Cerpen Terjemahan Entri 31
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Mereka yang Pergi dari OmelasUrsula K. Le Guin
Dengan gemuruh
lonceng yang membuat burung layang-layang terbang membubung, Festival Musim
Panas pun datang ke kota Omelas, yang menara-menara cemerlangnya menghadap
laut. Deretan kapal di pelabuhan berdenting riang, berkilau dengan bendera. Di
jalan-jalan, di antara rumah beratap merah dan dinding-dinding berwarna, di
antara kebun tua yang ditumbuhi lumut dan di bawah deretan pepohonan, melewati
taman-taman besar dan gedung-gedung umum, arak-arakan bergerak.
Sebagian tampak
berwibawa. Para lansia dalam jubah panjang kaku berwarna ungu kusam dan kelabu,
para ahli yang serius, para perempuan ramah yang tenang, membawa bayi-bayi
mereka sambil mengobrol sepanjang langkah. Di jalan-jalan lain musik berdentam
lebih cepat, gong dan rebana menderu, dan orang-orang menari; arak-arakan itu
sendiri adalah sebuah tarian. Anak-anak berkejaran keluar masuk barisan,
lengking teriakan mereka melambung seperti lintasan silang burung layang-layang
di atas musik dan nyanyian.
Semua arak-arakan itu
berkelok menuju sisi utara kota. Di padang yang luas bernama Green Fields, para
remaja laki-laki dan perempuan, telanjang dalam udara yang terang, dengan kaki
dan mata kaki berlumur lumpur serta lengan panjang yang lentur, melatih kuda-kuda
gelisah mereka sebelum perlombaan. Kuda-kuda itu tak mengenakan perlengkapan
apa pun selain tali kekang tanpa batang. Surai mereka dikepang dengan pita-pita
perak, emas, dan hijau. Mereka mengembangkan lubang hidung, meliuk-liuk, pamer
satu sama lain; mereka sangat bersemangat—kuda adalah satu-satunya hewan yang
telah mengadopsi upacara-upacara kita seolah itu miliknya sendiri.
Jauh di utara dan
barat, pegunungan berdiri melingkari Omelas. Udara pagi begitu jernih hingga
salju yang masih bertakhta di Delapan Belas Puncak memancarkan nyala putih
keemasan, melintasi udara cerah bermil-mil jauhnya di bawah biru gelap langit.
Angin bertiup secukupnya dan sesekali membuat panji-panji penanda lintasan
balap berderak dan berkibar.
Dalam kesenyapan
padang hijau yang luas itu, seseorang dapat mendengar musik berliku sepanjang
jalan-jalan kota, jauh ataupun dekat, makin lama makin mendekat; sebuah
keceriaan lembut dan samar menggetarkan udara dari waktu ke waktu, menghimpun
diri, lalu pecah menjadi dentang lonceng besar dan penuh sukacita
Sukacita?
Bagaimana orang dapat
menceritakan sukacita? Bagaimana menggambarkan warga Omelas? Mereka bukan
rakyat sederhana, meski mereka bahagia. Namun kita kini jarang mengucapkan
kata-kata ceria. Semua senyuman telah menjadi kuno.
Dengan gambaran
seperti ini orang cenderung membuat sejumlah asumsi. Dengan gambaran seperti
ini orang biasanya mencari sang Raja yang menunggang kuda jantan agung dan
dikawal para ksatria bangsawan, atau mungkin berbaring di tandu emas dan
dipanggul para budak berotot besar. Namun tak ada raja. Mereka tidak memakai
pedang, tidak memelihara budak. Mereka bukan barbar. Aku tidak tahu aturan dan
hukum masyarakat mereka, tetapi kuduga jumlahnya sangat sedikit. Sebagaimana
mereka hidup tanpa monarki dan perbudakan, mereka juga hidup tanpa bursa saham,
tanpa iklan, tanpa polisi rahasia, dan tanpa bom.
Namun, sekali lagi,
mereka bukan rakyat sederhana, bukan para gembala lembut, bukan “bangsa mulia”
liar, bukan pula kaum utopis polos. Kerumitan mereka tidak kalah dibanding
kita. Masalahnya, kita punya kebiasaan buruk—didukung para pedant dan kaum
cerdik-pandai—untuk menganggap kebahagiaan sebagai sesuatu yang agak dungu.
Hanya rasa sakit yang dianggap intelektual, hanya kejahatan yang dianggap
menarik.
Inilah pengkhianatan
sang seniman, penolakan untuk mengakui banalitas kejahatan dan kebosanan
mengerikan dari rasa sakit. Jika kau tak bisa mengalahkan mereka, bergabunglah
dengan mereka. Jika itu menyakitkan, ulangilah. Namun, memuja keputusasaan
berarti menghukum kegembiraan, merangkul kekerasan berarti melepaskan pegangan
atas segala yang lain. Kita hampir kehilangan pegangan itu; kita tak lagi mampu
menggambarkan manusia bahagia atau bersukacita. Bagaimana aku bisa menceritakan
kepadamu tentang orang-orang Omelas?
Mereka bukan orang
naif yang bahagia—meski anak-anak mereka memang bahagia. Mereka adalah orang
dewasa yang matang, cerdas, bersemangat, dan hidup mereka tidak sengsara.
Oh, sebuah keajaiban!
Aku berharap bisa
menggambarkannya dengan lebih baik. Aku berharap bisa meyakinkanmu. Omelas
terdengar dalam kata-kataku seperti sebuah kota dalam dongeng, lama sekali dan
jauh di sana, pada suatu masa. Mungkin lebih baik jika kau membayangkannya
sesuai seleramu, sepanjang imajinasimu sanggup bangkit menunaikan tugasnya,
sebab aku tak dapat memuaskan semua orang. Misalnya, bagaimana dengan
teknologi? Aku kira tak akan ada mobil atau helikopter di dalam atau di atas
jalan; ini mengikuti kenyataan bahwa penduduk Omelas adalah orang-orang
bahagia. Kebahagiaan bersandar pada pembedaan yang adil antara apa yang perlu,
apa yang tak perlu namun tak merusak, dan apa yang merusak. Pada kategori
tengah—yang tak perlu namun tak merusak, wilayah kenyamanan, kemewahan,
kegembiraan, dan sebagainya—mereka bisa saja memiliki pemanas sentral, kereta
bawah tanah, mesin cuci, dan segala jenis perangkat menakjubkan yang belum
ditemukan di sini: sumber cahaya melayang, tenaga tanpa bahan bakar, obat flu
yang mujarab. Atau mereka sama sekali tak memiliki itu semua. Tak masalah.
Sesuka imajinasimu saja.
Aku cenderung
berpikir orang-orang dari kota-kota di sepanjang pesisir datang ke Omelas dalam
hari-hari terakhir sebelum Festival, dengan kereta-kereta kecil yang sangat
cepat dan trem bertingkat dua; stasiun kereta Omelas adalah bangunan tercantik
di kota itu, meski lebih sederhana ketimbang Pasar Petani yang megah. Namun,
sekalipun kita menerima keberadaan kereta, kuduga Omelas sejauh ini mungkin
terdengar terlalu manis bagi sebagian dari kalian. Senyuman, lonceng, parade,
kuda—meh. Kalau begitu, tambahkan pesta pora jika itu memang membantu, jangan
ragu. Namun jangan, misalnya, kau hadirkan kuil-kuil yang dari sana keluar para
imam dan imam perempuan telanjang, setengah dalam kondisi mabuk dan siap
bersetubuh dengan lelaki atau perempuan mana pun, kekasih atau orang asing,
yang menginginkan penyatuan dengan inti ketuhanan darah. Lebih baik jika tak
ada kuil apa pun di Omelas, atau setidaknya tak ada kuil yang diurus manusia.
Agama "oke", pendeta "no way".
Tentu si para
telanjang yang elok dapat berkeliaran begitu saja, menawarkan tubuh mereka.
Biarkan mereka bergabung dalam arak-arakan. Biarkan rebana ditabuh di atas
persetubuhan, dan gemuruh hasrat diumumkan lewat gong, dan (ini hal yang tidak
sepele) biarkan anak-anak yang lahir dari ritual-ritual mengagumkan itu
dicintai dan diasuh oleh semua.
Satu hal yang kutahu
tidak ada di Omelas adalah rasa bersalah.
Namun apalagi yang
seharusnya ada? Awalnya kupikir tak ada obat-obatan, tetapi itu terlalu
puritan. Bagi mereka yang menyukainya, keharuman lembut yang mendesak dari
narkotika boleh saja mewangikan lorong-lorong kota—narkotika yang mula-mula
membawa keringanan dan kecemerlangan besar bagi pikiran dan tubuh, lalu setelah
beberapa jam menghadirkan kelambanan memabukkan, dan pada akhirnya
penglihatan-penglihatan menakjubkan akan rahasia terdalam dan paling gaib dari
Alam Semesta, selain juga membangkitkan kenikmatan seksual melampaui segala
bayangan; tapi itu kita bikin tidak menimbulkan ketagihan.
Untuk selera yang
lebih sederhana, kupikir pasti ada bir. Apalagi, apalagi yang pantas ada di
kota penuh sukacita ini? Rasa kemenangan, tentu saja, perayaan keberanian.
Namun sebagaimana kita meniadakan pendeta, ayo kita juga meniadakan tentara.
Sukacita yang dibangun dari pembantaian bukanlah sukacita yang tepat. Itu tidak
pantas, menakutkan dan remeh. Kepuasan tanpa batas dan penuh kemurahan hati,
kejayaan lapang hati yang dirasakan bukan melawan musuh luar, melainkan dalam
persekutuan bersama yang terbaik dan terindah dalam jiwa semua manusia di mana
pun, serta dengan keagungan musim panas dunia; inilah yang membuncahkan hati
orang-orang Omelas, dan kemenangan yang mereka rayakan adalah kemenangan hidup
itu sendiri. Kupikir tidak banyak dari mereka yang perlu mengonsumsi narkotika.
Sebagian besar
arak-arakan kini telah mencapai Green Fields. Aroma masakan yang luar biasa
semerbak dari tenda-tenda merah dan biru para penyedia makanan. Wajah anak-anak
kecil lengket dengan manis. Di jenggot kelabu seorang pria tersangkut beberapa
remah pastry yang enak. Para pemuda dan gadis telah menaiki kuda mereka dan
mulai berkumpul di sekitar garis start perlombaan. Seorang perempuan tua,
kecil, gemuk, dan tertawa, membagikan bunga dari sebuah keranjang, dan para
lelaki muda yang tinggi mengenakannya di rambut mereka yang berkilau. Seorang
anak, sembilan atau sepuluh tahun, uduk di pinggir kerumunan memainkan seruling
kayu.
Orang-orang berhenti
untuk mendengar. Mereka tersenyum, tetapi tidak bicara kepadanya karena ia tak
pernah berhenti bermain dan tak pernah melihat mereka; mata hitamnya sepenuhnya
terpikat oleh sihir lembut dari melodinya. Ia selesai bermain, dan perlahan
menurunkan tangannya yang memegang seruling kayu.
Seolah keheningan
kecil itu menjadi isyarat, tiba-tiba terdengar sebuah terompet dari paviliun
dekat garis start: nada yang memerintah, muram, dan menembus. Kuda-kuda berdiri
di atas kaki-kaki ramping mereka, sebagian meringkik sebagai jawaban. Dengan wajah
serius, para joki muda membelai leher kuda dan menenangkan mereka, berbisik,
“Tenang, tenang, wahai cantikku, harapanku…” Mereka mulai berbaris rapi di
sepanjang garis start. Kerumunan di sepanjang lintasan balap seperti hamparan
rumput dan bunga yang tersapu angin. Festival Musim Panas telah dimulai.
Apa kau percaya? Apa
kau menerima festival itu, kota itu, sukacita itu? Tidak? Kalau begitu, izinkan
aku menggambarkan satu hal lagi.
Di sebuah ruang bawah
tanah, di satu bangunan umum Omelas yang indah, atau mungkin di gudang bawah
salah satu rumah pribadi yang luas, ada sebuah kamar yang memiliki satu pintu
terkunci dan tanpa jendela. Cahaya berdebu merembes melalui celah-celah papan,
cahaya pinjaman dari sebuah jendela berdebu sarang laba-laba di seberang ruang
bawah tanah. Di satu sudut kamar kecil itu berdiri sepasang pel—kepala mereka
kaku, menggumpal, berbau busuk—di dekat sebuah ember berkarat. Lantainya tanah,
agak lembap bila disentuh, sebagaimana biasanya tanah di ruang bawah tanah.
Kamar itu sekitar
tiga langkah dan lebarnya dua, terdapat sebuah lemari sapu atau ruang perkakas
yang tak terpakai. Di dalam kamar itu, seorang anak duduk. Bisa jadi laki-laki
atau perempuan. Ia berusia enam tahun, atau mungkin hampir sepuluh. Ia lemah pikiran,
mungkin terlahir cacat, atau menjadi dungu karena ketakutan, kurang gizi, dan
pengabaian. Ia mengupil dan kadang-kadang meraba-raba jari kaki atau alat
kelaminnya dengan bingung, sambil duduk membungkuk di sudut yang paling jauh
dari ember dan dua pel itu.
Ia takut pada pel. Ia
menganggapnya mengerikan. Ia memejamkan mata, tetapi ia tahu pel-pel itu masih
berdiri di sana; dan pintu itu terkunci; dan tak seorang pun akan datang. Pintu
itu selalu terkunci; dan tak ada siapa pun yang pernah datang, kecuali kadang-kadang—sang
anak tak memahami waktu atau jarak antar kejadian—kadang-kadang pintu bergetar
hebat dan terbuka. Satu orang atau beberapa orang muncul di sana. Salah satu
mereka mungkin masuk dan menendang anak itu agar ia berdiri. Yang lain tak
pernah mendekat, tetapi mengintip dengan tatapan takut dan jijik. Mangkuk
makanan dan kendi air diisi dengan tergesa-gesa, pintu dikunci kembali; mereka
lenyap. Orang-orang di pintu tidak pernah mengatakan apa pun, tetapi anak itu,
yang tidak selalu tinggal di ruang perkakas itu, dan masih mengingat sinar
matahari dan suara ibunya, kadang bicara. “Aku akan bersikap baik,” katanya.
“Tolong biarkan aku keluar. Aku akan baik!” Mereka tak pernah menjawab.
Dulu, pada petang
hari, sang anak sering berteriak minta tolong dan menangis. Namun, ia kini
hanya mengeluarkan suara semacam rengekan, “eh-haa, eh-haa." Dan ia makin
jarang bicara. Tubuhnya begitu kurus hingga betis pun tak lagi tampak; perutnya
menonjol. Ia hidup dari setengah mangkuk bubur jagung dan lemak per hari. Ia
telanjang. Bokong dan paha dipenuhi luka bernanah karena ia terus-menerus duduk
di kotorannya sendiri.
Seluruh warga Omelas
tahu anak itu ada di sana, sebagian pernah singgah melihatnya, sebagian
lain cukup puas hanya mengetahui keberadaannya. Mereka semua tahu bahwa anak
itu harus di sana. Sebagian memahami alasannya, sebagian tidak, tetapi semua memahami
bahwa kebahagiaan mereka, keindahan kota mereka, kelembutan persahabatan
mereka, kesehatan anak-anak mereka, kebijaksanaan para cendekiawan,
keterampilan para pembuatnya, bahkan kelimpahan panen dan cuaca ramah langit
mereka, semua bergantung sepenuhnya pada nestapa menjijikkan anak itu.
Hal ini biasanya
dijelaskan kepada anak-anak ketika mereka berusia antara delapan hingga dua
belas tahun, atau kapan pun jika mereka tampak mampu memahami; dan kebanyakan
yang datang melihat anak itu adalah kaum muda, meski tak jarang seorang dewasa
datang, atau datang kembali, untuk melihatnya. Tak peduli seberapa baik
persoalan ini dijelaskan, para penonton muda itu selalu terkejut dan jijik
ketika melihatnya. Mereka merasa muak, yang semula mereka kira telah mereka
lampaui. Mereka merasakan amarah, keterkejutan, tidak berdaya, meski semua
penjelasan telah diberikan. Mereka ingin melakukan sesuatu untuk anak itu.
Tidak ada yang dapat
mereka lakukan. Jika anak itu, dari tempat busuknya, dibawa keluar ke bawah
sinar matahari dari tempat yang busuk itu, jika ia dibersihkan dan diberi makan
dan dihibur, itu tentu sebuah kebaikan; tetapi jika itu dilakukan, pada hari dan
jam itu juga seluruh kemakmuran, keindahan, dan kegembiraan Omelas akan layu
dan binasa. Itulah syaratnya. Menukar seluruh kebaikan dan anugerah dari setiap
kehidupan di Omelas demi satu perbaikan kecil bagi satu anak: membuang
kebahagiaan ribuan orang demi secercah kesempatan bagi kebahagiaan seorang
saja: itu benar-benar akan membiarkan rasa bersalah memasuki tembok kota.
Syarat itu keras dan
mutlak; bahkan sepatah kata baik pun tak boleh diucapkan kepada anak itu.
Sering kali para
pemuda pulang sambil menangis, atau dalam kemarahan tanpa air mata, setelah
melihat sang anak dan menghadapi paradoks mengerikan ini. Mereka mungkin
memikirkannya berminggu-minggu atau bertahun-tahun. Namun seiring waktu mereka
mulai menyadari bahwa sekalipun anak itu dibebaskan, ia tak akan mendapat
banyak kebaikan dari kebebasannya: sedikit kenikmatan samar dari kehangatan dan
makanan, tentu, tetapi tak lebih banyak dari itu. Ia terlalu rusak dan dungu
untuk mengetahui sukacita sejati. Ia telah terlalu lama ketakutan untuk pernah
bebas dari rasa takut.
Kebiasaannya terlalu
liar untuk memungkinkan respons terhadap perlakuan manusiawi. Bahkan, setelah
begitu lama, ia mungkin justru menderita tanpa tembok yang melindunginya, tanpa
kegelapan bagi matanya, tanpa kotorannya sendiri sebagai tempat duduknya. Air
mata mereka atas ketidakadilan yang pahit mengering ketika mereka mulai melihat
keadilan mengerikan dari kenyataan, dan menerimanya. Namun justru air mata dan
kemarahan itu, ujian bagi kemurahan hati mereka dan penerimaan atas
ketidakberdayaan mereka, mungkin merupakan sumber sejati dari keagungan hidup
mereka. Kebahagiaan mereka bukanlah kebahagiaan kosong dan tak bertanggung
jawab. Mereka tahu bahwa mereka, seperti halnya sang anak, tidak bebas. Mereka
mengenal belas kasih. Keberadaan anak itu, dan pengetahuan mereka akan
keberadaannya, yang memungkinkan keluhuran arsitektur mereka, kepedihan indah
musik mereka, kedalaman ilmu mereka. Karena anak itulah mereka begitu lembut
kepada anak-anak lainnya. Mereka tahu bahwa jika makhluk malang itu tidak berada
di sana, merengek dalam gelap, maka anak yang satu lagi, si peniup seruling,
tak kan mampu menghasilkan musik riang, ketika para penunggang muda berbaris
dalam keindahan mereka untuk memulai perlombaan di bawah sinar matahari pagi
pertama musim panas.
Ini sungguh luar
biasa.
Kadang, satu remaja
laki-laki atau perempuan yang pergi melihat anak itu tidak pulang untuk
menangis atau mengamuk, bahkan tidak pulang sama sekali. Kadang seorang
laki-laki atau perempuan yang jauh lebih tua terdiam selama sehari atau dua
hari, lalu pergi meninggalkan rumah. Orang-orang ini keluar ke jalan, dan
berjalan menyusuri jalan seorang diri. Mereka terus berjalan dan berjalan lurus
keluar dari kota Omelas, melalui gerbang-gerbangnya yang indah. Mereka terus
berjalan melintasi tanah pertanian Omelas. Masing-masing mengembara sendirian,
pemuda atau gadis, laki-laki atau perempuan.
Malam turun; sang
pengembara harus menyusuri jalan-jalan desa, di antara rumah-rumah dengan
jendela bercahaya kuning, dan terus keluar menuju kegelapan ladang.
Masing-masing, sendirian, pergi ke barat atau ke utara, menuju pegunungan.
Mereka terus berjalan. Mereka meninggalkan Omelas, melangkah ke depan menembus
kegelapan, dan mereka tidak kembali.
Tempat yang mereka
tuju adalah sebuah tempat yang bahkan lebih tak terbayangkan bagi kebanyakan
dari kita daripada kota kebahagiaan itu sendiri. Aku sama sekali tak mampu
menggambarkannya. Mungkin saja tempat itu tidak ada. Namun tampaknya mereka
tahu ke mana mereka pergi, mereka yang berjalan meninggalkan Omelas.
.jpg)