Cerpen Terjemahan Entri 28
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
A'maurie Duckwitz
Setiap tahun, ceritanya selalu sama. Menyalakan lilin,
meniupnya, lalu makan kue. Aku tersenyum saat semua orang bernyanyi, berpesta
dengan teman-teman, minum sedikit, lalu pulang ke rumah. Setelah itu, tepat
ketika jam menunjukkan pukul 3:27, aku duduk tegak di tempat tidur dan menunggu
tulang-tulangku patah.
Pemandangannya tidak enak dilihat. Tanganku retak dan
bengkok, dan bau darah serta sumsum tulang membuat perutku mual. Tapi bagian
terburuknya, tanpa ragu, adalah suaranya. Suara tulang berderak dan pecah,
kulit yang meregang, dan cipratan darah yang basah. Aku tidak pernah bisa
terbiasa, bahkan setelah dua puluh tujuh tahun. Selama beberapa hari
setelahnya, aku tidak bisa membuka kaleng soda atau menarik karet gelang tanpa
merinding. Rasanya memalukan dan canggung, seperti semua hal paling buruk dari
masa puber dikumpulkan dalam sepuluh menit—meski kali ini mungkin dengan
jerawat yang lebih sedikit. Itu juga membuatku tidak mungkin merayakan ulang
tahun dengan cara yang romantis. Aku berusaha untuk tidak terlalu kesal
karenanya.
Ibu bilang ini hal yang wajar, katanya ini menurun di
keluarga kami. Katanya, sepupunya yang tinggal di Fresno punya masalah yang
sama, hanya saja itu terjadi setiap kali dia datang bulan. Jadi, kalau
dipikir-pikir, mungkin aku masih lebih beruntung. Tidak ada yang benar-benar
tahu penyebabnya—ada yang bilang karena kelainan genetik, gigitan manusia
serigala, bahkan kutukan. Tapi apa pun alasannya, masalahnya tetap sama. Setiap
tahun, tepat di waktu aku lahir, tubuhku patah, berputar, lalu berubah bentuk.
Keesokan paginya, aku akan melihat orang yang sama sekali berbeda di cermin.
Saat aku kecil dan sedih tentang hal itu, Ibu mencoba
menenangkanku dengan bilang aku seperti kupu-kupu yang keluar dari kepompong.
Setelah aku berumur tiga belas tahun, ia berhenti berusaha menghiburku.
Tahun ini ulang tahunku yang ke-27, dan berarti wajahku yang
ke-27 juga. Aku bahkan tidak mencoba untuk tidur. Aku hanya tetap terjaga,
menatap ponsel, menghitung menit sampai waktu perubahan tiba. Untungnya, itu
tidak terasa sakit—setidaknya bukan secara fisik. Luka di hati dan pikiranku
saja yang sulit.
Sekarang aku sudah belajar untuk bersiap sebelumnya. Ada
pelapis plastik di tempat tidur supaya darahku tidak menodai seprai.
Ketika perubahan akhirnya datang, rasanya tiba-tiba, hanya
sedikit rasa nyeri di tulang yang menjadi tanda. Aku berusaha bernapas pelan,
menenangkan diri, dan membiarkan semuanya terjadi. Dadaku seperti ditekan ke
dalam, jariku menekuk ke arah belakang, gigi-gigiku bergeser di dalam gusi, dan
penglihatanku kabur.
Saat tubuh baruku akhirnya berhenti bergerak, aku
menggerakkan jari-jari kakiku dulu, hanya untuk memastikan semuanya baik-baik
saja. Sepertinya tidak ada yang salah. Kalau ada pun, malah terasa sedikit
lebih mudah dari tahun-tahun sebelumnya. Aku belum mengukurnya, tapi aku merasa
kali ini tubuhku bertambah tinggi beberapa sentimeter.
Aku menurunkan kaki dari tempat tidur dan berjalan tanpa alas
kaki menuju kamar mandi untuk melihat hasilnya di cermin. Tahun lalu, wajahku
lembut dan manis, seperti wajah yang membuat orang lain merasa aman untuk
berbagi rahasia dan senyuman.
Tapi sekarang, tulang pipiku lebih tinggi, daguku agak
runcing. Saat aku tersenyum, gigi taring kananku tampak miring. Cukup parah
sampai orang pasti menyuruhku pasang behel, tapi untuk apa? Toh setahun lagi
wajahku akan berubah lagi.
Aku mulai berlatih berbagai ekspresi—marah, senang, lalu
sedih. Aku mencoba semuanya satu per satu. Aku tidak terlalu suka wajah kali
ini. Wajahku terlihat lebih galak. Aku mengerutkan bibir, menarik kulit di
bawah mata. Semua terasa asing dan tidak pas, seperti terlalu longgar atau
terlalu kencang. Sepertinya aku harus mengganti letak riasan pipiku lagi nanti.
Aku masih sibuk memeriksa wajah baruku ketika ponselku
bergetar di atas meja kamar mandi. Wajah ibu muncul di layar, meminta panggilan
video. Ia selalu begadang setiap tahun dan menelpon tepat pukul 3:45 untuk
melihat wajah baruku.
“Halo, Sayang!” suaranya bergema di dinding kamar mandi.
“Wah, Ibu suka yang ini! Kamu kelihatan lebih ramping!”
“Halo, Bu.” Aku heran bagaimana ia bisa secerah itu di jam
segini.
“Semuanya berjalan lancar?” tanyanya. “Tidak ada masalah kali
ini?”
“Tidak ada, Bu. Semua baik-baik saja.” Sejak kejadian waktu
kecil—saat kakiku sempat terpelintir ke arah yang salah di kelas empat—ibu
selalu memastikan semuanya berjalan lancar.
“Bagus sekali!” katanya sambil tersenyum lebar. Kamera di
tangannya terlalu dekat dengan wajah, membuat keriputnya tampak jelas.
Sepertinya ia sedang berbaring di tempat tidur. Aku bisa mendengar ayahku
mendengkur di belakang. “Ibu bangga padamu.”
Ia memang selalu mendukung, dari dulu sampai sekarang. Mudah
baginya untuk bersikap begitu—karena ia tidak pernah berubah. Ibu punya wajah
yang sama seumur hidupnya.
“Kamu kelihatan agak familiar,” katanya sambil menyipitkan
mata di balik kacamata bacanya. “Apa kamu pernah punya wajah ini sebelumnya?”
Aku berkedip. Itu pertanyaan baru. Aku belum pernah punya
wajah yang sama dua kali. Kalau bisa, tentu aku sudah memilih satu yang paling
kusuka dan tidak ganti lagi.
“Tidak, Bu. Sepertinya ini baru,” jawabku. Ibu mendekatkan
wajahnya ke layar, menatapku lebih seksama sambil menggigit ujung lidah.
“Kamu yakin? Ibu merasa seperti pernah melihat wajahmu ini di
suatu tempat.”
“Aku anakmu, Bu,” aku menghela napas. “Ibu sudah sering lihat
wajahku.”
Semua ini sudah cukup membuatku pusing. Ditambah pertanyaan
Ibu yang tak henti-henti, rasanya aku hanya ingin tidur. “Bu, aku capek. Besok
aku harus kerja. Aku baik-baik saja, semuanya lancar, dan wajahku juga
baik-baik saja. Boleh aku telepon besok saja?”
“Tentu saja, Sayang!” katanya ceria. “Ibu senang bisa lihat
wajahmu.” (Ha.) “Ibu sayang kamu! Nanti Ibu telepon lagi besok, ya.”
“Aku juga sayang Ibu. Terima kasih sudah menelepon.”
“Istirahatlah! Oh, dan selamat ulang tahun!” katanya sambil
melambaikan tangan ke arah kamera, lalu menutup panggilan.
Aku kini sendirian lagi di kamar mandi, wajahku terlihat
pucat di bawah cahaya putih lampu neon. Aku menatap cermin sekali lagi,
mengamati wajah asing itu—wajah yang harus kuterima selama setahun ke depan.
Wajah orang asing itu menatapku balik, tampak lelah dan agak
sinis. Wajahku kali ini terlihat lebih... masam. Aku menghela napas, mematikan
lampu, lalu berjalan kembali ke kamar.
Aku melepaskan pelapis plastik dari tempat tidur, masuk ke
bawah selimut, dan mencoba mengabaikan rasa aneh udara di jari kakiku yang kini
menjulur keluar karena tubuhku bertambah tinggi. Perubahan itu selalu membuatku
lelah. Dalam sekejap, aku pun tertidur.
Tiga jam kemudian, alarmku berbunyi nyaring dan membuatku
terbangun. Aku sempat memarahi diriku sendiri karena tidak mengambil cuti hari
ini. Aku membuka ponsel—aku memakai sandi angka, bukan pemindai wajah atau
sidik jari—dan mematikan alarm.
Beberapa detik aku hanya menatap langit-langit. Tahun baru,
wajah baru, tapi pekerjaan tetap saja menyebalkan.
Semua pakaianku sekarang tidak pas lagi, karena tubuhku sudah
berubah. Celanaku jadi menggantung di atas mata kaki, dan bajuku tiba-tiba
longgar di bagian dada. Aku menyiapkan sarapan besar untuk mengisi perut.
Perubahannya memang tidak menyakitkan, tapi selalu membuatku sangat lapar
selama beberapa hari setelahnya.
Aku berjalan cepat ke mobil. Ternyata, bertambah tinggi
sedikit membuat langkahku lebih panjang. Beberapa orang menatapku aneh, tapi
itu hal biasa. Para tetanggaku sudah terbiasa melihat perempuan berbeda keluar
dari apartemenku setiap pagi, jadi wajar kalau mereka sedikit heran.
Seorang gadis menatapku dengan mata terbelalak, lalu terkejut
sampai wajahnya pucat. Hmm. Itu reaksi yang agak berlebihan dibanding biasanya.
Aku hampir saja berhenti untuk menjelaskan, tapi teman-temannya langsung
menariknya pergi sebelum aku sempat bicara.
Mobilku jelek dan kotor, tapi sudah banyak menemaniku
menabrak trotoar dan tetap setia menungguku di tempat parkir. Aku merasa mobil
ini lebih cocok dengan wajahku yang dulu. Wajah baruku sekarang seperti lebih
pas untuk mobil yang keren dan tajam, bukan mobil butut seperti ini.
Saat aku duduk di kursi pengemudi, lututku menabrak setir.
Kursinya berdengung pelan saat aku geser ke belakang. Aku melihat sekilas
mataku di kaca spion. Warnanya memang berbeda, tapi lingkaran gelap di bawahnya
selalu sama, tak peduli wajah mana pun yang kupakai.
Perjalanan ke kantor tetap saja menyebalkan, seperti
biasa—dua puluh tujuh menit terjebak macet sambil mendengarkan lagu-lagu pop
campur berita di radio. Ada pengemudi mobil hijau yang tidak mau memberiku
jalan. Aku menekan klakson keras-keras.
“Dasar menyebalkan!” teriakku. Suaraku hampir lebih keras
dari bunyi klakson, dan aku sempat mengacungkan tangan dengan marah saat mobil
kami sejajar. Mobil hijau itu menambah gas dan melesat, meninggalkan asap hitam
pekat.
“…tewas dalam kecelakaan akibat pengemudi mabuk pada pukul
3:15…” suara penyiar radio yang terlalu ceria mulai membacakan berita pagi,
bukan lagu seperti biasanya. Aku mendengus kesal dan mengganti saluran. Dari
berita sedih berpindah ke lagu-lagu lama tahun 70-an. Aku tersenyum kecil saat
berhasil menyalip mobil hijau itu, yang kini terjebak di belakang mobil tua
yang dikendarai seorang nenek.
Hari ini, suasana di kantor terasa lebih kacau dari biasanya.
Jadi asisten di perusahaan humas memang sudah cukup berat—penuh dengan
pekerjaan kecil, pesan kopi, dan permintaan aneh dari atasan. Tapi kali ini ada
ketegangan di udara, seperti akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.
Seorang gadis berlari melewatiku sambil berusaha memperbaiki
hak sepatunya yang patah dengan satu tangan, sementara tangan lainnya mengetik
di ponsel. Di sudut ruangan, anak magang sedang meminta maaf berkali-kali lewat
headset, keringat mengalir di dahinya.
Televisi di dinding menyiarkan berita dengan suara
keras—lebih keras dari biasanya. Manajerku, Lucy, biasanya tidak suka suara
keras karena katanya bisa mengganggu pikirannya. Tapi tampaknya berita pagi ini
terlalu penting untuk dilewatkan. Bahkan pembawa beritanya tampak sedih, rambut
pirangnya lemas, tidak seperti biasanya. Ia sedang melaporkan kematian seorang
selebritas. Aku sudah bisa merasakan pusing di kepala. Aku benar-benar
seharusnya tidak masuk kerja hari ini.
Di tengah kekacauan itu, Holly duduk santai di mejanya,
ponsel di tangan, kaki diangkat ke atas meja, sambil mengunyah permen karet
berwarna biru mencolok. Ia bersenandung pelan lagu K-pop yang agak kukenal.
“Pagi,” sapaku sambil berjalan mendekat ke arah satu-satunya
tempat aman di kantor. “Kamu tahu apa yang sedang terjadi? Sepertinya semua
orang panik.”
“Pagi juga,” jawabnya santai. Ia meniup gelembung besar dan
menggulir layar ponselnya dua kali. “Nggak tahu.” Aku heran bagaimana
resepsionis utama bisa begitu santai di tengah kekacauan ini.
“Kamu sudah suruh orang ambil kopi?” tanyaku. Aku berharap
jawabannya “sudah.”
“Kamu tahu itu tugasmu, kan?” katanya tanpa menatapku. “Satu
caramel frapp dengan krim ekstra, ya.”
“Kayaknya kemarin mereka kehabisan caramel,” kataku.
“Apa?” Ia mendengus dan baru menatapku. Tapi begitu melihat
wajahku, matanya membesar. “Eh, kamu kelihatan beda.”
“Ulang tahunku kemarin, Holly. Kita sudah pernah bahas ini,”
jawabku. Aku tahu keadaanku memang agak aneh, tapi aku sudah bekerja di sini
lima tahun. Seharusnya ia sudah terbiasa. Ia terus menatap wajahku dengan
ekspresi penasaran sambil mengunyah permen.
“Kamu kelihatan agak familiar,” katanya.
“Serius?” Itu sudah kedua kalinya aku mendengar kalimat itu
hari ini.
“Iya, aku merasa pernah lihat wajahmu di suatu tempat…” Ia
menyipitkan mata, lalu tiba-tiba menjentikkan jarinya. “Tahu! Kamu mirip banget
sama sepupuku, Hannah!”
“Itu hal baik atau buruk?” tanyaku. Ia meniup gelembung besar
lagi, dan kali ini meletus di bibirnya.
“Yah, bisa saja lebih buruk,” katanya santai, lalu kembali
fokus ke ponselnya. “Oh iya, Lucy tadi bilang kamu harus mampir ke kantornya
sebelum ambil kopi. Maaf, aku lupa bilang.”
Hebat. Sakit kepalaku makin terasa seperti ditusuk jarum es.
Lucy biasanya sibuk dengan para selebritas dan jarang memperhatikan para
asisten. Kalau dia mau bicara langsung denganku, itu pasti bukan kabar baik.
Tapi aku tidak punya pilihan selain menemuinya.
Saat aku berjalan menuju kantornya, pintu terbuka tiba-tiba
dan Kiersten keluar dengan wajah penuh air mata. Wah, ini pasti pertanda buruk.
Perutku terasa mual, dan sakit kepalaku makin menjadi. Mungkin Lucy sedang
dalam suasana hati untuk memecat orang hari ini, dan giliranku yang berikutnya.
“Masuk!” Suaranya terdengar ceria—terlalu ceria. Aku menarik
napas dan melangkah masuk ke ruangannya.
Kantor Lucy tampak rapi dan tenang, seperti milik orang yang
suka mengatur segalanya dengan ketat. Keyboard-nya warna-warni dan berbunyi
lembut, sementara dari speaker terdengar suara air mengalir yang menenangkan.
Semuanya terasa damai—tapi justru itu membuatku semakin gugup. Aku sudah siap
kehilangan pekerjaan. Membelikan kopi dan membersihkan tumpahan frappuccino
tidak cukup untuk membuatku aman dari pemecatan.
Tapi saat Lucy menoleh, melihatku, lalu langsung menangis,
aku benar-benar terkejut.
“Syukurlah kamu baik-baik saja!” katanya sambil melompat dari
kursinya dan memelukku erat-erat. Aku menepuk punggungnya dengan kikuk.
“Eh… iya, aku baik-baik saja,” jawabku pelan. Lucy memang
tahu tentang “masalah” yang kumiliki, tapi dia tidak pernah terlihat terlalu
khawatir sebelumnya. Setengah dari waktu aku bahkan merasa dia tidak tahu
namaku. Jadi, kenapa sekarang dia sampai menangis?
“Aku benar-benar khawatir,” isaknya.
“Ada apa, Lucy?” tanyaku lembut sambil melepaskan diri dari
pelukannya. “Ini kan memang terjadi setiap tahun. Kemarin ulang tahunku.”
Alis Lucy berkerut. “Ulang tahunmu…?” katanya pelan. Lalu
wajahnya berubah. Air matanya berhenti seketika. Ia melangkah mundur tiga
langkah dengan mata terbelalak ketakutan.
Aku jadi tidak nyaman. Lucy sudah pernah melihat perubahanku
sebelumnya, jadi reaksinya kali ini terasa aneh. Aku sempat berpikir,
jangan-jangan ada yang salah dengan wajahku—mungkin mataku tidak sejajar atau
ada sesuatu yang terlewat saat aku bercermin tadi pagi.
“Tentu saja ini aku, Lucy. Kita sudah pernah bahas hal ini,”
kataku berusaha tenang. Tapi mulutnya tetap terbuka, seolah tidak bisa berkata
apa-apa. Aku sempat berpikir untuk melempar klip kertas ke arah wajahnya agar
ia sadar, tapi tentu aku tidak mau kehilangan pekerjaan.
Tanpa menjawab, ia langsung duduk dan mengetik cepat di
komputernya dengan tangan gemetar. Lalu ia memanggilku untuk melihat layar.
Wajahnya kini tampak tegang.
Di layar itu muncul artikel berita yang baru dipublikasikan
pagi ini. Di tengahnya ada foto besar tentang kecelakaan mobil yang mengerikan.
Judul beritanya berbunyi, “Bintang muda tewas dalam kecelakaan.”
Mulutku langsung kering. Aku membaca isi beritanya dengan
mata melebar.
“Supermodel Megan
Rodgers meninggal dalam tabrakan dengan pengemudi mabuk pada pukul 3:15
pagi tadi. Pihak berwenang masih mencari pelakunya. Jika Anda memiliki
informasi, hubungi nomor di bawah ini.”
Aku mengenal nama itu. Megan
Rodgers adalah salah satu klien baru di kantor kami—bintang terkenal yang
sedang naik daun. Lucy sangat senang ketika berhasil mendapatkan kontraknya.
Aku memang belum pernah bertemu langsung dengannya, tapi aku tahu dia sedang
jadi sorotan di mana-mana.
“Jelaskan ini,” kata Lucy dengan suara tegang.
Aku hanya menatapnya bingung. Kematian seseorang memang
menyedihkan, tapi apa hubungannya denganku?
“Aku tidak mengerti maksudmu,” kataku hati-hati. Rasanya
seperti berjalan di ladang ranjau. Aku merasa akan menghadapi masalah besar,
bukan cuma urusan pekerjaan.
“Sebentar lagi kamu akan paham,” jawab Lucy. Ia menggulir
layar ke bawah. Dan saat itu aku melihatnya—foto di bawah berita itu.
Wajah yang sama. Hidung yang sama. Mata cokelat yang sama.
Lengkungan bibir atas yang sama. Bahkan gigi taring yang sedikit
miring—semuanya sama persis. Tapi yang membuat darahku terasa dingin adalah
hal-hal kecilnya: bentuk bahu, lekuk hidung, garis alis.
Itu wajah yang baru saja kulihat di cermin tadi pagi. Itu
wajahku sekarang. Tapi di foto itu, wajah itu adalah milik seorang wanita yang
sudah mati.
Lucy menatapku tajam. “Aku tahu kamu punya ‘masalah’ unik
setiap tahun,” katanya pelan, “tapi kamu sendiri bisa melihat kenapa ini
membuatku bingung, kan?”
Aku hampir tidak mendengar kata-katanya. Di kepalaku,
pikiranku berputar cepat. Seumur hidup, aku selalu berpikir bahwa setiap
perubahan adalah seperti kelahiran kembali, wajah baru tanpa masa lalu, tanpa
beban. Tapi kini semuanya terasa runtuh. Semua keyakinanku hancur.
Dan saat foto Megan
Rodgers yang sudah tak bernyawa itu menatapku dari layar dengan mata
kosong. Perutku tiba-tiba terasa
mual. Ruangan terasa berputar, dan hawa di kantor mendadak jadi pengap. Aku
menelan ludah, mencoba bicara, tapi lidahku kaku.
“Aku… aku butuh duduk sebentar,” kataku pelan.
Tanpa menunggu izin, aku berjalan keluar dari kantor Lucy dan
menuju mejaku. Tanganku gemetar saat menyalakan komputer. Jantungku berdetak
begitu keras sampai rasanya seluruh kantor bisa mendengarnya.
Aku membuka peramban internet dan mengetik cepat di kolom
pencarian,
“Kematian Megan Rodgers.”
Berita yang muncul semuanya sama. Foto-foto dari tempat
kecelakaan, wajah Megan yang tersenyum di acara-acara besar, dan jam kejadian
yang tertera jelas, 3:15 pagi. Aku menatap layar lama sekali. 3:15. Hanya
berselisih dua belas menit dari waktu perubahanku, 3:27. Tiba-tiba dadaku
terasa sesak. Aku menggigit bibir. Rasanya aneh, seperti sesuatu yang dingin
merayap naik dari ujung kaki ke tengkukku.
Aku menatap jam di pojok layar. Tanggal kematian Megan adalah
hari ulang tahunku. Tangan kananku
menutup mulut. Rasa mual makin menjadi. Aku hampir tak bisa berpikir jernih,
tapi jari-jariku tetap mengetik:
“Kematian pada 11 Oktober pukul 3 pagi.”
Hasil pencarian menampilkan berita-berita lama. Aku menggulir
ke bawah, membuka satu per satu. Seorang wanita meninggal 11 Oktober, tiga
tahun lalu, sekitar pukul 3:20. Aku menatap foto korban itu. Wajahnya mirip
wajahku saat aku berumur dua puluh empat tahun.
Tanganku mulai berkeringat. Aku membuka lagi hasil
berikutnya. Seorang pria tewas dalam kecelakaan empat tahun lalu, juga pada
tanggal ulang tahunku. Aku memperhatikan bentuk matanya, garis rahangnya…
semuanya terasa begitu familiar.
Aku terus menggulir, membuka lebih banyak berita. Tiap tahun.
Tanggal yang sama. Waktu yang hampir sama. Dan di setiap foto, aku melihat
wajah yang pernah jadi milikku. Tubuhku menegang. Aku bersandar di kursi,
napasku tersengal.
Apakah mungkin selama ini wajah-wajahku bukan baru? Apakah
mungkin setiap tahun, saat seseorang meninggal di jam yang sama denganku, wajah
mereka berpindah padaku?
Aku menatap layar komputer yang kini dipenuhi foto-foto orang
mati, semuanya menatap balik dengan mata kosong yang terasa sangat, sangat
familiar. Dan di tengah keheningan kantor yang dingin itu, satu pikiran terus
bergema di kepalaku, berulang-ulang tanpa henti, “Apakah selama ini aku memakai
wajah orang-orang yang sudah mati?”
.jpg)