Cerpen Terjemahan Entri 30
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
AbsitAngélica
Gorodischer
Kejadiannya kurang lebih seperti
ini: pria itu berjalan di trotoar lingkungan perumahan. Saat itu awal siang
hari Sabtu dan matahari berada di belakangnya. Ia berhenti di depan sebuah
pagar berwarna hijau, lalu membatin.
Oh tidak, oh tidak, tolong,
jangan lagi, berapa umur anak itu? Tujuh, paling banyak delapan, oh tidak, aku
tidak mau ini.
Pagar itu mengelilingi sebuah
taman kecil dengan sedikit rumput, tidak terlalu terawat, ada semak azalea,
bunga gardenia, dan hampir tidak ada yang lai, kecuali sisa-sisa beberapa bunga
impatiens dan geranium, dan gadis kecil itu sedang bermain dengan boneka
binatang berbulu lebat, tanpa ekor, dan punya banyak kumis. Ia sedang berbicara
pada boneka itu.
Pria itu menyapanya.
“Hai,” katanya.
Gadis itu tidak menjawab.
“Hai,” ulangnya. “Siapa namamu?”
“Ibu bilang aku tidak boleh
bicara dengan orang asing.”
“Itulah sebabnya aku menanyakan
namamu, supaya kita tidak jadi orang asing. Kamu bilang namamu, nanti aku
bilang punyaku.”
Pria itu membatin lagi. Enam
tahun. Tidak lebih dari enam, oh, apa yang harus kulakukan, enam tahun,
tidak lebih, di usia itu mereka lembut, halus, oh, tidak.
“Aku tidak mau bilang apa-apa.”
“Baiklah, jangan bilang apa-apa.
Apakah ibumu ada di rumah?”
“Tidak, beliau pergi ke toko.”
“Kalau begitu kamu bersama
ayahmu.”
Semoga dia bilang ya, bilang dia
bersama ayahnya dan aku akan pergi, aku akan pergi.
“Tidak.”
“Atau bersama pembantu.”
“Apa?”
“Pembantu yang bekerja di
rumahmu.”
“Kami tidak punya pembantu.”
“Jadi kamu bersama siapa?
Nenekmu, bibimu?”
Bukan hanya lembut, bukan hanya
halus. Kecil, semuanya begitu kecil.
“Tidak.”
“Kamu sendirian?”
“Iya.”
“Lihat, aku punya permen. Aku
kasih ke kamu supaya kamu senang, karena kamu sendirian, mau? Rasanya
stroberi.”
“Baik.”
“Aku juga punya boneka. Cantik
sekali, wajahnya dari porselen dan dia punya sepatu kecil dan topi.”
“Aku mau lihat.”
“Nih, aku simpan di saku
mantelku, mau lihat?”
Apa yang mereka punya di antara
kedua kaki itu begitu… begitu kecil sampai sulit. Kau tak bisa melakukannya,
tak bisa pada percobaan pertama dan mereka menangis dan itu membuatnya lebih
buruk.
“Mau.”
“Baik, buka pagarnya dan aku akan
tunjukkan padamu.”
“Itu sudah terbuka, tidak ada
kuncinya, jadi aku tidak akan terkunci di dalam.”
“Baguslah kalau begitu.”
Pria itu mendorong pagar dan
masuk ke taman. Ia masih berpikir tidak, tidak, semoga tidak, tapi ia
tahu jawabannya ya. Ia hampir bisa merasakan kulit gadis kecil itu di
ujung jarinya: sutra, satin, manis, hangat, aku tidak mau, katanya dalam
hati, aku tidak mau ini terjadi padaku lagi, tapi ia sudah sendirian,
sendirian di dunia di mana tidak ada apa pun selain taman itu, dan ia bertanya
pada dirinya sendiri di mana ia bisa membawanya.
“Biar aku lihat bonekanya.”
“Sini, aku tunjukkan sebentar
lagi, kasih tanganmu dan kita sembunyi di belakang tanaman, supaya tidak ada
yang bisa lihat kita, karena kalau salah satu tetanggamu lihat, dia bakal iri.”
“Kalau begitu ayo ke belakang
rumah.”
“Ke belakang?”
Hati-hati, katanya pada diri sendiri. Kau
tidak tahu tempat ini, hati-hati, kau tidak mau yang terjadi dengan adik Lucy
terulang lagi.
“Mereka mau membangun gedung di
tanah belakang itu, tapi karena ini hari Sabtu, tidak ada siapa-siapa di sana.”
“Kita harus masuk rumah?”
“Tidak, kita lewat sini saja, di
samping, ayo, nanti kau bisa tunjukkan bonekanya.”
“Ah, ada pohon dan segala macam.”
“Mereka mau menebangnya. Ibu
bilang mereka bodoh.”
“Ibumu benar. Dia selalu benar,
kan?”
Ibu itu. Kenapa ibunya tidak
datang? Tidak, jangan sekarang, jangan biarkan dia datang.
“Aku tidak tahu. Ibu bilang aku
tidak boleh ambil permen kalau ada yang ngasih. Dan semua laki-laki itu jahat.
Mereka babi, katanya.”
“Yah, tidak semuanya seburuk itu.
Ada orang baik dan ada yang jahat. Ayahmu orang baik, kan?”
“Ayahku tidak tinggal bersama
kami. Tunjukkan bonekanya. Apakah dia punya gaun biru?”
“Apa? Ya, biru. Sebenarnya aku
meninggalkannya di rumah, tapi…”
“Kau juga jahat. Kau bilang
bonekanya ada di sakumu, tapi ternyata tidak ada.”
“Yah, tidak, tapi kau akan lihat
betapa baiknya aku, sini, ayo ke belakang pohon itu dan aku akan tunjukkan
sesuatu yang lebih indah dari boneka.”
“Hati-hati, di sana ada sumur.
Katanya itu stern.”
“Cisterna.”
“Itu dia. Stern, dan katanya
dalam sekali, sangat, sangat dalam. Mereka akan menutupnya dengan semen dan
tanah dan batu, kata Pak Laws.”
“Pak Laws?”
“Mandor. Dan dia bilang di bawah
itu ada air. Dan kodok. Dan ibu bilang semoga cepat ditutup karena pasti ada
tikus dan kalajengking.”
“Kalajengking. Ayo, kita ke
sana.”
“Hati-hati, itu sumurnya, lihat?”
“Hmmmm. Ya. Tidak kelihatan
begitu dalam.”
“Oh, itu sangat, sangat dalam,
sampai ke sisi dunia yang lain.”
“Tentu saja, gadis kecil, tentu
saja, ayo, kita pergi.”
“Lihat, lihat betapa dalamnya.”
“Ya, ya, baik, baik, aku lihat,
memang dalam sekaliii.”
Pria itu membungkuk, ia menatap
ke bawah, jauh ke kedalaman sumur. Jantung pria itu berpacu turun ke dasar
sumur yang adalah tubuhnya sendiri. Lalu gadis kecil itu mendorongnya; menaruh
kedua tangannya yang mungil di pinggang pria itu dan mendorong sekuat tenaga.
Pria itu berteriak saat jatuh dan gadis itu berlutut di tepi sumur dan menatap
ke bawah.
“Apakah ada kalajengkingnya?”
tanyanya.
“Dasar anak ingusan sialan,
keluarkan aku dari sini!”
Tidak, mana mungkin dia bisa
mengeluarkannya. Pria itu sadar gadis itu tidak akan mampu menolongnya keluar
dari sana. Ia mendongak. Wajah gadis itu tampak jelas, sangat jelas di atas
tepian, berlatar langit biru Sabtu siang, Sabtu yang sepi, tanpa siapa-siapa di
sekitar. Tidak ada siapa pun kecuali seorang gadis kecil yang lembut dan halus.
Ia menatap ke atas. Enam meter,
mudah, mudah, jauh lebih tinggi dari langit-langit ruangan. Bagaimana ia bisa
keluar dari sana?
“Pergi cari seseorang, ayo,
cepat!”
Gadis itu tidak bergerak.
“Ayo, dengarkan aku, gadis kecil,
pergi cari seseorang, tetangga, atau orang yang jaga kios koran di depan.”
“Tidak ada kios koran di depan,
kios koran itu di blok lain.
“Ayo, ayo, gadis kecil, pergi
beri tahu orang di kios koran bahwa ada kecelakaan, bilang dia datang, bawa
tali, tidak, tangga, tidak, lebih baik tali, cepat.”
“Oke,” kata gadis itu, “tapi,
apakah ada kalajengking di bawah sana?”
“Tidak, tidak ada. Ayo, sayang,
pergi cari orang kios koran itu, bilang dia bawa tali, bawa tali karena ada
kecelakaan.”
Wajah gadis itu lenyap dan pria
itu benar-benar sendirian, bahkan tidak ada kalajengking. Ia menatap tangannya,
menengok sekeliling. Gelap, sangat gelap. Ia sadar berdiri di lumpur, lumpur
encer dan berlendir, dan sepatunya basah kuyup dan air masuk membuat kakinya
dingin, dasar anak ingusan itu harus segera kembali, orang kios koran, apakah
dia akan memberitahunya tentang tali?
Dan apa yang akan kukatakan pada
orang kios koran itu ketika dia datang? Kecelakaan. Bagaimana aku bisa jatuh,
kenapa aku ada di sini? Akan kukatakan aku datang dari jalan lain, aku masuk
mau kencing karena hampir ngompol dan kulihat tidak ada orang di sini lalu aku
masuk dan menginjak tepi itu dan terjatuh, itulah yang akan kukatakan padanya
dan kuharap anak ingusan itu tidak memberitahunya apa-apa atau bicara soal
permen atau boneka, astaga, cepatlah, dia nungguin apa, dasar anak kecil
sialan.
Ia mendongak dan itu sebuah
kesalahan. Tenggorokannya mengencang ketika ia memikirkan tembok batu telanjang
yang bisa jatuh menimpanya dan menguburnya hidup-hidup, kenapa tidak, seperti sebuah
ruang bawah tanah, seperti sel, sebuah kubur, si gadis, gadis jahat itu harus
buru-buru, tidak, lihat pak, yang terjadi adalah aku hampir ngompol dan kulihat
tidak ada siapa-siapa di tanah itu tapi pertama aku perlu tali, seseorang,
seseorang yang kuat dan bisa menarik tali itu.
Dua jam berlalu dan mulai gelap
di luar, di atas sana. Sementara itu pria itu menggesekkan tangannya di
sepanjang tembok sumur dan mendapati terbuat dari batu. Batu-batu kasar, tidak
beraturan yang merapat kepadanya, tapi tidak memberi lubang di mana ia bisa
menempatkan kaki atau menyangga diri dan mencoba memanjat. Gadis itu, si anak
ingusan tak berguna yang telah mendorongnya, di mana si tolol gila itu yang
tidak pergi mencari orang kios koran. Matahari mulai tenggelam.
“Teriak,” pikirnya. Aku
akan berteriak, pasti ada yang mendengar. Ia berteriak dan berteriak, ia
berteriak tolong dan selamatkan aku dan hal-hal lain dan ia memanggil gadis itu
tetapi tidak ada yang mendengarnya. Hari Sabtu, itu Sabtu siang. Tidak, tidak,
tidak mungkin, mereka tidak bisa meninggalkanku di sini sampai besok, besok
minggu dan juga tidak akan ada siapa-siapa, anak itu harus kembali, dia harus
memberitahu seseorang apa yang dilakukannya, jika dia memberitahu ibunya,
misalnya, ibunya pasti datang untuk melihat, tetapi bagaimana kalau ibunya
tidak percaya? berkata, berhenti mengada-ada, Nak; bagaimana kalau ibunya tidak
percaya dan mereka makan dan pergi tidur dan aku tetap di bawah sini?
“Ibu!” Ia berteriak.
“Ibu! Tolooong, di siniii, ke
siniii!”
Dan langit malam hitam seperti
belum pernah ia lihat sebelumnya, hitam dan penuh bintang, banyak, begitu
banyak.
Ya Tuhan, biarlah seseorang
datang, biarlah perempuan itu percaya pada anak gadisnya, tolong, Tuhan, aku
tidak akan pernah, tidak akan pernah lagi menyentuh gadis kecil, tidak pernah
lagi, aku tidak akan pernah menyakiti anak perempuan lagi, aku janji kalau aku
punya dorongan itu aku akan cari pelacur, tapi tidak, tidak pernah anak kecil,
tidak, aku tidak bisa tetap di sumur ini sampai hari Senin ketika para pekerja
datang, tidak, tidak, aku akan mati, mati tidak apa-apa tapi jangan di sini,
jangan dengan cara ini, tidak, kumohon Tuhan, dengarkan aku, buat seseorang
datang.
Dan ia terus berteriak. Ia
berteriak lama sekali, sampai tenggorokannya kering dan ia mulai menelan ludah
untuk mencoba melembapkannya lagi agar bisa terus berteriak. Tapi ia sudah
tidak sanggup lagi, dan langit tetap hitam penuh bintang, takhta Tuhan seperti
yang pernah dikatakan orang padanya, tapi tidak, bukan Tuhan, Tuhan pun tidak
mendengarnya. Ia basah kuyup, kuyup oleh air dan lumpur dan keringat, seluruh
tubuhnya sakit. Perutnya sakit. Ia ingin ke kamar mandi.
Ke kamar mandi, lelucon macam apa
itu!
Ia tertawa keras. Kamar mandi! Ia
terjebak di dasar sumur enam meter dan ia ingin kamar mandi, ingin menurunkan
celana dan mengeluarkan semua yang ada di perutnya.
Percaya padaku, Pak Polisi, yang
kuinginkan cuma buang air besar dan kulihat tak ada siapa-siapa di tanah itu.
Ia merasakan kram tajam dan
diserang rasa mual. Sesuatu di dalam tubuhnya bergerak dan mencoba keluar.
Jijik, takut, semuanya, air berlumpur itu, dinding sumur itu.
“Perempuuuuaan!” teriaknya lagi.
Tapi ia tahu perempuan itu tidak akan mendengarnya. Bukan dia, bukan siapa pun.
Bahkan bukan gadis kecil itu.
Gadis kecil itu muncul di atas,
di bibir sumur.
“Akhirnya kau kembali,” kata pria
itu. “Apa kau sudah bilang ke orang kios koran supaya bawa tali?”
Gadis itu tidak bergerak, tidak
bicara, tidak melakukan apa pun di bawah langit hitam pekat penuh bintang. Tapi
ia berubah, ya, berubah. Bintang-bintang tampak seperti sesendok sup, datang
dan menumpahkan sup bintang di atas kepala kecil bundar yang menunduk di tepi
sumur. Tiba-tiba gadis itu putih, atau keperakan, ya, itu dia, dan bercahaya,
seperti langit. Oh, para malaikat, itu malaikat, ia tahu Tuhan akan
mendengarnya, mereka datang untuk menyelamatkannya.
“Tidak apa-apa!” ia berteriak.
“Tak perlu tali! Mereka datang!” teriaknya. “Keluarkan aku dari sini!
Perempuuuuan! Perempuuuan!”
Ia terisak. Ia merasakan sesuatu
yang panas dan menyakitkan di bagian belakang celananya dan ia mulai menangis.
Ia menangis dan berteriak. Yang terburuk bukanlah perasaan bahwa ia akan mati,
yang terburuk adalah berharap agar ia tidak mati. Tidak tahu harus berbuat apa
atau bagaimana agar tidak mati.
“Bu,” katanya, tak lagi
berteriak, “bu, keluarkan aku dari sini, aku tidak akan melakukan apa pun pada
anak perempuanmu, tidak sama sekali, tapi keluarkan aku dari sini, suruh Tuhan
datang, kirim malaikat-Nya untuk mengangkatku, tidak ada kalajengking, mereka
tidak perlu takut, tidak ada, bu, tolong datang.”
Setelah itu, keadaan hening dan
hari Minggu terasa seperti setiap hari Minggu lainnya. Gadis kecil itu dan
ibunya pergi ke rumah Nenek Emilia dan mereka pulang sangat larut, tetapi sang
ibu tidak khawatir karena hari Senin adalah hari libur dan si gadis tidak perlu
pergi ke taman kanak-kanak, jadi mereka tidur sampai cukup siang. Cuacanya
dingin, memang, dingin yang tak terduga untuk waktu itu dalam setahun dan
menjelang sore sedikit turun hujan.
“Nyonya,” kata Tuan Laws,
“bolehkah saya menggunakan telepon Anda?”
Dia sudah pernah memintanya
beberapa kali sebelumnya dan perempuan itu pernah mengizinkannya masuk ke
dapur. Ia adalah orang yang baik, Tuan Laws bertubuh besar, berkulit gelap,
dengan senyum yang ramah, sangat sopan. Ia bahkan pernah meminta maaf atas
kebisingan yang kadang mereka timbulkan dengan alat penggali atau gergaji.
“Tentu saja, Tuan Laws, masuklah.
Mau kopi? Saya baru saja membuatnya.”
“Terima kasih, Nyonya, tapi kami
tadi baru saja rapat dengan insinyur, begini, dan sekarang saya perlu
menghubungi kantor perusahaan untuk mencari tahu apa yang harus kami lakukan,
ada sesuatu di dasar sumur, tampaknya seekor hewan besar, saya bilang itu
anjing.”
“Oh, merepotkan sekali.”
“Ya, itu tidak bergerak, pasti
sudah mati, tapi kami harus mengeluarkannya, kami berencana untuk mulai
menimbunnya sore ini.”
“Baiklah, silakan lakukan
panggilan Anda, saya sudah mengantar anak saya ke sekolah dan sekarang saya
akan ke kantor, tapi saya akan kembali sekitar tengah hari.”
“Terima kasih, Nyonya, dan maaf
sudah merepotkan Anda.”
Orang yang baik, Tuan Laws.
Semoga saja mereka bisa mengeluarkan anjing itu dari sumur. Tentu saja, akan
jadi masalah kalau hujan turun lagi. Sumur itu memang selalu berbahaya, selalu.
.jpg)