengan sebuah kompartemen zenana kelas
campuran yang hampir kosong di sebelah gerbong penjaga, di bagian ekor kereta.
Sisa rangkaian kereta penuh sesak. Ia mengangkat tubuhnya yang pendek dan
tambun melalui pintu dan menemukan tempat duduk di dekat jendela. Ia
mengeluarkan uang dua anna dari ikatan di sarinya dan membebaskan kuli itu.
Lalu ia membuka kotak daun sirihnya dan membuat dua lembar sirih lengkap dengan
pasta merah dan putih, potongan kecil buah pinang, dan kapulaga. Semuanya ia
sumbat ke dalam mulut hingga pipinya menggembung. Kemudian ia menyandarkan dagu
di tangan dan duduk memandangi dengan kosong kerumunan orang yang berdesakan di
peron.
Kedatangan kereta tidak mengusik
ketenangan Sir Mohan Lal. Ia tetap menyesap Scotch dan memerintahkan pelayan
memberi tahu bila barang-barangnya sudah dipindahkan ke kompartemen kelas satu.
Kegembiraan, keributan, dan terburu-buru adalah tanda-tanda kurangnya sopan
santun, dan Sir Mohan sangatlah beradab.
Sir Mohan menginginkan segala
sesuatunya rapi dan teratur. Dalam lima tahun di luar negeri, ia memperoleh
tata krama dan sikap kelas atas, jarang bicara dalam bahasa Hindustani. Bila ia
memakainya, gayanya seperti orang Inggris, beberapa rasanya perlu diucapkan
dengan cara kebarat-baratan. Namun ia membanggakan bahasa Inggrisnya yang
disempurnakan di tempat tak kurang prestisius ketimbang Universitas Oxford. Ia
senang bercakap-cakap. Dan seperti seorang Inggris berbudaya, ia bisa bicara
tentang topik apa pun, baik buku, politik, atau tokoh-tokoh. Betapa sering ia
mendengar orang Inggris berkata bahwa ia bicara seperti orang Inggris!
Sir Mohan bertanya-tanya apakah
ia akan bepergian sendiri. Ini adalah daerah Kanonmen, dan beberapa perwira
Inggris mungkin ada di kereta. Hatinya menghangat saat membayangkan percakapan
yang mengesankan. Ia tak pernah menunjukkan rasa ingin sekali bicara pada orang
Inggris seperti kebanyakan orang India. Ia juga tidak nyaring, agresif, dan sok
tahu seperti mereka. Ia mengurus urusannya dengan raut datar dan apa adanya. Ia
akan membenamkan diri di sudut dekat jendela dan mengeluarkan The Times. Ia
melipatnya sedemikian rupa sehingga nama surat kabar itu terlihat oleh orang
lain saat ia mengerjakan teka-teki silang.
The Times selalu menarik
perhatian. Seseorang pasti ingin meminjamnya ketika ia meletakkannya dengan
isyarat yang berarti “Saya sudah selesai.” Mungkin seseorang akan mengenali
dasi Balliol yang selalu ia pakai saat bepergian. Itu dapat membuka jalan menuju
dunia ajaib perguruan tinggi Oxford, para master, dosen, tutor, lomba dayung,
dan pertandingan rugbi.
Jika The Times dan dasi tidak
berhasil, Sir Mohan akan memanggil pelayan dengan seruan “Koi Hai” untuk
mengeluarkan Scotch. Wiski tak pernah gagal dengan orang Inggris. Lalu menyusul
kotak rokok emas milik Sir Mohan yang tampan, berisi rokok-rokok Inggris. Rokok
Inggris di India? Dari mana ia mendapatkannya? Benarkah tidak keberatan? Sir
Mohan tersenyum. Namun, dapatkah ia menggunakan orang Inggris itu sebagai
perantara untuk berkomunikasi dengan bahasa Inggris tercintanya?
Lima tahun mengenakan jubah
abu-abu dan toga, jaket olahraga dan mixed doubles, makan malam di Inns of
Court, dan malam-malam bersama pelacur Piccadilly. Lima tahun kehidupan penuh
dan gemilang jauh lebih berharga daripada 45 tahun di India bersama pribumi
negerinya yang kotor dan vulgar, bersama rincian busuk perjalanan menuju
kesuksesan, kunjungan-kunjungan malam ke lantai atas, dan hubungan seksual yang
terlalu singkat dengan si gemuk tua Lachmi, yang berbau keringat dan bawang
mentah.
Pikiran Sir Mohan terganggu oleh
pelayan yang mengumumkan bahwa barang-barang milik Sahib telah dipasang di
sebuah coupe kelas satu di sebelah lokomotif. Sir Mohan berjalan menuju
coupe-nya dengan langkah dibuat-buat. Ia kecewa. Kompartemen itu kosong. Dengan
desahan, ia duduk di sudut dan membuka The Times yang sudah berkali-kali ia
baca.
Sir Mohan memandang keluar
jendela, ke arah peron yang penuh sesak. Wajahnya berseri ketika ia melihat dua
serdadu Inggris berjalan terseok-seok melihat ke semua kompartemen mencari
tempat kosong. Ransel mereka tergantung di punggung dan mereka berjalan tidak
stabil. Sir Mohan memutuskan menyambut mereka, meski mereka hanya berhak untuk
bepergian di kelas dua. Ia akan bicara dengan penjaga.
Salah satu serdadu itu datang ke
kompartemen terakhir dan melongok lewat jendela. Ia meninjau kompartemen dan
melihat tempat tidur yang belum terpakai.
“Here, Bill,” teriaknya, “one ’here.”
Temannya datang, juga melongok ke
dalam, lalu memandangi Sir Mohan.
“Get the nigger out,” gumamnya
pada temannya.
Mereka membuka pintu dan berbalik
kepada Sir Mohan yang setengah tersenyum dan setengah memprotes.
“Reserved!” teriak Bill.
“Rakyat jelata! Ini untuk
tentara. Kami tentara,” ujar Jim sambil menunjuk ke kemeja khakinya.
“Get out!”
“Saya... saya... tentu saja,”
protes Sir Mohan dengan aksen Oxford-nya.
Para serdadu itu terhenti. Itu
hampir terdengar seperti bahasa Inggris, tetapi mereka tahu lebih baik daripada
mempercayai telinga mabuk mereka.
Lokomotif bersiul dan penjaga
melambaikan bendera hijau. Mereka mengambil koper Sir Mohan dan melemparkannya
ke peron, menyusul kemudian termos, tas kerja, dan The Times. Sir Mohan memerah
karena marah.
“Tak masuk akal! Tak masuk akal!”
teriaknya, parau oleh kemarahan. “Aku akan membuat kalian ditangkap! Penjaga!
Penjaga!”
Bill dan Jim berhenti lagi. Itu
memang terdengar seperti bahasa Inggris, tetapi terlalu “bahasa raja” untuk
mereka.
“Tutup mulutmu!” Jim menampar
wajah Sir Mohan keras-keras.
Lokomotif memberi siul pendek
lagi dan kereta mulai bergerak. Para serdadu itu menangkap kedua lengan Sir
Mohan dan melemparkannya keluar dari kereta. Ia jatuh terhuyung dan mendarat di
atas kopernya.
“Toodle-oo!”
Kaki Sir Mohan seakan terpaku ke
tanah dan ia kehilangan kemampuan bicara. Ia terpaku memandangi jendela-jendela
terang kereta yang melintas makin cepat. Bagian ekor kereta muncul dengan lampu
merah dan penjaga berdiri di pintu terbuka sambil memegang bendera.
Di kompartemen zenana kelas campuran
duduklah Lachmi, si gemuk berkulit cerah, dengan cincin hidung berlian yang
berkilau terkena cahaya stasiun. Mulutnya menggembung oleh ludah sirih yang
sudah ia simpan untuk ia ludahkan begitu kereta keluar dari stasiun. Saat
kereta melaju melewati bagian peron yang terang, Lady Lal meludah dan
mengirimkan semburan merah melayang seperti anak panah.
Catatan:
Koi
Hai : “Ada orang?” / “Siapa di
sana?” / “Hei, ada yang bisa bantu?”.
Ek
Chota : Dalam konteks cerpen artinya
“Satu (minuman) kecil."
Zenana : Ruang atau gerbong khusus perempuan
Toodle-oo : Ungkapan slang Inggris, artinya “Sampai
jumpa!”
.png)