Cerpen Terjemahan Entri 29
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Sepasang
Kaus Kaki SutraKate
Chopin
Nyonya
Sommers kecil suatu hari mendapati dirinya tiba-tiba memiliki lima belas dolar.
Baginya, jumlah uang yang sangat besar dan cara uang itu menggelembungkan dan
memenuhi dompet tuanya yang usang membuatnya merasa penting, sesuatu yang
bertahun-tahun tidak ia rasakan lagi.
Masalah
mau dipakai untuk apa uang itu sangat menyibukkan pikirannya. Selama satu-dua
hari ia mondar-mandir seperti melamun, padahal sebenarnya ia larut dalam
perhitungan dan rencana. Ia tidak ingin gegabah, melakukan sesuatu yang nanti
ia sesali. Tetapi justru pada jam-jam sepi di malam hari, saat ia terjaga dan
memutar-mutar rencana di kepala, ia merasa jalannya menjadi terang, mengetahui
bagaimana menggunakan uang itu dengan bijak dan tepat.
Satu atau
dua dolar harus ditambahkan untuk harga sepatu Janie, supaya bisa awet dari
biasanya. Ia akan membeli beberapa meter kain perca untuk membuat baju kemeja
baru untuk anak-anak lelakinya, Janie, dan Mag. Sebelumnya ia berniat menambal
yang lama-lama saja dengan jahitan cermat. Mag harus punya gaun baru. Ia sudah
melihat beberapa pola kain yang sangat cantik, benar-benar murah, di etalase
toko. Dan masih akan tersisa cukup uang untuk membeli kaus kaki
baru—masing-masing dua pasang—dan itu akan menghemat banyak waktu menjahit
tambalan untuk sementara waktu!
Ia akan
membelikan topi untuk anak-anak lelakinya, dan topi pelaut untuk anak-anak
perempuannya. Bayangan anak-anaknya tampak segar dan rapi untuk pertama kalinya
dalam hidup mereka membuatnya bersemangat, gelisah, dan sulit tidur karena
penuh harapan.
Tetangga
kadang membicarakan “hari-hari yang lebih baik” yang pernah dialami Nyonya
Sommers kecil sebelum ia terpikir untuk menjadi Nyonya Sommers sesungguhnya. Ia
sendiri tak pernah larut dalam kenangan murung seperti itu. Ia tak punya
waktu—bahkan tidak satu detik pun—untuk melirik ke masa lalu. Kebutuhan hari
ini menyedot seluruh tenaga dan pikirannya. Bayangan masa depan kadang
menerornya seperti monster kurus yang samar.
Nyonya
Sommers adalah orang yang tahu betul nilai barang diskon. Ia bisa berdiri
berjam-jam, maju sedikit demi sedikit menuju barang yang diinginkannya yang
dijual di bawah harga pokok. Ia bisa menyikut sana-sini kalau perlu; ia sudah
belajar cara mencengkeram sepotong kain, memegangnya erat-erat, dan bertahan
dengan kegigihan sampai gilirannya tiba, kapan pun itu. Tapi hari itu ia agak
lemas dan lelah. Ia hanya makan siang ringan—oh, tidak! Setelah dipikir-pikir,
antara memberi makan anak-anak, merapikan rumah, dan menyiapkan diri untuk
belanja besar, ia benar-benar lupa makan siang sama sekali!
Ia duduk
di bangku putar di depan meja penjualan yang relatif sepi, berusaha
mengumpulkan tenaga dan keberanian untuk menerobos kerumunan yang menyerbu
tumpukan kain kemeja dan kain bermotif. Rasa lemas menjalar ke seluruh tubuhnya,
membuatnya menyandarkan tangan begitu saja di atas meja. Ia tidak memakai
sarung tangan. Sedikit demi sedikit ia menyadari bahwa tangannya menyentuh
sesuatu yang lembut, enak disentuh. Ia menunduk dan melihat tangannya bertumpu
pada setumpuk kaus kaki sutra.
Papan
pengumuman di dekatnya memberitahu bahwa harga kaus kaki itu turun dari dua
dolar lima puluh sen menjadi satu dolar sembilan puluh delapan sen. Seorang
gadis muda, yang berdiri di belakang meja, bertanya apakah ia ingin melihat
koleksi kaus kaki sutra mereka. Nyonya Sommers tersenyum, seolah-olah baru saja
ditawari memeriksa mahkota berlian dengan tujuan akhir membelinya. Tapi ia
terus mengelus benda lembut, mengilap, dan mewah itu, bahkan kini dengan kedua
tangan dan sampai mengangkatnya tinggi-tinggi agar berkilau. Dan ia merasakan
bagaimana kain itu meluncur seperti ular melalui jari-jarinya.
Dua
bercak merah tiba-tiba muncul di pipi pucatnya. Ia mendongak menatap gadis itu.
“Apa ada
ukuran delapan setengah?”
Ada
banyak, bahkan lebih banyak daripada ukuran lain. Ada biru muda, ungu muda,
hitam, dan bermacam-macam cokelat muda dan abu-abu. Nyonya Sommers memilih yang
hitam, lalu memandangnya lama dan sangat dekat. Ia berpura-pura memeriksa
teksturnya, yang menurut pegawai toko itu sangat bagus.
“Satu
dolar sembilan puluh delapan sen,” gumamnya keras-keras. “Baiklah, saya ambil
ini.”
Nyonya
Sommers menyerahkan lima dolar pada gadis itu, lalu menunggu kembalian dan
bungkusannya. Alangkah kecilnya bungkusan itu! Seolah-olah tersesat di dalam
tas belanja tua yang sudah lusuh miliknya. Setelah itu, ia tidak lagi menuju
meja barang diskon, melainkan naik lift yang membawanya ke lantai atas, ke
bagian ruang tunggu wanita. Di sudut terpencil, ia mengganti kaus kaki katunnya
dengan sutra baru yang barusan ia beli.
Ia tidak
melalui proses berpikir yang berat atau berdebat dengan diri sendiri, juga
tidak berusaha mencari alasan memuaskan atas tindakannya. Ia sama sekali tidak
berpikir. Seolah-olah untuk sementara waktu, ia beristirahat dari fungsi berat
dan melelahkan bernama “berpikir”, menyerahkan diri pada dorongan mekanis yang
menggerakkan tangan dan kakinya dan membebaskannya dari rasa tanggung jawab.
Alangkah
enaknya sentuhan sutra mentah itu di kulitnya! Ia ingin bersandar di kursi
empuk itu dan menikmati kemewahan sesaat. Ia melakukannya sebentar. Lalu ia
memakai sepatunya kembali, menggulung kaus kaki katun itu jadi satu, dan
memasukkannya ke dalam tas.
Selesai, Nyonya
Sommers langsung menyeberang ke bagian sepatu dan duduk untuk menemukan sepatu
yang sesuai. Ia sangat pemilih. Pegawai toko sampai kebingungan, tidak bisa
sepatu untuknya yang sesuai dengan kaus kaki yang dipakainya. Dan wanita ini
ternyata tidak gampang disenangkan. Ia menahan roknya sedikit, memutar kaki ke
satu arah dan kepala ke arah lain sambil melirik sepatu bot mengilap berujung
lancip itu.
Kaki dan
pergelangan kakinya tampak cantik. Ia sendiri seperti tak percaya bahwa itu
miliknya, bagian dari dirinya. Ia ingin sepatu yang bagus dan modis, katanya
pada pemuda yang melayaninya, dan ia tak keberatan membayar satu-dua dolar
lebih mahal asal sesuai dengan keinginannya.
Sudah
lama Nyonya Sommers tidak membeli sarung tangan yang sesuai dengan tangannya.
Pada kesempatan-kesempatan langka ketika ia membeli sarung tangan, selalu
barang diskon dan sangat murah sehingga tak masuk akal kalau mengharapkan
sarung tangan itu pas di tangan. Kini ia menyandarkan siku di bantalan meja
sarung tangan, dan seorang gadis muda yang cantik dan ramah, lembut serta
cekatan jari-jarinya, menyelimutkan sarung tangan kulit ke tangan Nyonya
Sommers. Ia merapikannya di atas pergelangan tangan, mengancingkannya rapi, dan
keduanya terdiam satu-dua detik, larut mengagumi tangan kecil yang simetris dan
sudah bersarung itu.
Masih ada
tempat lain yang bisa menghabiskan uang. Ada tumpukan buku dan majalah di
etalase kios beberapa langkah dari situ. Nyonya Sommers membeli dua majalah
mahal, jenis yang dulu biasa ia baca pada masa-masa ketika ia terbiasa dengan
hal-hal menyenangkan lainnya. Ia membawanya tanpa dibungkus.
Sebisanya
Nyonya Sommers mengangkat ujung roknya saat menyeberang jalan. Kaus kaki,
sepatu bot, dan sarung tangan itu telah melakukan keajaiban pada cara ia
berdiri dan berjalan, memberinya rasa percaya diri, perasaan bahwa ia termasuk
dalam kelompok orang-orang rapi.
Ia sangat
lapar. Kalau hari biasa, ia pasti menahan rasa lapar itu sampai tiba di rumah,
menyeduh secangkir teh untuk diri sendiri, lalu makan camilan apa saja yang
ada. Tapi dorongan yang menguasainya hari itu sama sekali tidak mengizinkan
pikiran seperti itu muncul.
Ada
restoran di sudut jalan. Ia belum pernah masuk ke sana. Dari luar ia hanya
sesekali melirik taplak meja damask yang bersih sekali, gelas kristal yang
berkilau, dan para pelayan berjalan pelan melayani orang-orang berpakaian
modis.
Ketika ia
masuk, penampilannya tidak menimbulkan kejutan atau kegaduhan apa pun, padahal
ia sempat setengah takut kalau-kalau begitu. Ia duduk sendiri di hadapan meja
kecil, dan seorang pelayan yang sigap mendekat untuk mencatat pesanannya. Ia
tidak ingin berlebihan; ia hanya ingin sesuatu yang enak dan lezat: setengah
lusin tiram blue-point, potongan daging tebal dengan selada air, sesuatu yang
manis, misalnya crème-frappée; segelas anggur Rhine, dan terakhir secangkir
kopi hitam kecil.
Sambil
menunggu pesanan datang, ia melepas sarung tangan dengan santai dan
meletakkannya di samping. Lalu ia mengambil majalah, membuka-bukanya sambil
memotong halaman dengan ujung pisau tumpul. Semua terasa menyenangkan. Taplak
mejanya bahkan lebih bersih daripada yang terlihat dari jendela, kristalnya
lebih berkilau. Ada para wanita dan pria pendiam, makan di meja-meja kecil
seperti mejanya, sama sekali tidak memerhatikannya. Alunan musik lembut
terdengar samar, dan angin sepoi-sepoi masuk dari jendela. Ia mencicipi sedikit
makanan, membaca satu-dua kata, meneguk anggur kuning keemasan, lalu
menggoyang-goyangkan jari kaki di dalam kaus kaki sutra. Harga sudah tidak lagi
terasa penting. Ia menghitung uang untuk pelayan dan meninggalkan satu koin
ekstra di nampan; pelayan itu membungkuk hormat padanya seolah ia berdarah
biru.
Masih ada
sisa uang di dompet, dan godaan berikutnya muncul dalam bentuk poster
pertunjukan matinée. Beberapa saat kemudian ia sudah masuk ke teater.
Pertunjukan mulai dan gedung terasa penuh sesak baginya. Tapi masih ada kursi
kosong di sana-sini, dan ia diantar ke salah satunya, di antara wanita-wanita
berpakaian cemerlang yang datang hanya untuk membunuh waktu, makan permen, dan
memamerkan baju mencolok mereka. Ada pula banyak orang lain yang datang
benar-benar untuk menonton lakon dan aktingnya. Bisa dikatakan tak ada seorang
pun di sana yang bersikap terhadap sekitarnya seperti yang dilakukan Nyonya
Sommers. Ia menyerap semuanya—panggung, para pemain, dan penonton—dalam satu
kesan luas, lalu menikmatinya sepenuhnya. Ia tertawa saat adegan komedi, ia menangis—bersama
wanita mencolok di sebelahnya—saat adegan tragedi. Mereka bahkan mengobrol
sedikit tentang lakon itu. Wanita itu mengusap air mata dan menyeka ingus
dengan sapu tangan renda kecil yang tipis dan wangi, lalu menyodorkan sekotak
permen pada Nyonya Sommers kecil.
Pertunjukan
selesai, musik berhenti, penonton berduyun-duyun keluar. Rasanya seperti mimpi
yang berakhir. Orang-orang berpencar ke segala arah, Nyonya Sommers berjalan ke
sudut jalan dan menunggu trem kabel.
Seorang
pria bermata tajam yang duduk di depannya tampak senang memandangi wajah kecil
dan pucat itu. Ia bingung mencoba membaca apa yang ada di sana. Sebenarnya ia
tidak melihat apa-apa, kecuali kalau ia cukup sakti untuk menangkap satu
keinginan yang menyakitkan, satu kerinduan kuat agar trem kabel itu tak pernah
berhenti di mana pun, melainkan terus melaju bersama dirinya untuk selamanya.
.jpg)